Masalah pandemi Covid-19 memang bukan melulu soal dampak kesehatan dan ekomoni, melainkan juga menimbulkan dampak yang lebih luas dan kompleks. Terlebih ketika kelompok radikal memanfaatkan kondisi ini untuk meraih simpati dan menyebarkan ideologi mereka sehingga bak virus.
Jelas, virus radikal yang dimotori oleh kelompok tertentu sangat mencederai moderasi yang telah lama dibangun dan diterapkan oleh segenap bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita dan kedamaian bersama. Dalam kaitannta dengan ini, mendiang Benazir Bhutto pernah berjujar: “Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah intoleransi dan ekstrimisme.”
Moderasi yang terbukti mampu menyatukan dan merupakan cara bersikap paling tepat di negeri yang komposisinya sangat beragam seperti Indonesia ini, kini mengalami tantangan yang luar biasa akibat gempuran intoleransi dan merebaknya paham anti-moderasi seperti ekstrimisme.
Tentu saja dunia, begitu pula Indonesia, tidak mau terjebak dalam perangkap yang dibuat oleh para kelompok ektrimis agar tercebur dalam lubang kedurjanaan dan konflik yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, layaknya sebuah virus, diperlukan sebuah vaksin untuk menghalau, bahkan mematikan ekrimisme atau radikalisme.
Dalam ilmu sosilogi, hubungan sesama manusia diperlukan sebuah perangkat ikatan sosial agar dapat menjaga keberlangsungan hidup damai dan toleran. Dalam Islam, ikatan tersebut terpatri begitu Indah dalam balutan yang kemudian disebut sebagai ukhuwah dan tasâmuh, yaitu persaudaraan dan toleransi.
Vaksin versi KH Hasyim Asy’ari
Zuhairi Misrawi pernah berujar, “ekstrimisme pada hakikatnya merupakan sebuah tindakan yang tidak bisa ditoleransi karena hanya akan melahirkan kejahatan dan kekacauan yang lain.” Oleh sebab itu, sekali lagi, radikalisme yang seringkali membuncah menjadi ektrimisme harus benar-benar mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius dan berkelanjutan.
Dalam rangka menumukan vaksin anti-Radikalisme, kita, salah satunya, bisa berangkat atau menggali pemikiran dan teladan dari ulama atau tokoh besar bangsa ini. Langkah seperti ini penting dilakukan karena vaksin itu sebenarnya lebih ‘mujarab’ apabila digali dari nilai-nilai yang sudah mengakar dan sudah menjadi karakter masyarakat setempat.
Baca Juga : Vaksinasi Deradikalisasi Berbasis Moderasi Teologi
Dalam bingkai ini, Kyai Hasyim Asy-ari, tokoh legend dan amat sangat berpengaruh bagi orang Indonesia, khususnya NU, memberikan pendasaran teologis, historis dan sosiologis terhadap menjaga keadaban publik, atau jika dikontekstualisasikan dalam kondisi kekinian disebut sebagai vaksin anti-radikalisme. Hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Zuhairi Misrawi, termaktub dalam kitab al-Tibyân: fin Nahyi ‘an Muqâtha’atil Arham wa Aqârib wa Ikhwân (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan, dan Tali Persahabatan).
Pertama, Persaudaraan. Persaudaraan menjadi pra-syarat utama sebuah kejayaan suatu bangsa karena di dalamnya terdapat spirit gotong-royong, sinergitas dan lain sebagainya. Selain itu, sikap persaudaraan ini juga menjadi vaksin anti-radikalisme karena kelompok ini seringkali hanya mendasarkan persaudaraan hanya pada teritorial se-aqidah, bahkan sepemahaman saja.
Landasan teologis yang digunakan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam membangun persaudaraan adalah QS. An-Nisa’ [4]: 1, “ …. dan bertaqwalah kepada Allah SWT yang mana kalian memohon kepada-Nya dan membangun tali persaudaraan. Sesungguhnya Allah Maha Menguasai atas kalian.”
Dilihat secara utuh, redaksi ayat ini menggunakan kata ‘al-nâs’, yang berarti manusia. Hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh jumhur mufassir seperti Thahir ibn ‘Asyur dalam al-Tahrîr wa al-Tanwir, menegaskan dimensi universalitas, yang tidak hanya diperuntukkan oleh orang mukmin saja. Dengan demikian, tali persaudaraan itu harus dijalin tanpa sekat agama dan lain sebagainya.
Selama masih dalam ciptaan yang sama, harus bersaudara. Inilah inti penjelasan KH Hasyim Asy’ari dalam kaitannya denga persaudaraan. Bahwa persaudaraan bisa dicapai manakala kita selalu menerapkan ajaran silaturrahmi. Dalam ilmu sosiologi, silaturrahmi dapat membangun relasi antar-masyarakat yang lebih harmoni dan sinergis. Inilah artik persaudaraan yang sesungguhnya.
Sementara dalam tataran historis, KH Hasyim Asy’ari berkali-kali menceritana tentang kisah seorang ulama Nusantara, bahkan juga menyitir kisah persaudaraan ulama besar namun dalam masalah fikih kedua ulama ini memiliki pendapat yang berbeda. Iya, kisah Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah perlu menjadi teladan dalam membangun persaudaraan meskipun berbeda pendapat. Suatu hari, Imam Syafi’i berziarah ke makam Abu Hanifah sembari mengkhatamkan Alquran. Selama tinggal di makam Abu Hanifah, Imam Syafi’i tidak membaca doa qunut, padahal Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca qunut pada saat shalat subuh hukumnya sangat dianjurkan.
Atas fenomena ini, seorang murid Imam Syafi’i bertanya: “Kenapa tuan tidak membaca doa qunut, bukankah dalam pandangan Anda, hal tersebut dianjurkan?” Imam Syafi’i pun menjawab: “Berhubung Imam Abu Hanifah tidak menganjurkan bacaan doa qunut, maka saya tidak membacanya sebagai rasa hormat saya kepada dia.”
Perbedaan sebagaimana terekam dalam kisah yang menyejarah di atas merupakan cerminan bahwa perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri dan tidak boleh menjadi alasan untuk menebar kebencian dan permusuhan. Namun, di masyarakat kita, hanya beda pilihan politik saja, sudah ributnya minta ampun.
Menurut KH Hasyim Asy’ari, kebencian dan permusuhan disebabkan oleh hawa nafsu. Dan bila kita tarik dalam kondisi saat ini, kelompok radikal memainkan aspek ini, yakni menebar kebencian dan permusuhan. Maka, di sinilah pentingya vaksinasi yang dalam hal ini berupa persaudaraan dan silaturrahmi sebagai obat untuk menangkal paham radikal.
Kedua, landasan historis toleransi. Toleransi bukan melemahkan umat Islam dan melemahkan Iman sebagaimana yang dinarasikan oleh kelompok radikal belakangan ini. Toleransi dalam ha ini harus dimaknai secara jeli dan mendalam bahwa ia merupakan sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama tanpa harus ‘menggadaikan’ aqidah masing-masing.
Dalam landasan historis dan teologi, toleransi sebenarnya merupakan ajaran dan tradisi umat Islam, yang diistilahkan dengan tasâmuh. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” Dalam pandangan KH Hasyim Asy’ari, sebagaimana diungkap oleh Misrawi, hadis tersebut bermakna meneguhkan komitmen umat Islam untuk menjun-jung tinggi toleransi. Persaudaraan dan toleransi bisa tumbuh subur jika moderasi menjadi bingkai dalam berpikir dan bertindak. Toleransi dan persaudaraan ini sejatinya vaksin yang sangat luar biasa dalam mengatasi persoalan radikalisme yang seolah tidak pernah mati. Oleh sebab itu, KH Hasyim Asy’ari memberikan penakanan bahwa dua hal tersebut harus membatin dalam diri setiap bangsa ini, terlebih umat Islam. Karena nilai dan sikap tersebut sangat efektif untuk melenyapkan virus-virus radikalisme dan ekstrimisme.
This post was last modified on 16 Juni 2020 1:23 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…