Categories: Narasi

Teologi Berani Mati, Bukan Berani Hidup Teroris

Kaum teroris yang bergentayangan di bumi Indonesia itu menganut paham teologi berani mati, bukan teologi bernai hidup. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan di muka bumi jika dipandang tidak sesuai dengan pahamnya dianggap sesuatu hal yang harus dimusnahkan. Dimusnahkan karena dianggap melanggar aturan agama yang dianut, bukan sesuatu yang harus dilanggengkan. Melanggengkan hal yang dianggap bertentangan dengan paham mereka adalah melanggengkan kemungkaran.

Paham teologi semacam itu jelas “membajak” paham teologi islam yang jauh lebih bermartabat, beradab dan humanis. Sebuah pembajakan teologi yang sering dilakukan oleh mereka yang suka melakukan takfiri pada mereka yang berbeda pandangan. Sungguh mengerikan dan membahayakan jika paham teologi takfiri dan teologi bernai mati ini terus dibiarkan di muka bumi Indonesia. Oleh sebab itu perlu segera dihentikan oleh mereka yang ingin menyaksikan Indonesia menjadi negara yang kita namakan sebagai baldatun tayyibatun wa rabun ghafur. Baldatun aminan dan baldatun saliman.

Salah Paham Doktrin Jihad

Salah satu teks suci yang sering “dibajak oleh kaum teroris adalah teks tentang jihad. Jihad yang memiliki makna sangat banyak dan bervariatif, hanya ditafsirkan tunggal yakni bagaimana “membunuh, mencelakai, menyingkirkan, dan menghilangkan” mereka yang berbeda. Padahal tafsir jihad yang lainnya itu jauh lebih penting dan menjadi warna dari dneyut nadi umat Islam Indonesia, dan umat Islam negara lain yakni bagaimana bersungguh-sungguh dalam memecahkan masalah bangsa dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Jihad itu tidak hanya dipahami sebagai bagaimana berbuat yang dianggap baik oleh para penganut teologi kematian, berani mati, tetapi lebih penting mentafsirkan jihad adalah bagaimana menyukseskan hidup ini agar lebih baik, mulia, sejahtera dan penuh cinta damai. Tafsir tentang jihad yang lebih positif dan afirmasi terhadap kehidupan harus dijadikan sandarana oleh banyak pihak sehingga bangsa ini tidak berada dalam kubangan kesengsaraan yang nyaris sempurna.

Salah tafsir atas doktrin jihad harus segera dikoreksi secara mendasar oleh para pihak yang tidak menghendaki terjadi berbagai kematian yang sia-sia. Kematian atas nama Tuhan dan kebajikan padahal sebenarnya kematian dalam kekonyolan karena hidup dalam frustasi yang nyata. Para ahli tafsir harus segera menyadarkan masyarakat agar bangsa yang banyak ini tidak diselimuti kabut tebal teologi kematian yang selama ini menjadi paham kaum teroris dan dengan sengaja disebarkan ke ruang-ruang publik atas nama Tuhan.

Telah terjadi distorsi pemahaman ayat tentang jihad yang lebih dekat dipahami sebagai doktrin “perang” dan “pembunuhan” pada sebuah masyarakat atau negara. Pemahaman yang semacam ini tentu mengancam dan membahayakan bangsa ini. Oleh sebab itu perlu mendapatkan resposn yang memadai dari kelompok-kelompok yang lebih akomodatif, responsif dan memperhatikan konteks sosial ketika membaca sebuah ayat atau membaca hadist.

Disinilah pentingnya sebuah kelompok mendapatkan “perlawanan” dari kelompok yang menyatakan anti terhadap NKRI dan Dasar Negara Indonesia. Bangsa ini tentu tidak akan menjadikan Pancasila sebagai agama, tetapi bangsa ini juga tidak boleh memberikan ruang pada para pembajak dan pembangkan kebebasan demokrasi. Antara yang menjalankan kewajiban dan tidak harus dibicarakan dengan seksama sehingga kaum teroris tidak semakin berkibar karena adanya tuduhan bahwa Pancasila akan dijadikan agama di Indonesia. Padahal hal semacam ini tidak benar adanya.

