Narasi

Dekonstruksi Beragama Dan Siap siaga Menjaga Kemerdekaan Bangsa

Indonesia bukan negara agama. Namun spiritualisme menjadi ruh utama berkebangsaan. Sila pertama menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pembukaan konstitusi juga menunjukkan pangakuan sekaligus syukur bahwa “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…..”. Aplikasi spiritualisme juga telah mengobarkan bara perjuangan para pahlawan bangsa tatkala mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.   

Agama dan negara mestinya tidak dipahami bagai air dan minyak. Interaksi keduanya nyata ada dan tidak perlu diperdebatkan karena telah usai diperdebatkan hingga mencapai kesepakatan pada founding fathers. Pancasila menjadi dasar negara dan NKRI sebagai wadah bangsa.

Implementasi menjaga dan mengisi kemerdekaan adalah membangun bangsa. Tugas beratnya adalah bagaimana meletakkan pembangunan pada posisi dan porsi yang berpihak pada rakyat. Pembangunan mesti menjamin keadilan sosial ekonomi dan keberlanjutan ekologi.

Sentuhan spritual diharapkan menjadi strategi fundamental dalam menggerakkan seluruh sistem yang menyokong jalannya pembangunan. Menempatkan agama sekadar ritual untuk santapan rohani semata adalah pikiran sempit. Dekonstruksi diperlukan secara masif atas sempit pikir tersebut. Spiritualisme agama mesti dapat ditransformasikan dari ritus individual ke aplikasi konstekstual dalam menjaga kemerdekaan melalui pembangunan bangsa.

Potret Pembangunan

Sejumlah capaian positif hingga kini telah diraih melalui pembangunan bangsa. Antara lain kebebasan berekspresi, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lainnya. Capaian positif ini selama pandemi ada yang masih terjaga dan ada yang terguncang.


Di sisi lain segudang permasalahan kompleks dan akut masih menghantui perjalanan pembangunan. Catatan buruk masa lalu mesti ditinggalkan. Pembangunan mesti diteropong secara jernih dalam segala aspek permasalahan yang ada.

Baca Juga : Kesiapsiagaan Nasional; Mewarisi Perjuangan Pahlawan, Menjaga Kemerdekaan Bangsa

Arah pembangunan ditentukan oleh kebijakan kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan didominasi oleh aspek politik. Dalam hal ini pembangunan politik menjadi kunci strategis. Pasca-Orba, ajang kontestasi politik dipandang semakin demokratis. Indeks demokrasi Indonesia baru masuk pada level sedang dengan nilai 72,39 pada tahun 2019. Kualitas kepemimpinan juga masih jauh dari kepuasan rakyat.  

Salah satu permasalahan serius kepemimpinan adalah suburnya KKN. Indonesia pada tahun 2019 menempati peringkat ke 85 dari 180 negara dengan skor indeks persepsi korupsi 40 (TI, 200). Skor ini masih di bawah rata-rata dunia dan di bawah Singapura, Malaysia, dan Brunei.

Aspek pembangunan selanjutnya adalah sosial. Pembangunan sosial masih diwarnai sengkarut masalah pendidikan, kesehatan, konflik sosial, hingga terorisme-radikalisme. Pendidikan masih berkutat pada masalah akses, distribusi, kualitas guru, kurikulum, fasilitas, dan lainnya. Alokasi APBN 20 persen belum mampu dioptimalisasi, tetapi justru menyuburkan korupsi.

Kesehatan sebagai hak dasar rakyat masih belum sepenuhnya terjamin. Implementasi UU Jaminan Kesehatan Nasional masih jauh dari harapan. BPJS sebagai pelaksananya belum menunjukkan pengelolaan optimal. Bencana kesehatan saat pandemi Corona ini menjadi puncak gunung es masih lemahnya sektor kesehatan.

Konflik sosial dan intoleransi menjadi noda bagi keragaman Nusantara. Terorisme dan radikalisme juga terus mengusik perdamaian bangsa. Indeks Terorisme Global Indonesia adalah 4,76 dan menempati rangking ke-33 sedunia pada 2018 (Institute for Economics and Peace, 2019).

Perekonomian bangsa belum dirasakan perbaikannya secara merata. Kesenjangan terjadi antarpulau, antara desa-kota, dan antargolongan masyarakat. Kemiskinan menjadi permasalahan klasik. Penduduk di bawah garis kemiskinan pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau 9,41 persen dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2019).  

Kontekstualisasi Spiritualisme

Ruh spiritual sebagai pegangan fundamental tidak hanya direalisasikan dalam pola hubungan vertikal dengan Tuhan. Spiritualisme juga mesti dilaksanakan secara horisontal dengan semua makhuk dan dalam segala aspek kehidupan yang berperan menata peradaban manusia.

Giddens (2001) mengungkapkan bahwa era kehidupan seperti yang kita jalani sekarang tidak pelak lagi akan memunculkan kebangkitan agama dan berbagai filsafat zaman baru. Sejarah juga mencatat, menurut Christopher Dawson (dalam Husaini, 2001), agama-agama besar membentuk, menumbuhkan dan menjadi fondasi bertahannya peradaban-peradaban besar, seperti peradaban Yunani, Romawi, dan Islam.

Pembangunan dan pemerintahan harus mendapat sentuhan spiritualisme. Pelaku, aturan, sistem mestinya bekerja di atas spirit kebaikan. Di bawah naungan spiritual segala tindakan manusia idealnya akan terekontrol dan termotivasi untuk terus maju.

Sebagai pegangan filosofis bernegara, Pancasila dan UUD 1945 cukup memadai. Pancasila sendiri menempatkan nilai spiritual Ketuhanan menjadi paling sentral. Menjadi kebutuhan guna menciptakan pemerintahan dan pembangunan yang berketuhanan, menghadirkan pemimpin yang spiritualis, serta hukum/aturan yang mengindahkan norma.

Potret pembangunan di atas menjadi tantangan penanganan ke depan. Kemajuan pembangunan merupakan keniscayaan dalam kompetisi era globalisasi. Berbagai sektor pembangunan membutuhkan sentuhan kontekstualisasi spiritualisme.

Seluruh agama pasti mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Dalam konsteks sosial ekonomi, spiritualisme mesti hadir dalam menggerakkan kedermawanan, silaturahmi, keamanan, dan kenyamanan sosial. Dengan demikian dapat terminimalisasi permasalahan konflik, kriminalitas, kemiskinan, dan lainnya.

Konteks politik membutuhkan sentuhan spiritualisme dalam keteladanan dam etika kepemimpinan. Spiritualisme mestinya dapat mewujudkan demokrasi yang sehat dan tidak koruptif.

Dalam aspek budaya, spiritualisme dapat mendorong akulturasi antara agama dan kultur. Dengan demikian budaya nusantara dan spirit keagamaan menjadi modal besar bangsa dalam mengarungi derasnya arus globalisasi.

Sektor lingkungan juga perlu mendapatkan aplikasi spiritualisme dalam menciptakan kelestarian ekologi dan sumberdaya alam. Bencana dan kerusakan dengan demikian dapat tertekan dampaknya hingga dapat menjamin keberlanjutan pembangunan sampai anak cucu kelak. Kontekstualisasi spiritualisme yang optimal tidak sekadar membawa kemajuan pembangunan bangsa. Namun dapat mengantarkan Indonesia sebagai teladan dalam mewarnai peradaban global ke depan.

This post was last modified on 11 Agustus 2020 3:17 PM

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

22 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

23 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

23 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

23 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 hari ago