Narasi

Seni Merawat Fitrah Anak

Dalam khazanah Islam, amanah mendidik seorang anak adalah sebuah kehormatan sakral, sebuah tugas yang menuntut kearifan lebih dari sekadar pemenuhan materi. Poros dari seni pendidikan yang luhur ini adalah sebuah konsep tunggal yang begitu mendasar namun seringkali terabaikan, fitrah.

Berbeda dengan pandangan yang menganggap anak sebagai lembaran kosong, Islam mengajarkan bahwa setiap jiwa yang terlahir ke dunia telah dibekali sebuah cetak biru ilahiah.

Landasan teologis fitrah ini melekat dalam firman Allah Surat Ar-Rum ayat 30, Allah SWT berfirman,

“hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”

Ayat ini merupakan deklarasi universal bahwa kecenderungan untuk beriman kepada Yang Maha Kuasa, untuk mencari kebenaran, dan untuk condong pada kebaikan adalah “default” dari kemanusiaan itu sendiri. Keimanan ini bukan produk budaya atau hasil didikan, melainkan anugerah sejak sebelum dilahirkan.

Namun, fitrah ini dinamis. Fitrah yang melekat pada anak setelah ia  dilahirkan pasti akan bersinggungan dengan realitas yang lain, yaitu orang tua.

Maka, hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” menjadi sebuah manifesto pedagogis yang luar biasa.”

Hadis ini tidak menafikan peran orang tua, justru mengafirmasinya sebagai penentu utama. Orang tua dan lingkungan adalah iklim tempat benih fitrah bertumbuh. Mereka bisa menjadi pekebun yang menyediakan tanah subur, air yang cukup, dan sinar matahari yang hangat sehingga benih itu tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan berbuah lebat. Atau sebaliknya, mereka bisa menciptakan lingkungan gersang yang merusaknya.

Kata Imam Al-Ghazali, melukiskan hati anak laksana permata murni yang belum terukir, yang keindahannya bergantung sepenuhnya pada keahlian sang pengukir. Tugas pendidik, menurutnya, adalah memoles permata itu agar ia memancarkan cahaya ilahiah.

Perjalanan merawat fitrah ini bukanlah sebuah proses yang statis, mengikuti alur tumbuh kembang anak yang unik dan bertahap. Setiap fase kehidupan memiliki cara manifestasi fitrah yang berbeda dan menuntut respons pedagogis yang berbeda pula.

Fase pertama, kita bisa sebut sebagai Fase Penyerapan dan Cinta (usia 0-7 tahun), adalah masa di mana fitrah seorang anak bekerja laksana spons. Ia menyerap segala sesuatu di sekitarnya tanpa filter.

Pada tahap ini, manifestasi utama fitrah adalah kebutuhan akan rasa aman, kehangatan, dan cinta. Pengenalan terhadap Allah tidak dilakukan melalui dalil-dalil yang rumit, melainkan melalui perwujudan sifat-sifat-Nya dalam diri orang tua. Kasih sayang ayah dan ibu menjadi “terjemahan” pertama dari sifat Tuhan yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Pada fase ini, Islam harus terasa seperti pelukan hangat, bukan seperti daftar perintah yang memberatkan. Di sinilah tarbiyah bil qudwah (pendidikan dengan teladan) menjadi metode yang paling ampuh.

Memasuki fase kedua, Fase Pertanyaan dan Tanggung Jawab (usia 7-14 tahun), fitrah mulai berevolusi. Seturut organ tubuhnya, akal anak juga mulai bertumbuh. Fitrahnya tidak lagi hanya menyerap, tetapi mulai bertanya. “Mengapa kita harus shalat?”, “Mengapa babi itu haram?”, “Mengapa dia beragama Kristen, bukan Islam?”.

Ini adalah fase krusial di mana iman bisa bertransformasi dari sekadar perasaan yang diwariskan menjadi sebuah pemahaman. Jika pertanyaan-pertanyaan ini diabaikan atau dijawab dengan bentakan, fitrah yang haus akan kebenaran itu bisa terluka.

Peran orang tua pun bergeser dari sekadar model menjadi seorang pemandu dan rekan dialog yang bijaksana. Inilah momentum yang tepat untuk menerapkan perintah Nabi untuk mengajarkan shalat pada usia tujuh tahun dan mulai membangun disiplin pada usia sepuluh.

Proses ini bukan tentang paksaan, melainkan tentang pengenalan pada babak baru dalam hidupnya: babak tanggung jawab personal di hadapan Sang Pencipta. Metode dialog (tarbiyah bil hiwar) menjadi sentral, membangun jembatan kokoh antara cinta yang telah tertanam di fase pertama dengan keyakinan intelektual yang akan dibutuhkan di fase berikutnya.

Selanjutnya, anak memasuki Fase Keyakinan dan Kontribusi (usia 14 tahun ke atas). Pada tahap ini, setelah melewati masa pubertas (baligh), ia menjadi mukallaf. Fitrahnya kini mencari aktualisasi diri dan ekspresi.

Ia tidak lagi hanya ingin tahu “mengapa”, tetapi juga “bagaimana”. Bagaimana saya bisa menjadi Muslim yang baik di tengah tantangan zaman? Bagaimana saya bisa memberi manfaat bagi orang lain? Rasa keadilan dan kebaikan bawaan yang merupakan bagian dari fitrahnya kini menuntut untuk disalurkan.

Peran orang tua kembali bertransformasi menjadi seorang mentor dan konsultan. Mereka memberikan kepercayaan, melibatkan anak dalam pengambilan keputusan, dan membekalinya dengan perangkat intelektual untuk menghadapi ideologi-ideologi kontemporer.

Pendidikan tidak lagi hanya seputar ibadah mahdhah, tetapi meluas pada pemahaman tentang perannya sebagai khalifah di muka bumi. Ia didorong untuk terlibat dalam kegiatan sosial, berorganisasi, dan berkarya, sebagai manifestasi nyata dari imannya.

Merawat fitrah adalah seni. At the end of the day, keberhasilan seni ini tidak diukur dari seberapa patuh seorang anak, melainkan dari seberapa hidup fitrahnya. Fitrahnya hidup ketika ia tetap khidmat kepada Yang Maha Kuasa. Fitrahnya hidup ketika dia bermanfaat bagi sesama manusia.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…

19 jam ago

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

19 jam ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

19 jam ago

Petaka Takfiri-Bedah Narasi Pengkafiran Kelompok Radikal Teroris : Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 5 Juni 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

23 jam ago

Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…

2 hari ago

Sekolah Rakyat; Upaya Memutus Radikalisme Melalui Pendidikan

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…

2 hari ago