Narasi

Vaksinasi Deradikalisasi Berbasis Moderasi Teologi

Peradaban global terus dihadapkan pada permasalahan klasik lintas sektoral. Kondisi pandemik Covid-19 semakin menambah kompleksitas masalah tersebut. Salah satunya adalah ancaman terorisme dan radikalisme. Paham radikal akan memanfaatkan situasi yang terkonsentrasi menangani pandemi untuk bergerak dan bertindak. Kelompok rentan terpengaruhi semakin bertambah sebagai efek pandemi yang menimbulkan himpitan ekonomi, mudah tersulut emosi, kerawanan konflik dan keamanan, serta kondisi sejenis lainnya.

Terorisme dan radikalisme sesungguhnya tidak mengenal agama, etnis, dan identitas lainnya. Semua berpotensi menjadi korban sekaligus pelakunya. Semua agama jelas mengajarkan kedamaian. Sebagaimana Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Konsekuensi dan kewajiban muslim adalah mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil ‘alamin sekaligus menggerakkan upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia. Islam mesti dan diyakini mampu memberikan keteladanan di garda terdepan. Umat Islam penting diajak mendalami kembali ajaran yang penuh perdamaian dan secara pro aktif terlibat dalam gerakan anti radikalisme dan terorisme. Pemahaman kembali tersebut salah satunya dalam hal konsep moderatnya Islam. Teologi Islam yang moderat namun memiliki prinsip kuat menjadi kunci fundamantel dalam upaya vaksinasi kepada publik terkait deradikalisasi.

Teologi Damai

Label agama selalu muncul dalam lingkaran setan radikalisme dan terorisme. Baik sebagai legitimasi pelaku radikalisme maupun stigmaisasi dalam proses deradikalisasi. Keduanya sama-sama terperangkap dalam jebakan. Agama sendiri jelas tidak dalam posisi menjebak. Hanya kedua kutub itulah yang gagal paham dan salah tafsir dalam memposisikan dan memahami nilai-nilai agama.

Baca Juga : Ideologi Pancasila Kunci Membendung Ideologi Khilafah

Kesalahan bukan pada ajaran agama, namun manusianya. Revitalisasi pemahaman keagamaan perlu ditingkatkan. Bias agama dalam deradikalisasi juga perlu dihilangkan. Keduanya sama-sama membutuhkan pendekatan agama secara jernih dan kontekstual. Konsepsi moderasi teologi dapat menjadi strategi dalam revitalisasi tersebut.

Tidak ada agama tentunya yang mengajarkan kekerasan dalam membangun peradaban. Ayat-ayat perang dalam Islam pun merupakan catatan historiografi yang penting diambil hikmahnya dalam kondisi kekinian. Fikih perang memiliki prasyarat sangat berat dan kondisi kekinian yang damai jauh dari legitimasi melakukannya.

Perdamaian adalah asas dari ajaran Islam. Rasulullah SAW mengajarkan para sahabatnya agar tidak mengandai-andaikan peperangan dan permusuhan. Beliau mengajarkan agar para sahabatnya memohon perdamaian dan keselataman. Sebagaimana sabdanya, “Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Perang benar-benar menjadi jalan terakhir ketika tidak ada pilihan dan terancam kondisinya. Imam al-Qurthubi menjelaskan terkait ayat-ayat pernag bahwa asas dari agama Islam adalah kedamaian dan menempuh jalan-jalan untuk damai. Setelah perintah perang turun, nilai-nilai mulia tetap diperhatikan. Normanya harus tetap dijunjung yaitu tidak boleh melampaui batas, karena Allah benci orang-orang yang melampaui batas. Allah juga tidak menyukai permusuhan, walaupun terhadap non muslim.

Deradikalisasi juga mesti dilakukan secara professional. Stigma dan labeling terorisme dan radikalisme hanya untuk pelaku muslim harus segera diluruskan. Selain jauh dari fakta dan mencederai hati muslim mayoritas yang cinta damai, hal ini juga justru membangkitkan terus perilaku dan munculnya regenerasi kaum radikal. Deradikalisasi justru sebaliknya menggunakan pendekatan keagamaan secara komprehensif guna mencegah sekaligus mengendus jaringan terorisme. Tujuannya adalah bagaimana sebisa mungkin dapat dilakukan normalisasi kepada penganut dan pelaku radikalisme. Pertaubatan merekan dan kembalinya menjadi muslim yang normal merupakan senjata ampuh dalam mengurangi dan memangkas kasus terorisme di masa mendatang.

Strategi Operasionalisasi

Agama tentu akan tetap suci, mulia dan tidak terpengaruh tingkah laku manusia dalam menempatkannya. Poin utamanya adalah membangun kembali kesadaran dalam beragama dan memposisikannya dalam konsepsi moderasi.

Akar radikalisme akan tercerabut jika penganut pahamnya sadar dan taubat atas pemahamannya selama ini. Tanpa pendekatan sistematis, hal itu tentu mustahil adanya. Pemahaman keagamaan mereka bisa jadi hanya parsial. Untuk itu mendekati mereka dengan nasihat dan debat menggunakan ulama yang ilmunya di atas mereka menjadi penting guna mematahkan argumentasi radikalnya. Mantan pelaku dapat dijadikan pintu masuk guna berinteraksi dan diterima kelompok ini. Hanya dengan meluruskan kembali pemahaman agama, mereka dapat keluar dari jebakan pemahaman sempit dan menyimpang dari nilai agama.

Aparat juga harus keluar dari jebakan menempatkan agama khususnya Islam dalam setiap labeling terorisme. Penonjolan identitas keagamaan pada pelaku terorisme justru dapat mengundang simpati dari muslim lain yang berperilaku damai. Media juga mesti memahami dan turut memberikan keseimbangan informasi dan mengutamakan substansinya. Hal-hal yang tidak relevan dan kontra produktif misalnya menonjolkan ciri keagamaan ketika terjadi penangkapan, missal ditemukan mushaf Al-Quran, rajin ke masjid dan lainnya.

Agama apapun dan semua pengikutnya sepakat guna memerangi tindak terorisme dan radikalisme. Pemberantasan dengan pendekatan keras menjadi pilihan terakhir. Sebelumnya penting upaya pencegahan dan normalisasi bagi pelaku dan pengikutnya. Radikalisme harus ditelisik hingga akar dan mulai hulunya. Tanpa itu, paham ini justru akan terus menyubur seiring dengan pemberantasan yang dilakukan. Indonesia mesti menjadi contoh yang memberantas radikalisme dengan pendekatan moderasi agama. Pemberantasan mesti murni karena perlawanan atas terorisme yang tidak berperikemanusiaan. Keteladanan juga mesti ditularkan secara global agar optimal memberantas terorisme secara internasional.

This post was last modified on 15 Juni 2020 3:32 PM

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago