Narasi

Titik-Temu Toleransi Universal dalam Sila Ketuhanan Pancasila 

Tindakan intoleransi dan extremism bisa datang dari semua kalangan umat agama. Tetapi, semua agama tidak mengajarkan intoleransi dan ekstrimisme. Mengapa? karena yang keliru bukan agama, tetapi kekeliruan umat dalam beragama.

Kekeliruan beragama inilah yang harus dibenahi. Demi menyemai toleransi yang dibenarkan dalam semua agama (toleransi universal). Sebagaimana, kita harus menyembuhkan penyakit klaim ketuhanan secara eksklusif dan destruktif. Karena ini menjadi faktor fundament umat agama bersikap intolerant, ekstrimis, anti-keragaman dan radikal. 

Sejak dulu, klaim ketuhanan secara eksklusif dan destruktif selalu menjadi benalu bagi umat agama semakin membangun tembok pemisah secara sosial. Saling membawa sikap, bahwa konsep ketuhanan miliknya yang paling benar dan yang lain dianggap sesat. Jika dibiarkan, maka umat agama akan terus menyikapi perbedaan secara intolerant dan ajaran perdamaian dalam semua agama semakin terbengkalai. 

Maka, di sinilah pentingnya memegang prinsip ketuhanan dalam Pancasila itu. Sebagai titik-temu toleransi universal agar menjadi (prinsip beragama) umat yang menjaga perdamaian dan keharmonisan sosial. Lantas, apa nilai fundamental yang ditawarkan dalam Pancasila perihal prinsip ketuhanan yang bisa melahirkan intoleransi universal itu? 

Titik-Temu Toleransi Universal dalam Ketuhanan Pancasila 

Dalam kehidupan berbangsa di tengah keragaman, kita harus memegang asas Pancasila dalam bersikap dan menjalani kehidupan sosial di tengah keragaman. Agar, perbedaan identitas primordial tidak menjadi potensi kehancuran sosial di negeri ini. Sebagaimana, ada beberapa  titik-temu toleransi universal dalam ketuhanan Pancasila yang harus kita pegang. 

Konsep Ketuhanan yang Maha Esa memiliki paradigma dalam mempertemukan satu basis keyakinan (hakikat teologis) dalam setiap tradisi agama-agama. Sebagaimana, semua agama pastilah memiliki konsep, perspektif dan tafsiran ketuhanan yang berbeda. Tetapi semua pada hakikatnya mengerucut ke dalam esensi ketuhanan yang tak terbatas, un-subjektif, tak terdefiniskan dan begitu absolut

Pada prinsipnya, ketuhanan dalam Pancasila dapat menghadirkan eksistensi ketuhanan yang beragam dalam tiap-tiap agama ke dalam nilai universal. Dari sinilah konsep ketuhanan dalam Pancasila berupaya (menyingkirkan) beragam konsep, perspektif, tafsiran dan pandangan ketuhanan dalam tiap-tiap agama untuk tidak dijadikan alat pembenar ke ruang publik untuk mendistosrsi kebenaran umat agama lain.  

Dari sinilah pandangan egalitarianisme akan muncul. Bahwa, kita boleh berbeda secara konsep, pandangan, tafsiran dan prinsip tentang ketuhanan. Tetapi, kita pada hakikatnya percaya, yakin dan mengimani eksistensi Tuhan yang tak bisa terjamah oleh pikiran dan nalar keagamaan sekali-pun. Prinsip ketuhanan dalam agama-agama bersifat interpretatif terhadap non-eksitensi itu, yaitu Tuhan. 

Misalnya, di dalam tradisi Hindu kita mengenal istilah (Sanata Dharma) yaitu kebenaran yang abadi. Ini merupakan satu prinsip ajaran Hindu di dalam menaruh segala perspektif dan ragam pemaknaan terhadap Tuhan dalam tradisi Hindu ke dalam kebenaran sejati. Yaitu mengacu ke dalam konsep kebenaran Tuhan yang (Esa) itu. 

Begitu juga dalam tradisi Kristen, dalam prinsip (tritunggal). Bahwa, konsep Ketuhanan bukan mengacu kepada tiga Tuhan. Melainkan secara eksistensial mengacu pada (esensi Tuhan Esa) yang dapat dipahami dari tiga sifat/pribadi yang mengacu pada orientasi ketuhanan mereka. Jadi, segala bentuk pandangan, tafsiran dan konsep ketuhanan dalam Kristen sebagai (pengidentifikasian peran) ketuhanan, baik sebagai pencipta atau sebagai penyelamat. 

Dalam Islam, konsep ketuhanan Esa mengacu pada paradigma (Qs. Al-Ikhlas:1) “Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah yang Maha Esa”. Bentuk kata (Esa) kalau kita pahami secara mendalam, ini adalah bentuk kebenaran di dalam (mempertemukan) semua tradisi ketuhanan dalam agama-agama. 

Islam memiliki sifat-sifat yang “melekat” dari Tuhan yang Esa seperti Ar-Rahman, Ar-rahim, Al-Khaliq dan sebagainya 99 sifat. Tetapi, buka bermaksud Tuhan itu banyak, melainkan (peran dan fungsi) yang secara impelementatif dan representatif dapat dipahami untuk memudahkan kita dalam mengenal Tuhan yang Esa non-konseptual itu. 

Menariknya, eksistensi Tuhan (Esa) dapat diterima dalam keyakinan tiap agama sebagai (substansi) inti di tengah ragam pengidentifikasian dan representasi teologis. Inilah yang kita sebut secara filosofis dalam Islam, basis ketuhanan dalam Pancasila dapat melahirkan (egalitarianisme imanen). Semua berpijak pada keimanan masing-masing tanpa berpecah-belah dan saling menghargai (Qs. Al-Kafirun:6) “Lakum dinukum waliyadin”. 

This post was last modified on 7 Desember 2023 12:43 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago