Setidaknya ada 600 WNI yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Kini, pasca ISIS mengalami kekalahan dan sudah tidak memiliki kekuatan dan pengaruh sama sekali, para simpatisan ISIS, termasuk 600 WNI, “mengemis-ngemis” kepada pemerintah masing-masing dengan harapan mereka dapat dipulangkan dari Suriah dan kembali ke Indonesia.
Namun, pro dan kontra pemulangan eks ISIS ini menguat di tengah-tengah masyarakat. Banyak kalangan yang setuju terhadap langkah pemulangan eks ISIS tersebut ke Indonesia dengan berbagai dalil atau alasan seperti kemanusiaan dan lain sebagainya.
Akan tetapi, banyak kalangan yang menentang keras atau menolak eks ISIS kembali ke Tanah Air. Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak ini, diantaranya karena status WNI eks ISIS sudah hilang dan jika mereka kembali ke Indonesia akan membawa “virus” ISIS ke Indonesia, sekalipun sudah dibina dan mendapatkan program deradikalisasi.
Belakangan, banyak peneliti yang mengungkapnya faktor dan alasan mengapa orang-orang, termasuk warga negara Indonesia tertarik bergabung dan berjuang bersama ISIS di Irak dan Syuriah. Memang harus diakui bahwa diantara kelebihan kelompok ISIS adalah melakukan propaganda sehingga terlihat seolah mempesona dan yang paling benar tindakannya.
Kelompok yang semangat keagamaannya tinggi, jika tidak hati-hati, sangat rawan “termakan” propaganda kelompok ISIS. Terbukti. Dengan semangat ‘membela’ agama Allah dan menegakkan khilafah, mereka rela meninggalkan kedamaian dan keindahan serta kekayaan Indonesia untuk bergabung bersama ISIS, bertempur di Suriah dan Irak.
Baca Juga : Belajar dari Sesal WNI eks ISIS: Masihkah Bermimpi Menegakkan khilafah?
Di antara propaganda yang dapat membius orang-orang yang semangat agama tinggi namun imannya dan pengetahuannya tipis adalah menjadi ‘mujahidin’ untuk membela dan menegakkan panji-panji Islam. Jika sudah kena doktrin ini, maka mereka akan mengatakan bahwa Indonesia sudah tak layak lagi dijadikan tempat hidup dan menghabiskan sisa waktu (meninggal).
Di samping itu, ada juga faktor ideologi. Sebagaimana yang telah banyak diungkap, bahwa ideologi ISIS adalah hendak mendirikan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera di bawah naungan Daulah Islamiyah yang menerapkan hukum Islam secara kaaffah (sempurna). Bagi penganut ideologi ini, akan meyakini bahwa hanya dengan hidup di bawah Daulah Islamiyah-lah kejayaan Islam akan terulang kembali. ISIS dianggap sebagai kelompok yang sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Karena beberapa ciri telah terkonfirmasi dalam seluruh gerakan ISIS. Pertama, IS adalah orgnisasi atau kelompok yang dengan gigih memperjuangkan berdirinya Daulah/ Khilafah Islam yg menerapkan hukum Islam, sesuai dengan yang diramalkan dalam banyak hadits.
Kedua, pimpinannya berasal dari Bani Quraish. Dalam hal ini Abu Bakar Al-Baghdadi merupakan keturunan Quraisy. Ketiga, IS lahir di Syam. Alasan alasan ini, mereka rujuk dari beberapa hadist, diantaranya: “Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim].
Keempat, IS lahir pada saat tanda-tanda akhir zaman sudah nampak jelas. Kepercayaan inilah yang kemudian membuat sebagian orang mengira bahwa ISIS adalah representasi kemajuan Islam sebagaimana yang terdapat dalam pesan nubuwah.
Memang, tanda-tanda akhir zaman itu sebagian telah nampak seperti terjadi peperangan besar (malhamah qubro), saat ini sudah masuk pada fase ke-5 kehidupan, sungai eufrat mengering, dll, orang arab sudah kaya raya, dll.
Adapun alasan lainnya adalah lebih bersifat pragmatis. Siapa yang yang tak ingin hidup bahagia? Apa-apa terpenuhi; pendidikan gratis, kesehatan gratis, mudah mendapat pekerjaan, mendapat gaji dari daulah, dan tidak ada kejahatan. Karena berpikir pragmatis, maka janji-janji ISIS tersebut mengerek diri mereka untuk pergi untuk bergabung bersama ISIS.
Namun pada kenyataannya, orang-orang yang meninggalkan Indonesia karena proyek hijrah ini menemui masalah akut, bahwa ISIS menerapkan sistem yang sama sekali berbeda dengan yang mereka bayangkan, alias kena prank!
