Narasi

Semangat Kearifan Lokal dan Membendung Radikalisme

Berbicara kearifan lokal, saya jadi teringat filmnya Bayu Skak yang akhir-akhir ini baru booming tayang di bioskop. Filmnya yang berjudul Yo Wis Ben  bergenre komedian dengan menggunakan bahasa Jawa sempat menuai cibiran di mana-mana. Alasannya karena filmnya dianggap kampungan dan memicu eksklusif kebudayaan daerah. Selain itu, karena bahasa Jawa cenderung dianggap kampungan dan bahasanya orang TKI.

Lalu di mana salahnya? Bukankah setiap bahasa dan budaya milik masing-masing tempat dan daerah (kampung). Otomatis semua bahasa pasti berasal dari kampung dan sifatnya kampungan. Untuk yang berkaitan bahasanya TKI, memang orang TKI kebanyakan berasal dari orang Jawa. Lalu di mana letak salahnya? Bukankah sekitar 40 persen penduduk Indonesia orang Jawa. Bahkan bukankah dulu hampir saja bahasa Jawa dijadikan bahasa nasional. Namun esensi dari film itu saya kira bukan karena keangkuhan suatu suku bangsa dan kebudayaannya. Baca terus sampai selesai ya, biar ketemu jawabannya.

Film yang kira-kira 90 persen memakai bahasa Jawa itu seharusnya  mendapat apresiasi. Sebab film tersebut berusaha mengangkat kearifan lokal suatu daerah. Khususnya daerah Malang Jawa Timur.

Tentunya dengan adanya film tersebut, daerah-daerah lain yang mempunyai ciri khas dan budaya yang berbeda harusnya berlomba-lomba untuk menunjukkan kebolehannya. Sebab, budaya daerah dan kearifan lokal adalah identitas dan jati diri suatu bangsa. Bukan malah mencibir atau mencaci-makinya dengan alasan tidak nasionalis. Bukankah keberagaman etnis, ras, budaya dan bahasa merupakan bagian dari kekayaan Indonesia itu sendiri.

Kearifan Lokal dan Eksistensinya dalam Membendung Radikalisme

Kearifan lokal menurut Cahyadi Nurdin dalam esainya yang dimuat di Geotimes terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan, dan lokal (local) atau setempat. Jadi arti kearifan lokal secara sederhana bisa dipahami sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal dapat diartikan sebagai identitas suatu masyarakat. Karena ia menjadi karakter masyarakat yang melekat secara turun-temurun.  Sebagai contoh antara masyarakat Sunda, Jawa, Batak pasti berbeda kearifan lokal dan kultur budayanya. Satu diantara lain dapat dibedakan dan dikenali karena kultur budayanya telah menjadi identitas masyarakat masing-masing.

Masih menurut Cahyadi Nurdin, kearifan lokal juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki sebelum mendapat pengaruh asing, serta daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah dan mencipta sepanjang terjadinya “pengaruh asing.

Artinya kearifan lokal bisa berbentuk benda dan suatu karya masyarakat setempat sebelum datangnya pengaruh asing. Selain itu, bisa saja ia berbentuk kemampuan untuk beradaptasi dan berakulturasi dengan pengaruh yang datang dari luar. Semisal contoh yang pertama, acara kendurinan serta budaya gotong royong masyarakat Indonesia yang berasaskan kekeluargaan. Meskipun zaman semakin modern, budaya tersebut tetap ada, terlebih bagi masyarakat pedesaan. Contoh yang kedua, di bidang pakaian atau fasion, orang Jawa zaman sekarang lebih banyak yang memakai kaos kasual dan celana jins dibandingkan pakaian Jawa seperti sorjan, kebaya atau pun blangkon padahal ketiga pakaian tersebut produk dari luar negeri. Akan tetapi selama pakaian-pakaian ini masih memenuhi kriteria kesopanan orang Jawa sebagai orang timur, maka ia akan dengan mudah diterima masyarakat. Meskipun sekarang pakaian atau fasion kepantasan orang Jawa sebagai orang timur mulai luntur. Seperti munculnya pakaian yang ketat-ketat dan seksi yang mengumbar aurat.

Lalu, kearifan lokal menjadi penting karena ia menjadi benteng masyarakat dan negara dalam menghalau pengaruh paham-paham ekstrimis dan radikal. Paham-paham radikal muncul dan berkembang biasanya di daerah yang budayanya cenderung luntur dan tak punya jati diri. Masyarakat ini cenderung mengambang karena cenderung krisis identitas.

Kalau masih belum percaya atau ragu terhadap peran kearifan lokal dalam membendung gerakan radikal atau ekstrimis mari kita tengok sejarah atau masa lalu. Di mana nenek moyang kita sebagai orang nusantara selalu mengajarkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan dulu persebaran agama khususnya agama Islam yang dibawa oleh walisongo dan ulama-ulama diterima masyarakat tanpa kekerasan. Hingga akhirnya ajaran Islam dapat berakulturasi dengan budaya setempat. Jelas.!! Tindakan meneror, radikalis dan ekstrimis tidak dibenarkan secara agama khususnya agama Islam maupun budaya.

Ahmad Solkan

penulis saat ini sedang kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago