Pencanangan 15 Maret sebagai Hari Internasional Memerangi Islamofobia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa patut diapresiasi. Islamofobia telah menjadi isu global yang mengancam kesetaraan manusia.
Dalam kolom di Majalah Newsweek, Fareed Zakaria menyebut, Islamofobia telah menjadi semacam kanker dalam hubungan antara Islam dan Barat. Ketika banyak komunitas muslim berkembang di Barat, Islamofobia menjadi tantangan bagi upaya asimilasi dua entitas sosial yang sebenarnya memiliki hak yang sama sebagai warganegara global.
Pernyataan Zakaria itu tidak berlebihan. Islamofobia melatari praktik diskriminasi bahkan kekerasan terhadap muslim di banyak negara. Fenomena pelarangan jilbab, pembakaran Alquran, sampai kekerasan fisik seperti penyeberangan muslim di masjid adalah manifestasi nyata dari sindrom Islamofobia.
Di banyak negara, Islamofobia juga dieksploitasi untuk kepentingan politik terutama oleh kelompok konservatif kanan. Mereka mengembuskan narasi kebencian terhadap muslim untuk mendapatkan simpati calon pemilih. Fenomena Islamofobia juga kian parah ketika banyak hoaks dan mis-informasi tentang Islam yang beredar di kanal-kanal media sosial.
Problem Islamofobia ini harus dipahami dengan pendekatan dua arah. Bagi dunia Barat, penting kiranya memahami Islam dan ekspresi keislaman secara komprehensif. Tersebab, selama ini masyarakat Barat cenderung memahami Islam dari sumber yang bias, tidak kredibel, dan cenderung mendeskreditkan.
Memahami Islam dari Sumber yang Kredibel
Mayoritas masyarakat Barat selama ini mengetahui Islam dari berita tentang terorisme, atau konflik politik di Timur Tengah. Alhasil, imajinasi mereka tentang Islam selalu tidak jauh dari citra negatif, seperti pro kekerasan, misoginis (membenci perempuan), anti-demokrasi, menolak sains dan modernitas serta label negatif lainnya.
Penting bagi masyarakat Barat untuk memahami Islam dari sumber yang kredibel dan verifikatif. Masyarakat Barat perlu melihat wajah Islam yang berbeda dengan apa yang mengemuka di Timur Tengah.
Sedangkan dari sisi umat Islam, isu Islamofobia ini harus disikapi secara bijak. Kita patut mengapresiasi upaya PBB melawan Islamofobia. Namun, kita sebagai umat Islam harus mengakui bahwa ketakutan masyarakat Barat terhadap muslim itu sebenarnya valid. Adanya fenomena radikalisme dan ekstremisme adalah akar dari ketakutan masyarakat Barat terhadap Islam.
Harus diakui bahwa keberadaan kaum radikal ekstrem di dalam tubuh Islam ini ibaratnya seperti benalu. Keberadaan mereka tidak diinginkan, jumlah mereka sedikit, namun memiliki daya rusak yang signifikan. Ironisnya, masyarakat Barat kadung terjebak pada pola generalisasi yang menganggap seluruh muslim sebagai ekstremis radikalis.
Pekerjaan rumah terberat bagi umat Islam saat ini untuk melawan Islamofobia adalah membantah persepsi masyarakat Barat bahwa Islam adalah agama teroris dan pro kekerasan. Narasi Islamofobia tidak perlu disangkal, namun cukup ditandingi dengan narasi baru, yakni Islamofilia.
Secara istilah, Islamofilia bermakna sikap cinta dan bangga menjadi seorang muslim. Islamofilia diekspresikan dengan sikap taat beribadah, bangga menggunakan simbol Islam seperti jilbab dan sebagainya, serta menunjukkan perilaku yang toleran dan inklusif agar menarik kekaguman dan simpati kelompok lain.
Ramadan Sarana Mengembangkan Narasi Islamofilia
Islamofilia ini mulai dipopulerkan oleh banyak kalangan, mulai dari pemikir, aktivis, sampai politisi muslim di banyak negara sebagai narasi tandingan dari Islamofobia. Gerakan Islamofilia berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah agama damai, anti-kekerasan, demokratis, menghargai perempuan dan secara umum adaptif terhadap ilmu pengetahuan dan modernitas Barat.
Atas dasar keyakinan itu, kita harus membuktikan pada dunia bahwa Islam bukanlah ancaman bagi masyarakat global dan bukan musuh modernitas. Justru Islam hadir untuk membawa Rahmat bagi seluruh umat manusia. Islam juga sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan gender serta pengembangan ilmu pengetahuan.
Tentu, narasi itu bukan sekadar diwacanakan, namun dipraktikkan. Maka dari itu, penting bagi umat Islam hari ini untuk beragama secara moderat. Dalam artian menyelaraskan antara praktik keislaman dengan prinsip demokrasi, HAM, keadilan gender, toleransi, pluralisme, dan prinsip modernitas lainnya.
Prinsip moderat dalam beragama itu bisa digali dan dikembangkan dari ritus puasa Ramadan yang kita jalankan setiap tahun. Ramadan mengandung pesan tentang bagaimana menjadi muslim yang taat pada syariah, namun tetap adaptif pada spirit modernisme. Dalam puasa
Ramadan, menahan lapar dan dahaga itu hanyalah sarana untuk melatih kepekaan sosial dan membangun komitmen kemanusiaan. Orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh niscaya akan mampu mengeliminasi segala kecenderungan negatif yang ada dalam dirinya.
Efeknya adalah segala pikiran, ucapan, dan perilakunya akan senantiasa mencerminkan kepatuhan terhadap hukum dan etika yang berlaku di masyarakat. Pendek kata, orang yang berpuasa secara sungguh-sungguh akan menjadi pribadi yang mengagumkan dan mengundang simpati dari orang lain.
Dengan kata lain, puasa Ramadan bisa menjadi sarana efektif untuk mengembangkan narasi Islamofilia. Dengan merealisasikan hakikat puasa, kaum muslim sejatinya tengah membangun rasa cinta dan kekaguman dunia terhadap ajaran dan simbol Islam.
This post was last modified on 20 Maret 2024 11:34 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…