Para pengusung khilafah layaknya tukang jual obat yang selalu melihat peluang kapan pun dan di mana pun. Mereka adalah makhluk sangat lihai dalam memasarkan ideologi mereka dan sangat bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi.
Tak terkecuali saat Pandemi seperti sekarang ini. Bagi mereka ini adalah peluang besar, ketika berbagai negara kelimpungan menghadapi pandemi. “Jika dunia menerapkan cara-cara khilafah dalam menghadapi thaun,” kata mereka, “dunia akan aman.”
Tentu cara-cara yang mereka maksud tentu hanya slogan dan retorika belaka, tak ada tawaran riil yang komprehensif dan sistematis. Mereka adalah claimer sejati. Segala permasalahan yang dihadapi manusia, pasti diklaim bahwa khilafah punya solusinya.
Saat-saat seperti ini, kita tidak sekadar hanya menghadapi virus corona, melainkan juga virus khilafah yang tak kalah berbahayanya. Para pengasong khilafah akan memainkan segala cara, strategi, dan modus agar khilafah ini masuk ke benak setiap anak orang.
Tentu cara-cara frontal dan kasar akan ditinggalkan, sebab pasca pelarangan organisasi mereka, mereka beralih ke cara-cara yang lebih halus. Memainkan emosi, dramatisasi, play victim atas nama umat Islam adalah strategi andalan saat-saat pandemi ini.
Kasus pelarangan sementara untuk kumpul-kumpul dalam peribadatan agama didramatisir sebagai kebijakan yang anti-Islam.
Baca Juga : Pancasila Harus Menjadi Karakter
“Mengapa kami dilarang beribadah?” “Bukankah kebebasan beribadah itu hak konstitusional kami?” “Pemerintah tidak boleh zhalim kepada umat Islam.” Itu adalah sebagai contoh kecil bagaimana isu pelarangan kumpul-kumpul sementara didramatisir sebagai pelarangan beribadah dan dituduh sebagai anti-Islam.
Pun demikian dengan kebijakan new normal. Para pengasong khilafah dengan sungguh-sungguh mengampanyekan bahwa tatanan hidup baru itu adalah sistem khilafah. Sekali lagi –kata meraka –khilafah adalah satu-satunya tatanan hidup yang bisa membuat manusia aman dan sejahtera.
Memanfaatkan ormas, tokoh agama, politisi, atau kebijakan tertentu –meskipun tidak menyebut secara terangan-terangan sebagai khilafah –pasti dimainkan. Media sosial dan sentimen agama selalu jadi kunci.
Kerja-kerja untuk memproteksi strategi kampanye para pengusung khilafah itu perlu dideteksi sedini mungkin. Laiknya bunglon yang bisa beradaptasi dalam setiap keadaan demi keamanan dan eksistensinya, cara yang sama juga dilakukan oleh para pengusung khilafah itu dengan kerja-kerja strategi yang tak terduga.
Tugas kita bersama adalah mewaspadai itu. Boleh jadi topeng khilafah sudah tidak dipakai lagi, tetapi wajahnya masih tetap khilafah. Atau bajunya sudah ganti dengan baju lain, tetapi badannya masih tetap khilafah.
Penguatan Wawasan Kebangsaan
Untuk itu, kerja-kerja kolektif menghalau ideologi khilafah harus dilakukan sedini mungkin. Penguatan wawasan kebangsaan adalah salah satunya. Wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah konsepsi dan cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wawasan kebangsaan ini berlandaskan pada sila-sila yang tertera pada Pancasila sebagai kristalisasi dari alam bawah sadar manusia Indonesia. Wawasan kebangsaan harus merawat keragaman, menghargai perbedaan, dan menjungjung tinggi semangat gotong-royong, dan mengedepankan rasa welas asih dan toleransi.
Dalam konteks kebangsaan –apalagi saat-saat pandemi seperti ini –semua adalah kita, tidak ada mereka. Kita satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa, dan satu tujuan. Kita sama-sama lagi berperang melawan wabah yang membahayakan. Jangan ada yang menggunting dalam lipatan.
Kita melebur dalam ikatan kebangsaan, yakni sama-sama mempunyai pengalaman yang sama dengan tujuan yang sama pula. Saat melawan pandemi ini, segala bentuk primordialisme harus ditanggalkan. Ego sektoral harus kita tinggalkan. Perasaan dizhalimi harus dibuang jauh-jauh.
Suku, ras, agama, budaya, pilihan politik, bukan menjadi penghalang bagi kita untuk tetap selalu bergandengan tangan melawan Pandemi. Justu ini adalah kekuatan kita bersama. Gotong royong dan solidaritas sesama anak bangsa.
Pancasila Sebagai Karakter
Dengan wawasan dan adanya kesadaran akan kebangsaan makan proses menghalau pandemi ini dari ibu pertiwi bisa berjalan mulus. Internalisasi Pancasila sebagai laku kehidupan anak bangsa sangat perlu.
Nilai ketuhanan tentu sangat dibutuhkan saat pandemi ini. Sebagai bangsa yang sudah berabad-abad lamanya, Indonesia memiliki nilai spiritual yang tinggi.Ini tercermin dari agama dan keyakinan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.kompleksitas hubungan dengan Zat Yang Maha itu diakomodir sebagai basis dalam berbangsa dan bernegara.
Sifat pengakomodiran itu dengan kata ketuhanan bukan dengan kata Tuhan. Tak berhenti di sini, ketuhanan itu diikat dengan kata Esa. Esa berasal bahasa Sansekerta yang maknanya dalam, tidak sekadar satu. Esa lebih dekat pada menunggal dan meninggi.
Dengan kata Esa, bisa mengakomodir kompleksitas sesembahan manusia Indonesia. Sebab, kata itu bisa mencakup monoteisme, politeisme, bahkan agnostik dan ateisme sekalipun.
Prinsip kemanusiaan adalah menghargai harkat dan martabat yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Hak asasi yang dibawa manusia sejak lahir dari sono-nya. Menghargai itu dengan caraadil –tidak berat sebelah dan tidak ekstrem kanan-kiri; juga beradab –memperlakukan manusia layaknya manusia.
Adil dan beradab adalah kata kunci anak bangsa dalam bergaul dalam konteks hubungan horizontal; dan pemerintah dalam membuat kebijakan publik dalam konteks hubungan vertikal.
Persatuan adalah kunci utama.Indonesia adalah bumi kita berdiri.Tanah, air, dan udaranya merupakan satu kesatuan. Apapun yang ada di dalam kandungan Indonesia merupakan harta kekayaan bangsa ini yang harus dijaga dan diperuntukkan untuk semua.
Merawat, menjaga, kemudian menikmati hasil dari kandungan bumi Indonesia hanya bisa dilakukan jika ada syarat subtantif, yakni persatuan. Bukan dengan khilafah, yang justru membuat kita terpolarisasi. Kekayaan budaya, adat-istiadat dan sumber daya Indonesia ini tidak akan membawa kemaslahatan jika tidak ada persatuan.
Selanjutnya, politik sebagai instrumen tata kelola negara harus dijalankan dalam bingkai ketuhanan, kemanusiaan, dan keindonesiaan.Ketiga nilai itu melahirkan politik yang adi luhung, menghargai sesama demi kemajuan bersama.Kemajuan bersama dalam politik bisa terwujud jika dilaksanakan dengan nilai kebijaksanaan dan musyawarah.
Tujuan utamanya adalah keadilan sosial. Muara semua sila Pancasila adalah menciptakan keadilan sosial dalam tataran ekonomi. Semua warganegara harus bisa mempunyai akses terhadap akses ekonominya. Baik secara kultural terlebih-lebih struktural, keadilan ini harus ditekankan.
Jangan sampai hanya segelitir orang yang mencicipi kekayaan negara ini. Semua setara dan sama-sama mempunyai hak masing-masing. Menjadikan Pancasila sebagai karakter adalah kunci menghalau virus khilafah yang dengan sengaja menumpangi virus Corona. Dalam kondisi genting dan fokus kita semua tertuju pada pandemi, kita harus tetap memproteksi virus khilafah dengan menjadikan Pancasila sebagai pegangan bersama.
This post was last modified on 9 Juni 2020 1:49 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…