Mayoritas harus Bergerak

Bergeraknya kelompok teroris di Indonesia, yang jumlahnya sangat minoritas, harus segera dilawan oleh mereka kaum mayoritas yang tidak setuju dengan kaum teroris. Kaum mayoritas tidak lagi boleh berdiam diri melihat perilaku dan tindakan kaum teroris menguasai ruang publik. Kaum mayoritas tidak boleh lagi berdiam diri membiarkan kaum taroris membajak tafsir-tafsir teks suci al-quran dan hadits yang dipergunakan untuk kepentingan kaum teroris.

Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam terbesar harus bersungguh-sungguh memiliki perhatian pada umat Islam agar bagaimana kaum teroris tidak kemudian merasuk dikalangan Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah dan NU harus juga bekerjasama dengan ormas Islam lainnya seperti Nahdlatul Wathan, Persis, dan lainnya yang memiliki paham teologi yang sama untuk menyelamatakan Indonesia dari serangan-serangan kaum teroris yang agaknya dengan sengaja akan menghancurkan Indonesia.

Jika selama ini Muhammadiyah dan NU serta NW, Persis< Sarekat Islam dan MUI menjadi sasaran tembak kaum teroris agar menjadi pendukung atau menjadi simpatisan mereka, maka mulai sekarang harus benar-benar bergerak pada level bagaimana kaum Muhammadiyah, NU, NW, Persis, MUI, Sarekat Islam dan lainnya menjadi benteng penghadang bergeraknya kaum teroris di ormas Islam.

Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam terbesar harus bergerak bersama, tidak boleh lagi saling menjegal diantara mereka karena merasa diantara mereka sau lebih dekat dengan pemerintah, sementara lainnya tidak mendekat. Negara pun tidak boleh lagi memperlakukan dua penyangga umat Islam Indonesia secara diskriminatif. Negara harus melihat Muhammadiyah dan NU adalah kekuatan kembar untuk menghadang kaum teroris di lapangan.

Kaum mayoritas dengan demikian tidak boleh lagi “diam seribu basa” melihat gerak-gerik dan gelagat kaum teroris. Kaum Islam mayoritas tidak boleh lagi memiliki pandangan bahwa yang dilakukan kaum teroris adalah “membela Tuhan”. Mereka kaum teroris sebenarnya dengan semangat teologi berani mati sedang membangun angan-angan  sendiri tetapi mengajak orang lain untuk mendukung mimpinya.

Oleh karenaya, kaum mayoritas yang terdiri dari Muhammadiyah, NU, SI, NW, Persis, MUI dan lainnya haruslah segera siuman dan bergerak mencegah berkembangnya kaum teroris di Indonesia yang sejatinya adalah merusak keislaman di Indonesia. Kita tidak boleh lagi diperdaya dan diindoktrinasi bahwa teologi kaum teroris adalah paham teologi yang benar sebab pada kenyataannya kaum teroris hanya mengajarkan kebencian, ketidakadilan, serta pemusnahan atas mereka yang berbeda.

Saat ini kita harus bersatu padu dengan aparat keamanan, birokrat dan ormas Islam yang moderat untuk terus berjuang dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), yang sudah final dan tidak perlu di robah dasar negaranya. Muhammadiyah dan NU adalah pioner dari umat Islam yang harus terus bergerak membawa bendera moderatisme dan kontekstualisasi pemahaman teks suci al-quran dan sunah sehingga ayat-ayat Tuhan di muka bumi tidak “membeku dan mati”.

 

Zuly Qodir

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Lembaga Dakwah Khusus PP. Muhammadiyah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago