Faktual

Sinergi NU dan Muhammadiyah Membendung Pragmatisme Politik di Pilpres 2024

Kamis, 24 Mei 2023 lalu Ketua Umum PB Muhammadiyah, Haedar Nashir menyambangi Kantor PBNU, di Jl. Kramat Raya, Jakarta. Maksud kedatangan Haedar adalah untuk bertemu dengan Ketum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf. Pertemuan itu bukan sekadar anjangsana semata. Namun, masih ada kaitannya dengan tahun politik.

Kedua Ketua dua Ormas Islam terbesar di Indonesia ini bertemu untuk membangun komitmen bersama dalam mewujudkan kepemimpinan moral di tahun politik Pilpres 2024. Gagasan kepemimpinan moral ini disuarakan untuk mencegah adanya pragmatisme politik. Kedua ormas juga sepakat untuk melanjutkan hasil kesempatan pertemuan tersebut ke dalam langkah dan aksi nyata.

Pertemuan dua pucuk pimpinan dua ormas Islam itu seolah menjadi oase di tengah hiruk-pikuk tahun politik yang kian hari kian memanas ini. Seperti kita lihat, dalam beberapa pekan belakangan suhu politik nasional tengah menghangat. Proses kandidasi capres oleh partai politik tidak pelak menimbulkan riak-riak polemik di level akar rumput.

Pertemuan antar-elite politik juga melatari munculnya perang opini di kalangan para pendukungnya. Belum lagi, belakangan antar kandidat capres mulai saling adu argumen di media massa. Kondisi itu dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial. Tidak hanya itu, kita juga patut khawatir Pilpres 2024 akan diwarnai pragmatisme politik.

Fenomena Pragmatisme Politik dan Residu Persoalan yang Ditinggalkannya

Secara sederhana pragmatisme politik adalah paham yang meyakini bahwa politik adalah kendaraan untuk meraih kekuasaan yang dikonversikan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Gejala pragmatisme politik ini sebenarnya sudah muncul sejak lama. Terutama sejak panggung politik kita diwarnai oleh tren politik hitam, antara lain politisasi agama dan politik identitas.

Praktik politik kotor seperti politik identitas dan politisasi agama adalah wujud paling nyata dari pragmatisme politik. Politik dimaknai semata sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Dan, kekuasaan cenderung dimaknai sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan pribadi dan kelompok.

Pragmatisme politik menyisakan sejumlah residu persoalan. Dari sisi politik, nalar pragmatisme pada kekuasaan ini cenderung merusak demokrasi. Salah satu tujuan demokrasi ialah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, baik di ranah ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Demokrasi berorientasi pada terciptanya kondisi yang setara. Ironisnya, cita-cita ideal itu kerap dijegal oleh pragmatisme politik. Alhasil, demokrasi kerap dibelenggu oleh kepentingan kelompok tertentu saja.

Dalam konteks ekonomi, pragmatisme politik telah menjadi batu sandungan bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan. Kekuasaan yang digenggam oleh segelintir elite pada akhirnya menghalangi akses masyarakat luas pada sumber-sumber ekonomi.

Mewujudkan Kepemimpinan Moral di Pilpres 2024

Dari sisi sosial, pragmatisme politik telah menimbulkan perpecahan alias polarisasi di tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Hasrat pada kekuasaan telah membuat segelintir elite politik rela mengadu-domba masyarakat dengan narasi berita palsu, ujaran kebencian, dan provokasi. Seperti yang kita lihat belakangan ini, masyarakat terpecah akibat narasi provokatif yang digaungkan oleh para politisi bermental pragmatis.

Sedangkan dari sisi budaya, pragmatisme politik telah merusak tatanan etika dan moral kebangsaan yang susah payah dibangun. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adat dan nilai ketimuran. Antara lain gotong-royong yang berbasis prinsip altruisme.

Yakni sikap tanpa pamrih. Fenomena pragmatisme politik harus diakui telah mengubah karakter altruis masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang melakukan segala sesuatu berdasar prinsip untung rugi.

Sinergi NU dan Muhammadiyah dalam melawan pragmatisme politik dan memastikan Pilpres 2024 berjalan dengan mengedepankan moral kebangsaan adalah hal yang krusial dan relevan. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di negeri ini sekaligus merupakan pilar kebangsaan.

Sejak republik ini masih ada dalam gagasan, sampai hari ini komitmen NU dan Muhammadiyah dalam hal kebangsaan tidak perlu diragukan. Kini, di tengah kemelut kontestasi politik, kedua ormas ini kembali menunjukkan komitmennya.

Kiranya, pertemuan dua petinggi ormas Islam itu tidak sekadar menjadi momen simbolik. Lebih dari itu, pertemuan itu kiranya mampu menggulirkan gerakan kolektif melawan pragmatisme politik dan mewujudkan kepemimpinan moral utamanya di Pilpres 2024. Dengan begitu, Pilpres 2024 tidak hanya akan menjadi ajang sirkulasi elite di level puncak. Namun, sekaligus juga menjadi sarana pendidikan politik dan pendewasaan publik dalam berbangsa dan bernegara.

This post was last modified on 29 Mei 2023 1:01 PM

Nurrochman

Recent Posts

Refleksi Harkitnas; Membangun Mentalitas Gen Z untuk Indonesia Emas 2045

Hari Kebangkitan Nasional kembali kita peringati tepat pada tanggal 20 Mei. Tahun ini, Harkitnas mengangkat…

5 jam ago

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional : Bangkit Melawan Intoleransi Berbasis SARA

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia.…

11 jam ago

PBB Sahkan Resolusi Indonesia Soal Penanganan Anak Terasosiasi Teroris: Kado Istimewa Hari Kebangkitan Nasional untuk Memberantas Terorisme

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengesahkan sebuah resolusi penting yang diusulkan oleh Indonesia, yakni resolusi yang…

11 jam ago

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

3 hari ago