Tragedi Bom Bali tahun 2002 tidak hanya merubah cara pandang bangsa ini tentang tragedi kemanusiaan dan kejahatan luar biasa yang bernama terorisme. Kejadian ini pun menyadarkan bangsa Indonesia tentang ancaman nyata terorisme yang hadir di tengah bumi nusantara yang damai ini.
Kebanyakan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban merupakan tulang punggung keluarga yang sedang menjalani tugas mulianya untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Tumini adalah salah satu korban yang membuka cerita dengan begitu mengharukan dalam buku Luka Bom Bali : Kisah Nyata dari Kejadian Bom di Bali ini. Betapa tidak, sebagai tulang punggung keluarga ia harus tetap berdiri kokoh meskipun fisik sudah tidak sempurna dan luka yang tidak mudah disembuhkan.
Luka fisik para korban memang belum sepenuhnya pulih hingga hari ini. Banyak dari korban yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, bahkan ada yang nyaris buta, dan menahan serpihan bom yang hingga saat ini belum bisa dikeluarkan dari tubuhnya. Namun, dari luka fisik itu semua, luka yang paling parah adalah luka ingatan dan mental berupa trauma.
Butuh waktu yang lama bagi para korban untuk hidup normal. Tumini, misalnya, harus setahun mengurung diri di kamar sendiri karena suasana di luar yang dianggap selalu mencekam. Begitupun dengan korban lain yang harus berjuang melawan sakit fisik dan paranoid. Hanya keluarga yang bisa membuat mereka untuk terus bangkit dan bertahan hidup.
Para korban memaknai hidup selamat pasca teror sebagai kebaikan dan anugrah dari Tuhan. Mereka seolah diberikan kesempatan hidup untuk kedua kalinya. Lantas apa yang akan mereka lakukan dengan kesempatan hidup pasca teror ini? Apakah mereka marah dan balas dendam terhadap pelaku teror?
Hidup tidak akan pernah tenang jika harus menanggung dendam dan amarah. Dendam tidak akan mengembalikan kondisi fisik seperti semula. Amarah kepada para pelaku terorisme juga tidak akan membangkitkan kembali para korban keganasan aksi mereka. Bagi para korban aksi terorisme, kesempatan kedua yang diberikan Tuhan dimanfaatkan untuk kembali memberikan hal yang bermanfaat bagi keluarga. Di lain waktu, kesempatan itu ia manfaatkan untuk memberikan nasehat dan pesan betapa terorisme itu sungguh jahat. Terorisme tidak hanya merenggut nyawa, tetapi merenggut kebahagiaan orang yang tidak berdosa.
Buku Luka Bom Bali : Kisah Nyata dari Kejadian Bom di Bali ini ditulis untuk mengenang kejadian terorisme di pulau dewata. Buku ini sangat penting dan menarik untuk dibaca. Membaca satu demi satu kisah dari para korban bom ini memberikan rasa sedih, pedih dan haru bercampur tangis ketika mereka menceritakan kondisi dan peristiwa mencekam kala itu. Namun yang terpenting adalah kita menaruh simpati yang luar biasa atas perjuangan dan kekuatan para korban menahan sakit dan menghilangkan dendam serta amarah kepada para pelaku.
Para korban kini memilih memaafkan para pelaku dan menyadarkan masyarakat tentang betapa besar bahaya terorisme merusak bangsa dan peradaban manusia. Bahaya itu sangat nyata karena teror bisa terjadi di manapun dan kapanpun. Para korban mungkin tidak habis pikir bagaimana jika korban aksi itu dialami saudara, orang tua dan sepupu para pelaku teror. Dimana sebenarnya hati para pelaku teror?
Semua korban teror hanyalah orang-orang biasa yang menanggung hidup untuk keluarga masing-masing. Bahkan ada di antara mereka hanya anak kecil yang tidak tahu apapun dengan kekerasan. Betapa kejamnya terorisme yang hanya akan merenggut nyawa dan memberikan luka kepada para korban sepanjang hidup mereka.
Terakhir, semoga buku karya Thiolina F. Marpaung sebagai salah satu korban bom Bali I ini mampu menjadi bacaan yang inspiratif bagi kita semua tentang perjuangan para korban aksi terorisme yang berjuang melawan sakit, trauma dan dendam. Dan semoga ini mampu memberikan kesadaran bagi kita tentang bahaya terorisme yang harus kita cegah sejak dini oleh seluruh komponen bangsa.
Bersama Cegah Terorisme
This post was last modified on 2 November 2020 4:46 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…