Kebangsaan

Toleran adalah Watak Masyarakat Nusantara

Pada hakikat dan prakteknya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sudah terbiasa dengan  perbedaan. Sejak dulu, karakter masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang beragam, tetapi dapat hidup dalam keragaman. Tidak hanya persoalan suku, etnik dan budaya, tetapi persoalan keyakinan dan agama hidup dalam watak karakter masyarakat yang toleran. 

Banyak bukti dari sejarah masa lalu yang memperlihatkan bagaimana watak toleran dan guyub (hidup saling berdampingan dan tolong menolong) walaupun berbeda agama.Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja Asoka, mungkin salah satu prasasti paling terkenal yang mencerminkan watak dan karakter toleran Nusantara. Prasasti yang berisi dekrit Raja Asoka tentang kerukunan hidup beragama menyatakan beberapa hal penting misalnya, “Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain, tanpa dasar dan alasan yang kuat”. “Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu”.

Prasasti lainnya semisal Prasasti Kalasan, peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Pancapana Kariyana Panamkarana  berangka tahun 700 Saka atau 778 M. Salah satu isi dari prasasti ini dijelaskan tentang kehidupan dua agama, yaitu Hindu dan Buddha, yang hidup berdampingan. Tidak kalah pentingnya adalah Prasasti Waringinpitu yang dikeluarkan oleh Raja Kertawijaya pada 1447 M yang menyebutkan dua agama resmi di Majapahit, yaitu Siwa dan Buddha. 

Karakter saling membantu dan saling menghormati telah menjadi DNA masyarakat Nusantara. Ketika Islam datang, karakter ini tidak pernah hilang. Agama adalah penyejuk hati dan keimanan yang tidak menghilangkan karakter masyarakat lokal. Islam mudah diterima karena tidak memerangi budaya dan karakter masyarakat. 

Kerajaan Pasai tidak pernah memaksakan Islam kepada masyarakatnya yang sebagian masih menganut Hindu, Buddha, atau kepercayaan lokal. Islam disebarkan dari pasar ke pasar, bukan dari istana ke istana.  Begitu pula Wali Songo juga menyebarkan agama Islam dengan toleransi. Mereka memberikan teladan toleransi dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Air.

Adalah Sunan Kudus, Maulana Ja’far Shadiq yang memberikan tafsir inovatif dan toleran yang menghormati kebiasaan masyarakat Hindu Kudus menghormati sapi. Dengan Kerendahan hatinya ia tidak membawa Islam merusak kebiasaan, tetapi mengganti kurban dengan  kerbau. Sunan Kudus tidak ikut menghormati sapinya, tetapi menghargai masyarakat setempat agar tidak lari dari Islam. 

Penting dicatat bahwa Wali Songo sebagai penyebar Islam di Nusantara telah mencapai puncak kearifan berdakwah dengan semangat toleransi yang sangat tinggi. Tembang Jawa diserap dari budaya dan ajaran Hindu Budha dipadukan dengan ajaran Islam. Wayang sebagai kebiasaan masyarakat tidak diharam-haramkan apalagi dibid’ahkan, tetapi diambil menjadi aset budaya Islamisasi. Upacara adat, tradisi desa dan kebiasaan lainnya diserap dan diakulturasikan dalam pemaknaan baru yang tidak menghilang bentuk luarnya. 

Watak toleran dan akomodatif inilah yang menjadi warisan karakter masyarakat nusantara hingga saat ini. Tentu ada yang terserang mental dan karakter keras dan gampang emosi terhadap perbedaan. Tetapi, itu hanya bagian dari anomaly karakter masyarakat. Ia tidak akan bertahan lama dan tidak akan sesuai dengan iklim budaya dan kebatinan masyarakat Nusantara. 

Jika kita temukan pemuka agama yang keras dan meledak-ledak dalam mengajak umat beragama, tentu ia akan disukai dalam circle kelompoknya. Tetapi, ia akan cepat memudar ketika melihat realitas lapangan habitus nusantara. Ia akan melebur menjadi toleran dengan sendirinya. 

Karakter bawaan masyarakat Nusantara adalah toleran. Inilah yang harus terus diwariskan kepada generasi berikutnya dengan berbagai cara. Tidak cukup dengan ajaran agama, tetapi praktek keseharian yang menunjukkan realitas keragaman sebagai tanda Tuhan yang tidak bisa dibuang. 

Masyarakat nusantara tidak pernah baper dengan perbedaan. Masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang paling mengerti dan mempraktekkan firman Tuhan bahwa manusia diciptakan secara beragam untuk saling mengenal dan menghormati. Karakter ini harus dipertahankan dari para gagasan pendatang yang begitu buas ingin menghapus keragaman sebagai sunnatullah. 

This post was last modified on 7 Desember 2023 4:01 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…

3 hari ago

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

3 hari ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

3 hari ago

Narasi Tagut : dari Doktrin ke Aksi Teror-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 9 November 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 hari ago

Guru Pendidik: Menanamkan Budi Pekerti dan Nalar Kritis Ektremisme

Dalam dinamika sosial yang semakin kompleks, peran guru pendidik tidak hanya berkutat pada transfer pengetahuan…

4 hari ago

Menyelami Peran Guru di Era Serba ‘Klik’

Dulu, untuk mengetahui penyebab Perang Diponegoro atau memahami rumus volume kubus, seorang siswa harus duduk…

4 hari ago