Kemampuan kelompok teroris dalam merekrut anggota baru terletak pada cara mereka memanipulasi fakta dan kebenaran dengan menyelipkan indoktrinasi kepada kelompok sasaran. Anak muda dengan kondisi psikologis yang labil, semangat idealisme tinggi tetapi tidak disertai oleh kecerdasan dalam menangkap informasi merupakan target utama.
Sebenarnya narasi yang disebar dan ditanamkan kelompok teroris kepada target mudah dipatahkan. Hanya saja mereka pandai mengeksploitasi tahapan demi tahapan doktrinasi sehingga anak muda tanpa sadar mudah terjatuh dalam propaganda mereka. Mari kita perhatikan dan kenali bagaimana kelompok teroris memainkan narasi propaganda tersebut.
Pada tahapan ini sasaran akan diajak berwisata dengan kondisi tragis beberapa Negara yang mengalami konflik, perang dan keprihatinan kemanusiaan. Roy Anthony dari Universitas Malay mengatakan kelompok teroris sangat cerdas memanipulasi dan mengekploitasi emosi dengan menarasikan ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan yang dialami Negara tertentu.
Salah satu mantan teroris inisial F mengungkapkan pada fase ini anak muda akan dikenalkan dengan visualisasi kondisi tragis perang dalam bentuk film. Tujuan dari fase ini adalah membangkitkan emosi empati anak muda terhadap saudara seagama dan sekaligus penanaman kebencian terhadap mereka yang diasumsikan musuh. Barat dan pemerintah dalam hal ini merupakan musuh yang layak dibenci sebagai biang keladi ketidakadilan di beberapa Negara mayoritas Islam.
Setelah anak muda terpapar kondisi tragis dan menunjukkan empati, lantas mereka akan menanyakan :
Perasaan membantu sesama saudara seagama adalah narasi yang paling banyak memukau anak muda. Seorang mantan teroris sebut saja inisial R merupakan salah satu korban doktrinasi solidaritas tersebut. Ia mengungkapkan pada awalnya ia diajak ke Ambon untuk menjadi relawan, tetapi di sana ia dilatih dan dikenalkan dalam jaringan terorisme. Misi Ambon selesai, ia justru melanglangbuana ke Filipina bergabung dan berlatih dengan kelompok Abu Sayyaf. Pintu masuk adalah solidaritas sesama saudara seiman.
Ketika anak muda mulai tergugah untuk mengekspresikan solidaritas, mereka hanya akan menawarkan satu cara. “kekerasan harus dilawan kekerasan”. Hanya ada satu cara menghilangkan ketidakadilan di beberapa Negara dan membebaskan saudara seagama, yakni kekerasan.
Pada fase ini logika dan akal sehat sudah mulai lumpuh. Para anak muda tidak lagi bisa berpikir apakah ketidakadilan dan kekerasan efektif dilawan dengan kekerasan yang sama yang justru menyasar mereka yang tidak berdosa juga. Anak muda akan didoktrinasi dengan legalitas (pengabsahan) melakukan kekerasan dengan istilah perjuangan, pengorbanan dan jihad.
Nah, ketika kalian berhadapan dengan beberapa tahapan seperti ini, maka berpikir kritis dan selalu mempertanyakan adalah kunci utama. Berikut beberapa pertanyaan penting dalam menangkal narasi :
Pertama, Apakah kalian sudah benar-benar memahami persoalan sebenarnya di Negara-negara penuh konflik? Sebut saja konflik Palestina, Suriah, Irak, Yaman dan lainnya. Sudahkah ada pemahaman tentang konflik di Negara tersebut. Konflik di beberapa Negara tersebut sebagian adalah konflik internal politik domestik. Jika kalian berangkat di area konflik hanya menjadi bagian konflik yang tidak menyelesaikan persoalan.
Kedua, Apakah kalian benar-benar akan mewakili Negara yang tertindas? Coba dievaluasi apakah tindakan kekerasan bom bunuh diri, menyembelih tawanan, membunuh masyarakat sipil, anak, orang tua dan wanita adalah bentuk mewakili Negara yang sedang berkonflik. Negara mana yang akan diwakili dengan cara-cara kekerasan seperti itu. Tidak salah jika dikatakan bahwa para teroris hanya membela dendam dan ego pribadi.
Ketiga, Apakah kekerasan sudah membantu Negara dan saudara seagama? Pernahkah kalian mempertanyakan hasil dari kekerasan dan bom bunuh diri yang memakan korban tidak bersalah telah membantu mereka yang sedang berkonflik. Apakah bom bunuh diri dan kekerasan sudah membantu membebaskan Negara-negara tertindas dan membuat saudara seagama merasa dibebaskan?
Salah seorang narapidana teroris yang saat ini berada dalam penjara sangat menyesali tindakan bom yang telah merusak dan membunuh mereka yang tidak berdosa. Dalam pengakuannya mereka selalu dihantui rasa bersalah dan penyesalan ketika melihat anak korban, istri dan keluarga korban bom yang ditinggalkan. Sementara itu ia tidak melihat kekerasan telah membantu saudara seagama yang seperti mereka idamkan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…