Memang penyesalan selalu ada di belakang. Eks WNI simpatisan ISIS benar-benar telah berada dalam titik nadir: bertahan di bekas markas ISIS tentu sangat menderita dan nasibnya tentu saja semakin tidak jelas. Harapan hidup damai dan nyaman justru satu-satunya adalah kembali ke daerah atau negara asal. Namun tentu saja tidak semudah itu kembali ke negara asal, apalagi sudah pernah menganggap bahwa menghabiskan sisa umur di Indonesia sama saja unfaedah.
Namun tak berhenti di sini saja, mereka tetap merengek, meronta-ronta mengharap belas-kasihan pemerintah Indonesia. Sementara pihak pemerintah tidak bisa gegabah memenuhi keinginan mereka. Pada akhirnya, mantan simpatisan ISIS menjadi bak buah simalakama bagi negeri asalnya. Bagaimana tidak. Kalau pemerintah menerima eks ISIS pulang ke tanah lahirnya, niscaya akan membahayakan negara.
Eks ISIS tentu saja adalah mereka yang sudah terpapar atau terjangkit radikalisme. Jika demikian adanya, maka mereka bisa saja akan menyalurkan bahkan membangkitkan sel-sel teroris di masing-masing negaranya. Namun jika mereka dibiarkan, seolah negara tidak memiliki rasa kemanusiaan dan dipandang terlalu lemah jika tidak bisa membereskan masalah ini.
Perlu Perhatian Serius
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan (Menkopolhukam) Mahfud MD, terkait keberadaan WNI eks ISIS, mengatakan bahwa pemerintah akan membentuk tim guna mengkaji secara mendalam dampak positif-negatifnya pemulangan mantan kombotan ISIS.
Mantan kombotan ISIS memang bukan saja soal kemanusiaan sehingga mudah diseleaikan. Eks ISIS ini jika dipulangkan setidaknya akan membawa beberapa hal.
Pertama, ideologi teror. Filsuf modern, Rene Descartes (1596-1650 M), memandang ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia. Dan ideologi ini akan ‘naik pangkat’ menjadi sebuah keyakinan.
Eks kombotan ISIS, bisa dipastikan telah mewarisi ideologi ISIS itu sendiri, bahkan ideologi mereka lebih kental dan tambah militan. Sebaga. Aspek ideologi ini tidak bisa hilang begitu saja. Artinya, untuk menghilangkan pengaruh ideologi ISIS yang sudah kadung bersemayam di dalam diri eks ISIS, membutuhkan napas panjang.
Jika Indonesia memulangkan mereka, bukan perkara yang sulit bagi eks ISIS untuk membangkitkan sel-sel tidur terorisme. Kerja pemerintah akan terkuras jika sel-sel tersebut benar-benar bangkit.
Kedua, skills paramiliter. Dalam sejarah kelompok radikalis-teroris, apalagi seperti ISIS, selalu mempunyai kegiatan strategis, salah satunya pelatihan militer. Karena memang basis gerakan mereka adalah kekerasan dan peperangan.
Hal tersebut menjadikan anggota ISIS memiliki skil paramiliter. Skil ini sangat berbahaya, terlebih dalam doktrin mereka, Indonesia adalah negara ‘kafir” atau dar al-harb, yaitu negara yang wajib diperangi. Pengetahuan dan skill inilah yang mengkhawatirkan apabila mereka eks ISIS pulang ke Indonesia. Bisa-bisa mereka menganggap Indonesia sebagai lahan jihad untuk menegakkan khilafah.
Ketiga, networking dengan jaringan terorisme global. Meminjam teori yang digagas oleh Bruno Latour, ilmuan sosiologi dan antropologi Prancis, yakni Actor Network Theory (ANT), bahwa jaringan teroris memiliki akar yang kuat karena terdapat aktor, translasi, dan intermediari sehingga jaringan teroris saat ini ibarat sebuah lingkaran setan yang sulit untuk diputus.
Tegas kata, eks kombotan ISIS yang membawa ideologi, skill paramiliter dan networking ke Indonesia, maka besar kemungkinan akan menjadi pelaku utama atau inspirator bagi teroris Indonesia dan membuat jaringan terorisme di Indonesia semakin kuat. Dalam perspektif inilah, banyak kalangan menolak mantan kader/simpatisan ISIS. Kalaupun Indonesia terpaksa harus memulangkan eks ISIS pulang ke Indonesia, maka prioritaskan anak-anak dan perempuan. Dengan syarat dan assesmen ketat di Suriah. Harus ketat dan asesmen yang tepat karena beberapa deportan anak dan perempuan di Indonesia justru menjadi pelaku teror, seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya, Sobolga, dan Kepulauan Jolo Filipina.
This post was last modified on 11 Februari 2020 11:07 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…