Narasi

Ramadhan, Covid-19 dan Kohesivitas Sosial

Ramadhan adalah bulan penuh berkah, kebaikan dan kebajikan. Kebaikan-kebaikan itu tentu patut ditunjukkan semua umat manusia, terutama bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa sehingga ibadahnya menjadi paripurna. Di akhir Ramadhan nanti, kita benar-benar meraih kemenangan dengan suka cita.

Berbuat baik sebetulnya lebih merupakan fitrah manusia yang harus terus diupayakan sepanjang hayat di kandung badan. Terlebih, manusia adalah makhluk sosial yang sudah barang tentu tak dapat menghindari dari pergaulan antar sesama sehingga membentuk komunitas sosial masyarakat yang beragam dan plural. Tentang keragaman manusia ini dan bagaimana menjaga kohesivitas sosial sudah termaktub di dalam kitab suci Al Qur’an surah Al-Hujurat ayat 11-13. Dari ketiga ayat tersebut dapat ditarik sejumlah poin yang menjadi benang merahnya, seperti tak diperkenankan saling mengejek atau menghina, memanggil dengan sebutan buruk, mencela, purbasangka, cari-cari kesalahan orang lain, menggunjing dan lain sebagainya. Lalu ditutup dengan kalimat sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bertakwa.

Nah, Negara kita kini tengah dirundung kesulitan panjang. Wabah Covid-19 harus diakui telah merusak tatanan sosial kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Aspek paling krusial tentu persoalan ekonomi karena menyangkut masalah kebutuhan primer demi keberlangsungan hidup. Akibat pandemi ini, kondisi ekonomi masyarakat menjadi sulit dan sumber-sumber untuk mendapatkan kebutuhan hidup tengah macet, sementara dapur harus tetap mengepul. Di sini, solidaritas sosial benar-benar tengah diuji seberat-beratnya. Jika memang rasa solider itu telah menjadi habit sejak lahir pada diri setiap individu dan kelompok, maka niscaya situasi sulit ini dapat dihadapi secara bersama-sama tanpa diminta dan mengharap belas kasihan.

Baca Juga : Optimalisasi Zakat di Tengah Gelombang Pandemi

Bulan Ramadhan ini nyata dan jelas mengandung makna kebaikan semata. Bayangkan, memberi makan untuk berbuka kepada mereka yang berpuasa saja nilai kebajikannya sudah sangat besar. Apalagi sampai memberi lebih dari itu, boleh jadi nilai kebaikannya setara dengan orang yang menjalankan ibadah puasa. Bahkan, disebutkan ganjarannya berkali lipat. “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangu pahala orang yang berpuasa sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi). Nah, dalam situasi pandemi virus Corona yang tengah mewabah ini sekaligus membuka pintu kebaikan dan pahala seluas-luasnya kepada siapa saja dengan cara membantu antar sesama, terutama mereka yang mengalami kesulitan ekonomi.

Menurut para ahli, kohesivitas adalah rasa kesatuan yang terjalin dalam kelompok sosial, menikmati interaksi satu sama lain dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan di dalamnya terdapat semangat yang tinggi. Artinya, kohesivitas sosial timbul dari rasa kesatuan, persatuan, kebersamaan, gotong royong dan membantu antar sesama sehingga terjalin rasa saling menghasihi tanpa memandang perbedaan. Karenanya, Donelaon R Forsyth menyebut bahwa salah satu dimensi kohesivitas adalah kekuatan sosial yakni keseluruhan dari dorongan yang dilakukan oleh individu dalam kelompok (sosial) untuk tetap berada dalam kelompoknya.

Serta dorongan yang menjadikan anggota kelompok selalu berhubungan dan kumpulan dari anggota tersebut membuat mereka bersatu. Terlepas dari itu, Puasa Ramadhan tahun ini tak berlebihan kiranya dapat dijadikan sebagai momentum untuk kita menyusun ulang tatanan sosial yang rusak akibat wabah corona ini. Sikap solider yang kita telah pupuk di musim pandemi ini patut dijadikan sebagai pondasi utama untuk masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelak, ketika wabah ini sudah berlalu, di dalam memori kolektif warga bangsa mesti tersimpan rapi bahwa virus corona telah mengajarkan kita arti penting dari solidaritas sosial, kepedulian dan tolong menolong antar sesama. Amin…

This post was last modified on 30 April 2020 2:33 PM

Imam Muhlis

Pendidik pada Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (UNUGHA) Cilacap, Alumnus Magister Ilmu Hukum UGM Yogyakarta

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

7 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

7 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

7 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

7 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago