Narasi

Santri, NKRI, dan Nobel Perdamaian 2016

Komitmen santri dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah tidak diragukan lagi. Fakta sejarah menjadi bukti. Ketika resolusi jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945, semua santri yang berada dalam radius 94 kilometer bergerak massif untuk melawan penjajah yang datang lagi untuk merebut kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan Sukarno-Hatta.

Saat itu, Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid. Pasukan santri yang dipimpin Kiai Abbas Cirebon berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris.

Kisah itu kemudian dengan 10 November, atau Hari Pahlawan. Sedangkan resolusi jihad 22 Oktober kemudian dikenang sebagai Hari Santri.

Etos perjuangan santri untuk NKRI sudah harga mati. Apapun yang dimiliki, sepenuhnya digunakan untuk membela NKRI. Ini sudah ajaran dalam Islam, karena cinta tanah air adalah bagian dari iman. Dengan tanah air yang damai dan nyaman untuk menjalankan syariat, maka santri mempunyai etos tinggi dalam perjuangannya demi tegaknya NKRI.

Bagi santri, NKRI ini adalah darus salam, negara yang damai dan nyaman untuk menjalankan ibadah. NKRI bukanlah darul islam, negara yang mengasaskan dirinya dengan ideologi Islam. Kalau umat Islam sudah merasa damai dan nyaman untuk beribadah, maka disitulah umat Islam wajib menjaga negara-bangsanya. Tidak ada alasan sedikitpun bagi umat Islam untuk tidak menjaga NKRI. Bagi santri, Pancasila itu sudah sangat islami, karena wujud dari iman (sila 1) dan amal sholih (sila 2-5). KH Ahmad Siddiq, Rais Aam NU 1984-1991, sudah menegaskan itu semua, sehingga Pancasila adalah final bagi umat Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia sudah hidup dengan Pancasila ratusan tahun, sudah merasakan nikmatnya berpancasila untuk mengamalkan syariat Islam.

Nobel Perdamaian

Apa hubungannya santri, NKRI dan Nobel Perdamaian 2016? Iya, santri terbukti mampu menjaga NKRI yang damai dan nyaman. Komitmen para ulama pendiri bangsa ini juga sudah tegas tentang NKRI. Tetapi, santri hari ini mempunyai tantangan serius, yakni menjaga keutuhan NKRI. Indonesia adalah negara dengan banyak suku dan pulau, potensi perpecahan dan disintegrasi sangat tinggi. Kekerasan yang terjadi di Papua, Maluku, dan daerah perbatasan masih sangat tinggi. Kesenjangan sosial ekonomi menjadi pemicu paling utama. Inilah tantangan santri dalam menjaga keutuhan dan kedamaian NKRI di masa depan.

Bagaimana hubungannya dengan Nobel Perdamaian 2016? Iya, baru saja Presiden Kolombia Manuel Santos menerima Nobel Perdamaian 2016 berkat perjuangannya dalam menciptakan perundingan dan dialog karena perang saudara yang terjadi di negaranya selama 50 tahun. Santos tidak pernah mengenal lelah membangun jembatan dialog antar kelompok di negaranya, walaupun selalu mendapatkan halangan dan rintangan dari kelompok yang memanfaatkan konflik dan perang yang tak kunjung usai. Berkat kegigihan Santos, akhirnya tercapai kesepakatan perdamaian antara pemerintah Kolombia dan kelompok pemberontak terbesar di negara itu, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC).

Bagaimana dengan perdamaian di Indonesia? Sudah enam kali Presiden berganti, tetapi kekerasan di perbatasan masih menjadi masalah serius. Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, tetapi daerah perbatasan masih menjadi sengketa. Disinilah letak jihad santri untuk NKRI hari ini. Inilah ladang ibadah santri hari untuk memberikan yang terbaik bagi NKRI.

Pemerintah saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah bangsa, maka semua elemen bangsa harus berada di garda depan saling bahu-membahu. Mengikuti ritme gerak kesejarahan santri dalam perjuangan, maka saat ini momentum sangat tepat untuk menggelorkan jihad santri dalam menegakkan kembali NKRI. Santri harus berani berjuang menguatkan marwah NKRI di Papua, Maluku, Pontianak, Aceh, dan daerah perbatasan lainnya. Nasionalisme santri di perbatasan ini sangat ditunggu, sehingga nilai-nilai Pancasila bisa direalisaskan dengan penuh damai dan nyaman bagi semua rakyat Indonesia.

Itu semua harus diperjuangkan dengan tulus dan ikhlas, itulah ajaran Islam yang selalu ditegakkan santri. Sama sekali tidak untuk meraih Nobel Perdamaian. Itulah komitmen santri dalam amal sholihnya, sesuai yang tertera dalam al-Quran:

Barang siapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago