Narasi

Ronda Maya: Tidak Terprovokasi Narasi Kebencian Ala Kaum Stoa

Sangat disayangkan apabila ada ujaran kebencian, kemudian kita ikut terprovokasi kebencian itu sendiri. Kebencian kalau dibalas dengan kebencian akan menjadi mata rantai kebencian. Kebencian justru tidak akan semakin terkikis, melainkan akan menjamur dengan kita tidak bijak dalam merespons.

Kita sudah mendapatkan banyak bukti, bagaimana ujaran kebencian bisa membuat konflik sosial yang berkepanjangan dan menuai dampak yang sangat buruk. Orang bisa tergerak melakukan kekerasan karena ujaran kebencian, apalagi disampaikan oleh orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya ustadz, tokoh publik, tokoh politik dan lain sebagainya. Masyarakat memiliki kepatuhan terhadap otoritas yang lebih tinggi. Apabila mereka yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat dan melakukan ujaran kebencian terus-menerus, ia bisa jadi menyebabkan konflik sosial yang meluas.

Sebagaimana ditulis Iqbal Ahnaf dan Suhadi di jurnal yang berjudul “Isu-isu Kunci Ujaran Kebencian: Implikasya Terhadap Gerakan Sosial Membangun Toleansi” (2014), mereka mengajukan empat alasan mengapa ujaran kebencian tidak hanya berbahaya bagi koeksistensi antar-kelompok identitas tetapi juga berbahaya bagi demokrasi itu sendiri. Pertama, ujaran kebencian dianggap sebagai dasar adanya intimidasi dan pembatasan terhadap kebebasan berbicara karena ujaran kebencian memperkuat situasi sosial yang menghambat partisipasi bebas warga negara dalam demokrasi.

Kedua, ujaran kebencian mempunyai peran aktif dalam terciptanya polarisasi sosial berdasarkan kelompok identitas. Dalam konteks Indonesia yang sangat beragam identitasnya, menjadi masalah tersendiri terhadap keutuhan dan kesatuan. Ketiga, ujaran kebencian tidak hanya dimaksudkan untuk menciptakan wacana permusuhan, menyemai benih intoleransi atau melukai perasaan terhadap kelompok lain, melainkan juga sebagai alat memobilisasi atau rekreutmen oleh kelompok-kelompok garis keras.

Baca juga : Ronda Online Cara Milenial Menata Masa Depan dengan Perdamaian

Keempat, ujaran kebencian mempunyai kaitan baik secara langsung atau tidak langsung dengan terjadinya diskriminasi dan kekerasan. Hal ini terjadi bisanya dalam situasi konflik dan pertarungan politik seperti pemilu. Psikologi politik kita menjelang pemilu tidak lagi memperlihatkan eksistensi politik sebagai seni, pikiran dan sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita yang mulai, melainkan lebih banyak melakukan kebencian. Kebencian menjelang pemilu marak karena saling menjatuhkan lawan politiknya.

Belajar Kepada Kaum Stoa

Terprovokasi terhadap ujaran kebencian lebih banyak pada ranah emosi. Emosi yang mudah terpengaruh terhadap stimulus yang ia terima. Ketika melihat konten yang tidak sesuai dengan citra dirinya, yang mengandung ujaran kebencian kemudian ia mengkritik namun secara tidak sadar ikut menyebarkannya.

Untuk ikut serta dalam ronda maya mengikis narasi kebencian, langkah yang harus diambil adalah dengan terbebaskan dari emosi atau segala rasa perasaan yang menganggu. Kaum Stoa, menyebutnya adalah emosi negatif. Stoa atau filsafat Stoa merupakan filsafat Yunani-Romawi Kuno yang sering diartikan sebagai jalan hidup.

Setiap waktu kalau membuka sosial media, kita sering menemukan narasi kebencian yang bertebaran. Kalau kita baperan terhadap konten negatif yang berserakan di media sosial, peran kita dalam rona maya tidak akan maksimal. Kita akan terbawa narasi kebencian tersebut, bukan malah mereduksi narasi kebencian.

Bagi kaum Stoa, emosi negatif merupakan hasrat yang eksesif. Dengan latihan-latihan konkret, filsafat Stoa hendak memberikan jalan agar terbebas dari hasrat eksesif. Dengan mendalami filsafat Stoa, kita tidak terpengaruh terhadap emosi-emosi negatif yang berkembang di media sosial ataupun di dunia nyata.

Kaum Stoa mengajarkan, agar emosi kita stabil dalam menghadapi carut-marut yang ada di sekitar kita. Misalnya ujaran kebencian, agar kita tidak terpengaruh untuk menyebarluaskannya, melainkan justru menjadi orang yang menangkal ujaran kebencian tersebut. Sebelum menjadi orang yang pro aktif untuk menangkal ujaran kebencian, kita harus menstabilkan emosi dengan tidak terpengaruh terhadap emosi-emosi negatif.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

View Comments

Recent Posts

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

10 jam ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

10 jam ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

10 jam ago

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

3 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

3 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

3 hari ago