Narasi

Pesantren, Kearifan Indonesia yang Mengglobal

Moderatisme keislaman masyarakat Indonesia tidak tumbuh tiba-tiba. Ada variabel di mana inklusivitas keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari peran pesantren. Sebagian pesantren berumur jauh lebih tua ketimbang usia negeri ini. Bahkan kelahiran republik ini, pesantren turut membidani. Diktum Resolusi Jihad oleh Mbah Hasyim Asyari dan ikhtiar lahir-batin para kiai dan santri membuka lebar sudut pandang sejarah bahwa pesantren dan Indonesia/Nusantara merupakan tali-temali yang erat.

Pesantren adalah kekhasan dan mutiara bagi Indonesia. Secara kultural dan alamiah, pesantren membentuk pribadi masyarakat Indonesia di jalan tengah (wasathan). Kunci utama berbangsa dan bernegara adalah persatuan. Itu pula yang menjadikan pendulum sikap para tokoh Islam-pesantren ketika bersukarela menghilangkan frasa tambahan pada sila ketuhanan Pancasila. Menolak porsi eksklusivisme yang berpotensi memecah-belah anak bangsa yang beranekaragam pemeluk agama.

Sebagaimana kita ketahui, kehadiran pesantren di bumi Nusantara bermuasal dari jejak Wali Sanga. Pendekatan kultural dan pendidikan merupakan basis metode dakwah pesantren yang diadopsi dari para Wali. Ditilik mendalam, para Wali mempunyai urutan/sanad (genealogi), baik secara keilmuan maupun praktik hidup, hingga pada Sahabat dan Nabi Muhammad Saw. Karena itu, bisa dikatakan bahwa, tipologi pesantren bukan barang baru lantaran merujuk pada laku hidup Baginda Nabi Saw yang rahmatan lil ‘alamin sebagai inti ajaran Islam.

Pesantren mewedarkan kemenarikan sekaligus keunggulan, yang boleh jadi tidak dapat ditemukan pada lembaga pendidikan manapun, bahkan di seantero dunia. Satu sisi, pesantren memosisikan diri sebagai wadah candradimuka/penggemblengan keilmuan. Para santri diajarkan babakan pengetahuan keagamaan secara penuh-seluruh. Dimulai dari tingkat dasar hingga fase ‘ulya (atas) bahkan takhsis (spesialisasi) seperti di Ma’had Aly (tingkatan sarjana). Penggemblengan tersebut dimaksudkan agar santri benar-benar mengerti betul pelbagai ritus agama sejak di ranah pondasi. Pada tahapan ini, biasanya santri memang dijejalkan pemahaman yang berkutat pada satu mazhab (baca: Syafi’iyah).

Namun, apakah dengan syafi’i oriented, santri bakal terbentuk sikap fanatik sembari mencibir mazhab lain? Anggapan ini kiranya berlebihan lantaran di tahapan pengajaran selanjutnya, para kiai pesantren juga membabar pengenalan pada mazhab lain. Fathul Mu’in, Bidayatul Mujtahid, dan bahkan al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah merupakan kitab rujukan yang wajib dipelajari. Bahkan konten dua kitab terakhir itu menguar luas pandangan para Imam mazhab dalam ber-istidlal (menyusun argumentasi). Dalam fase ini, para santri disajikan perdebatan ilmiah antarImam mazhab fikih perihal bagaimana satu ayat/hadis bisa mengandung ragam pemahaman, bahkan saling bertolak belakang. Dari sini, kiranya tersembul kesadaran di kalangan santri bahwa, ternyata sejatinya Islam bisa ditempuh melalui banyak jalan.

Fakta perbedaan ijtihad para Imam secara tidak langsung menyandarkan arti penting toleransi. Pun, mengandaikan para santri bisa berbijak menjalani keberagamaan yang tidak saklek. Terpenting lagi, mengantarkan laku penghormatan kepada mereka yang tidak semazhab. Pemberian asupan dengan setidaknya dua kitab tersebut, bisa dipandang menghasratkan juga agar para santri sepulang dari pesantren, bisa meluweskan dakwahnya dalam keseharian umat. “Al-dinu yusrun”, agama itu mudah, merupakan azimat santri dalam mengejawantahkan ajaran agama agar agama tidak dipandang kaku oleh masyarakat.

Meskipun ditempa seharian penuh dengan mendaras kajian agama, pesantren tidak semata-mata lantas mendamba santri agar berilmu agama tinggi. Bahkan pesantren lebih menibakan arti penting kehadirannya sebagai benteng moral. Penanaman kesantunan merupakan asas bagi santri. Di pesantren-lah, gemblengan mental dan perangai lebih diutamakan. Tujuan nyantri tidak sama sekali berpamrih ijazah dan gelar akademik. Namun, penumbuhan sikap hidup dan laku lampah yang terpuji adalah dua hal utama orientasi mondok. Kiranya di sinilah garis pembeda yang sangat kentara antara pesantren dengan lembaga pendidikan lain.

Kekhasan lain pesantren adalah kehidupan santri yang tidak bisa dilepaskan dari sosok sentral, yakni: kiai. Kiai menjadi acuan sikap para santri. Lantas, bagaimana memotret keseharian para kiai pesantren? Untuk hal ini, kita bisa membaca dengan penuh hikmat dan ketakziman laku para kiai itu lewat buku tipis berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah garapan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur membabar kisah-kisah para kiai yang dengan itu, sekaligus memberi kabar tersirat kepada kita terkait sumbangsih besar para kiai dalam merawat keindonesiaan. Membaca buku itu pula barangkali akan menemukan sebuah jawaban tepat, mengapa para santri dan para kiai pesantren mati-matian mempertahankan Pancasila sebagai asas bernegara-berbangsa. Mereka pun mengajarkan petuah agama ke tengah masyarakat tanpa marah-marah.

Dalam masa-masa belakangan ini, kiprah pesantren makin terakui. Selain Hari Santri sebagai sebentuk imaji penghormatan, juga kian terbuka informasi perihal kiai beserta kiprah keintelektualannya. Banyak kiai pesantren rupanya telah menulis banyak karangan (kitab). Sedikit dari kitab tersebut, Marah Labid, misalnya, bahkan telah mengglobal; didaras di pelbagai negara. Fakta ini menunjukkan, selain kesungguhan merawat nilai-nilai keindonesiaan/kenusantaraan, kebersahajaan hidup, pun nalar intelektualitas  orang pesantren sebenarnya sangat mumpuni. Karena itu, ikhtiar mengaji dan mengkaji kitab-kitab ulama Nusantara perlu menjadi prioritas bagi eksistensi pesantren hari ini untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia, bahkan warga dunia.

Kiranya harapan tersebut tidak berlebihan karena kini ada ribuan pesantren di Indonesia; berarti pula ada ratusan ribu bahkan bilangan juta jumlah santri. Tentunya mereka akan berpencar-pencar ke pelosok wilayah Indonesia, pun ke seluruh penjuru dunia. Para santri ini bakal menjadi agen perdamaian; mengabarkan perihal Islam ala Indonesia yang bisa dijadikan narasi alternatif menapak secara tepat relasi ideal dalam beragama, berbudaya, dan bernegara. Hal inilah yang telah diteladankan Gus Dur. Beliau adalah wajah asli didikan pesantren yang telah mendunia di mana selalu terpetik ketegasan darinya yang senantiasa menolak segala bentuk radikalisme beragama; karena radikalisme itu sendiri merupakan musuh agama. Wallahu a’lam

This post was last modified on 15 Maret 2018 12:56 PM

Muhammad Itsbatun Najih

Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

11 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

11 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

11 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

12 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago