Agama Islam datang ke Nusantara, menurut catatan sejarah sekitar abad ke-7, disebutkan bahwa kedatangan agama Islam di bumi Nusantara semenjak saudagar dari Gujarat datang untuk berdagang. Dari sekian saudagar yang datang ke Nusantara tidak semua kembali ke tanah kelahirannya, banyak di antara mereka yang memilih menetap dan melakukan perkawinan dengan wanita pribumi. Mereka yang melakukan perkawinan tersebut umumnya telah beragama Islam sehingga secara tidak langsung melakukan dakwah dengan cara perkawinan.
Penyebaran agama Islam tidak hanya melalui perkawinan, beberapa ulama berdakwah dengan cara bersosialisasi dengan masyarakat setempat kemudian mengenalkan Islam secara perlahan tanpa menggangu kebiasaan setempat. Dari situlah terjadi proses akulturasi antara agama dan budaya. MetodedDakwah yang dilakukan oleh para ulama tersebut membuahkan hasil, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama Islam telah menyebar ke beberapa daerah nusantara. Kesultanan Gowa di Sulawesi merupakan salah satu bukti diterimannya Islam di Nusantara.
Pasca menyebarnya agama Islam di Nusantara orang-orang mulai berangkat ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agama. Beberapa di antaranya bahkan menjadi ulama besar di Mekkah, di antaranya Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syeikh Abdul Gani Duma dan Imam Nawawi Al-Bantani, seorang ulama yang karya – karyannya telah memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama di Nusantara bahkan telah menjadi rujukan di Asia. Selain Imam Nawawi al-Bantani beberapa ulama Nusantara juga menimba ilmu di Mekkah. Hadratus Syeh Kiai Haji Muhammad Hasyim As’ari, ulama kelahiran Tebuireng yang juga sekaligus pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Organisasi Muhammadiyah yang banyak bergerak di bidang pendidikan.
KH. Ahmad Dahlan dan Hadratus Syeh Kiai Hasyim As’ari merupakan ulama yang mempunyai andil besar dalam pergerakan kemerdekaan, melepaskan Indonesia dari kungkungan penjajahan Belanda. Kiai Hasyim pada waktu itu menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berjihad mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Kiai Hasyim As’ari tidak serta merta diartikan sebagai upaya untuk mendirikan Negara baru berdasarkan syariat Islam semata, namun Jihad yang dimaksudkan adalah kewajiban bagi semua kaum muslimin untuk turut membela dan mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda, karena jihad merupakan bagian dari Hubbul Wathan Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman).
Akhir – akhir ini kalimat Jihad telah jauh melenceng dan disalahartikan oleh sebagian kelompok. Jihad fie sabilillah bagi mereka diartikan perjuangan untuk mendirikan Negara baru atau kekhalifahan. Gerakan yang ditempuh dengan cara kekerasan, teror dan pengeboman mereka anggap sebagai Jihad untuk meraih gelar Syahid. Secara kasat mata apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut terlihat baik, terlebih agama menjadi justifikasi kebenaran yang mereka perjuangkan. Namun sejatinnya Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan terlebih lagi untuk membunuh sesama, hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an (Qs. Al-Maidah ; 32) :
“oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”.
Merujuk pada penjelasan ayat di atas, maka jelaslah bahwa perbuatan teror bahkan jika sampai menghilangkan nyawa merupakan perbuatan dosa besar. Namun demikian seiring dengan perkembangan zaman, kebebasan berpendapat dan bersikap yang didasarkan pada HAM telah mengikis sikap cinta tanah air sebagian masyarakat. Bahkan beberapa Ormas telah berani secara terbuka mengikrarkan keinginan untuk membentuk kekhalifahan yang didasarkan pada Syariat semata. Keberanian tersebut turut didukung dengan pembelaan beberapa orang yang telah ditokohkan oleh masyarakat dan beberapa gerakan sosial kemasyarakatan.
Tentu saja hal demikian terjadi karena derasnya arus informasi yang tidak tersaring dengan baik, bahkan dewasa ini beberapa kelompok masyarakat mengandalkan dunia maya untuk belajar ilmu agama. Jikapun terdapat seorang guru, guru tersebut tidak jelas Sanad keilmuannya, bahkan seorang artis yang hanya merubah penampilan, bertegursapa dengan bahasa Arab telah mendapat gelar seorang Ustadz.
Melihat fenomena yang telah terjadi akhir-akhir ini, bagi seorang muslim yang baik tentulah akan semakin selektif dan cerdas dalam menerima pengetahuan tentang agama dengan memilih seorang guru yang jelas Sanad keilmuannya sehingga terhindar dari paham – paham yang telah melenceng dari Islam itu sendiri.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…