Selama ini, ada anggapan bahwa perempuan cenderung lebih suka bergosip. Kebiasaan bergerombol dan mengobrol, bahkan membicarakan orang lain dianggap sudah menjadi bagian dari perempuan sejak zaman dahulu. Memang, bukan berarti laki-laki tidak melakukannya sama sekali.
Terkait kebiasaan perempuan ini, Maria D Andriana (2018) memberi gambaran menarik. Dalam tulisannya, ia mengisahkan bahwa pada tahun 1953, pelukis Hendra Gunawan menggoreskan cat minyak di atas kanvas yang menggambarkan tiga perempuan dari tiga generasi sedang mencari kutu rambut. Lukisan tersebut menggambarkan bagaimana pada zaman dahulu, mencari kutu rambut biasa dilakukan kaum perempuan di waktu senggang, sembari mengobrol, bergosip, dan bahkan meneruskan nasihat kepada anaknya.
Bertolak dari hal tersebut, Maria menggambarkan kondisi perempuan sekarang. Ia melihat, kebiasaan mencari kutu rambut memang sudah tak terlihat, terlebih di perkotaan. Mungkin masih ada di perdesaan. Namun, kebiasaan bergosip masih berlanjut. Zaman berkembang. Mengobrol tak mesti bertemu. Tak perlu lagi sembari mencari kutu rambut, sekarang mengobrol kosong bisa dilakukan lewat gawai, dengan memanfaatkan media sosial atau aplikasi berbalas pesan.
Namun, obrolan kosong di media sosial memiliki dampak lebih luas ketimbang sekadar obrolan di teras rumah sembari mencari kutu rambut. Mereka yang terlibat dalam obrolan tak terbatas pada beberapa orang tetangga, namun terdiri dari begitu banyak orang yang tak terbatas tempat dan waktu.
Bahkan, media sosial juga memungkinkan obrolan semakin meluas ke hal-hal yang tak benar-benar dipahami setia orang, sebab di dalamnya orang bisa dengan gampang membagikan link atau tautan yang mengarahkan pada berbagai sumber informasi online. Sebaliknya, obrolan yang bersifat private bisa dengan mudah dan cepat meluas dan tersebar ke ruang publik dunia maya.
Baca juga : Mewujudkan Perdamaian Sejak dalam Keluarga
Segala dugaan, prasangka, kecurigaan, kekhawatiran, dan berbagai hal yang kerap menyelimuti obrolan, akan gampang tumbuh dan berkembang secara luas di ruang-ruang obrolan dunia maya. Terlebih, ketika ruang-ruang obrolan dimasuki berita palsu atau hoax. Google News Lab 2017 menyebutkan, salah satu karakteristik hoax adalah fear arousing, yakni membuat orang yang membacanya akan dirundung ketakutan. Ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran inilah yang gampang menjerumuskan perempuan menyebarkan hoax.
Refleksi
Salah satu fenomena yang menggambarkan bagaimana kalangan perempuan atau ibu-ibu rentan terpengaruh ketakutan dan kecemasan akibat hoax adalah menyebarnya hoax penculikan anak di akhir tahun 2018 lalu. Media-media memberitakan, kepolisian telah mengungkap bahwa penyebar hoax tersebut kebanyakan didominasi ibu-ibu rumah tangga (emak-emak). Jelas, ibu-ibu gampang merasa khawatir dengan anak-anak mereka, sehingga kemudian menyebarkan hoax tersebut.
Uraian di atas memberikan kita kesadaran akan pentingnya kebijaksanaan perempuan di tengah era media sosial dan banjir informasi sekarang. Kalangan perempuan atau ibu-ibu mesti cerdas, sehingga tak gampang terpengaruh ketakutan dan kekhawatiran yang disebarkan oleh kabar-kabar hoax.
Jika berita hoax yang memunculkan rasa khawatir cenderung mudah dipercaya para ibu-ibu, maka kita juga bisa membekali ibu-ibu dengan kesadaran akan dampak negatif dari menyebarnya hoaks. Jika berita hoax cenderung gampang dipercaya emak-emak karena menyentuh perasaan, kita juga bisa menyentuh perasaan emak-emak atau kalangan perempuan dengan menunjukkan kisah-kisah menyentuh yang terjadi sebagai akibat dari menyebarnya hoax.
Terkait fenomena penyebaran hoax penculikan anak di atas misalnya, ternyata tak sekadar menimbulkan keresahan masyarakat, namun juga telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Rupanya, hoax penculikan anak tak hanya menyebar di Indonesia. Di India, hoax penculikan anak tersebut bahkan membuat seorang pemuda terbunuh karena dihajar massa yang mencurigainya sebagai penculik. Bahkan, The Guardian (17/7/2018) mencatat, lebih dari dari 20 orang di India telah menjadi korban main hakim sendiri akibat dituduh sebagai penculik anak oleh masyarakat.
Kabar-kabar sejenis bisa menjadi refleksi yang bisa diceritakan di kalangan emak-emak atau perempuan pada umumnya, agar lebih bijak dalam menyebarkan informasi yang mereka terima di media sosial. Cerita dan berita tersebut diharapkan memantik renungan, refleksi, dan evaluasi. Jangan sampai, hanya karena khawatir dan takut, kita menjadi begitu mudah menyebarkan suatu informasi, yang kemudian malah membuat ketakutan semakin menyebar dan menimbulkan kejadian-kejadian yang tak diinginkan.
Peran laki-laki
Menanamkan kebijaksanaan bermedia sosial di kalangan ibu-ibu (emak-emak) dan perempuan tak sekadar menjadi tugas perempuan itu sendiri. Upaya tersebut menjadi tanggungjawab kita bersama, terutama mesti mendapat dukungan dari para laki-laki sesuai peran dan posisinya. Bagi bapak-bapak misalnya, jelas penting membimbing istri dan anaknya memiliki kesadaran dan kecerdasan mengkonsumsi informasi. Juga bagaimana bersikap bijak dalam menyikapi lalu lintas pesan di grup-grup chatting atau ruang-ruang obrolan media sosial.
Di samping melindungi dari bahaya hoax di media sosial, sorang suami juga mesti melindungi keluarganya dari pengaruh paham-paham kekerasan atau radikalisme. Jangan sampai justru suami malah mengajarkan paham-paham radikal pada istri dan anaknya. Kita melihat belakangan kabar aksi terorisme yang banyak melibatkan perempuan. Dari kasus terorisme di Surabaya tahun lalu, hingga kasus di Sibolga beberapa hari lalu. Kabar-kabar tersebut sudah semestinya menjadikan kita semua waspada, terutama untuk lebih memperkuat perlindungan terhadap perempuan di sekitar kita.
Kita tahu, perempuan berperan sebagai ibu yang banyak memberi nasihat, arahan, dan pengaruh pada anak-anaknya. Ketika emak-emak cerdas dan bijak mengkonsumsi informasi, diharapkan kebijaksanaan tersebut akan menular ke anak-anak dan generasi muda kita.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments