Narasi

Ramadan dan Pesan Berlaku Toleran

Bagi umat Islam, Ramadan memiliki arti penting dalam meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki akhlak (moral), dan berbagi dengan fakir miskin (sedekah dan zakat). Artinya, peneguhan identitas sebagai Muslim lebih menonjol, sehingga bulan suci Ramadan lebih diwarnai simbol-simbol keislaman.. Tak ayal, bulan yang suci dan penuh berkah ini bisa menjadi momentum bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, untuk meningkatkan sikap bertoleransi dan membenihkan pesan-pesan kedamaian dalam diri umat Islam.

Lebih-lebih terkait beberapa peristiwa terorisme dan aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan, yang terbaru, menjelang bulan suci Ramadan (bulan puasa) ini, masyarakat kita kembali dibuat tertegun dengan meledaknya bom di kawasan halte Kampung Melayu pada 24 Mei 2017 yang lalu. Artinya, dalam momentum Ramadan ini, mengenai toleransi dan spirit perdamaian adalah hal urgen yang harus senantiasa dipupuk oleh umat beragama agar tidak mudah berpecah belah, menyalahkan orang lain dan melakukan ancaman serta pertikaian.

Toleransi

Toleransi pada umunya memiliki arti tenggang rasa, sabar dan sering diucapkan dalam tatanan masyarakat multikutural namun sulit untuk mengimplikasikan. Toleransi bukan hanya dilakukan minoritas kepada mayoritas bahkan mayoritas kepada minoritas, tetapi sama-sama dilakukan kepada minoritas maupun mayorias. Bulan Ramadan bukan pula dijadikan wacana pertikaian baik minoritas maupun mayoritas hanya terkait perbedaan pemahaman dalam beragama.

Dalam konteks ini, toleransi menjadi hal pertama nan penting dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Ini karena toleransi menjadi paradigma awal menuju cita-cita kedamaian dan perdamaian. Agar, tercipta iklim yang ideal mengenai bagaimana kelompok non-Muslim menghargai umat Islam yang berpuasa. Dan sebaliknya umat Islam menghargai non-Muslim yang tidak berpuasa. Hubungan timbal balik ini merupakan spirit bagi berbagai upaya untuk selalu menghargai dan memelihara kedamaian. Karena itulah, Ramadan memiliki signifikansi yang jelas dalam upaya memperkuat toleransi dan ikut mendorong terciptanya perdamaian saat pertikaian antarkelompok, aliran, dan agama yang saat ini masih menjadi masalah krusial di Indonesia.

Harus diakui, berbagai konflik atas nama agama, etnik, dan aliran masih menjadi “momok” sering kita jumpai di negara kita saat ini. Hanya akibat kesalahpahaman, kepentingan, dan kontestasi ideologi, seringkali umat beragama rela menggadaikan misi utama agama yang sesungguhnya pro-kedamaian, justru menjadi seolah pro-teror dan perpecahan. Tak ayal, kini kedamaian seolah menjadi “barang mahal” akibat perilaku manusia yang suka berbuat kerusakan dan pertikaian. Di sinilah, Ramadan sebagai bulan suci mengajarkan kepada umat Islam agar menahan diri dari kebencian, kedengkian, pertikaian, dan kemungkaran antarsesama manusia. Tentu saja, toleransi timbal balik yang bisa menjembatani aneka perbedaan yang kita rasakan di bulan Ramadan dalam hubungan antaragama.

Kedamaian Islam

Ramadan sebagai momentum memupuk laku toleransi yang sesungguhnya merupakan wujud dari misi besar Islam yang dibawa Nabi Muhammad sebagai penyempurna akhlak manusia. Tak ayal, dilihat dari sudut pandang manapun, Islam merupakan agama yang menentang pertikaian dan permusuhan, serta menjunjung tinggi perdamaian. Tak ayal, Mohammad Abu Nimer dalam tulisannya berjudul Conflict Resolution Approaches: Western and Middle Lessons and Possibilities (American Journals of Economics and Sociology; 1996) pernah menuliskan bahwa Islam sebagai agama dan tradisi penuh dengan ajaran dan berbagai kemungkinan penerapan resolusi konflik yang damai.

Kenyataan itu setidaknya bisa dibuktikan dengan tiga alasan mendasar (Nafi Muthohirin, 2016).Pertama, Islam yang berarti kepatuhan diri (submission). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma al-husna adalah Yang Maha Damai (al-Salam). Ketiga, perdamaian dan kasih sayang merupakan keteladanan yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia agar senantiasa menyebarkan kehidupan yang damai.

Selain itu, al-Qur’an juga dengan jelas menunjukkan kepada umat Muslim tentang pesan-pesan perdamaian dalam Islam, misalnya pada sejumlah kata berikut: ar-Rahman (pengasih), ar-Rahim (penyayang), al-Adl (keadilan), as-Salaam (keselamatan), as-Sulkh (perdamaian), al-Hikmat (kebijaksanaan), al-Hasan (kebaikan), dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran). Bahkan, pesan-pesan perdamaian itu tidak hanya satu atau dua kali saja disebut dalam al-Qur’an, melainkan berkali-kali. Sementara, ungkapan Qital/Harb (perang)–bukan jihad–dalam al-Qur’an hanya disebut sebanyak 40 kali. Itu pun seringkali hanya menunjukkan pada pengertian yang digunakan pada saat mempertahankan diri saja. Selain itu, sama sekali tidak dibahas.

Maka, sudah jelas bahwa jika ada yang mengatakan dan bahkan menyebarkan misi bahwa Islam agama teror, bukan pembawa pesan damai, adalah sepenuhnya keliru. Karena tidak sesuai dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya, maraknya aksi anarkis bernuansa agama akhir-akhir ini terjadi karena pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang keliru, atau bisa jadi sengaja dipakai untuk kepentingan politik tertentu.

Lebih lanjut lagi, pesan damai Islam juga ditunjukkan oleh fakta sejarah dan budaya masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad diutus. Hal ini terlihat jelas, ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, awal mula yang dilakukan adalah pembangunan masjid dan memupuk nilai-nilai persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Lalu, kemudian, Nabi Muhammad melakukan upaya rekonsiliasi konflik antara masyarakat Islam, Yahudi, dan Nasrani dengan pembuatan konsensus Piagam Madinah. Artinya, sejak awal mula Nabi Muhammad di utus membawa misi Islam, nilai-nilai seperti persaudaraan, kesetiaan, dan penghormatan sangat sudah ditekankan dalam hidup berdampingan, meski berbeda suku, ras, dan kelompok.

Oleh karenanya, dalam momentum Ramadan yang merupakan ritual tahunan bagi umat Islam untuk senantiasa meningkatkan kadar ketakwaan dan keimanan, upaya mendakwahkan pentingnya pesan damai yang terkandung dalam ajaran Islam harus terus digalakkan. Hal ini agar masyarakat berlaku toleran dan damai, serta tidak ada lagi aksi-aksi kekerasan karena klaim ajaran agam yang keliru. Di sisi lain, ini juga sebagai upaya melakukan deradikalisasi pola pikir masyarakat yang semakin disesaki dengan doktrin-doktrin ekstrimis yang sedang berkembang saat ini. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago