Keagamaan

Hijrah dari Kekerasan Menuju Perdamaian

Di tempat tujuan hijrah, Nabi membangun sebuah peradaban agung yang dapat menyatukan perbedaan dalam persaudaraan. Tempat hijrah bukan tempat kecamuk konflik dan peperangan, tetapi ruang sosial yang dapat menampung misi pengembangan dakwah dan pembangunan komunitas Islam damai secara kondusif. Hijrah adalah titik awal membangun peradaban, bukan awal mula menghancurkan peradaban yang sudah ada.

Sejatinya hijrah dapat dipahami sebagai strategi menghindari kontak fisik dan peperangan frontal yang dapat menghilangkan nyawa dan korban. Dalam banyak hal, pilihan strategi yang digunakan oleh Nabi Muhammad adalah strategi sosial yang cerdas untuk menghindari konflik dan peperangan dengan mengedepankan perdamaian. Hasilnya, strategi tersebut membuahkan kemenangan besar. Lihatlah bagaimana Nabi lebih memilih perjanjian damai ketimbang perang dalam perjanjian Hudaibiyah. Atau Nabi lebih memilih menyatukan seluruh komunitas Madinah dalam satu naungan perdamaian walaupun berbeda-beda keyakinan.

Hijrah, dalam hal konteks ini, merupakan strategi menghindari kekerasan. Hijrah merupakan perintah Tuhan yang mengandung pilihan logis yang harus dilakukan ketika ancaman, teror, intimidasi dan kebebasan dakwah tidak terpenuhi, sementara di tempat lain ada iklim sosial yang kondusif untuk mengembangkan misi keagamaan dan membangun komunitas yang stabil. Dan, hijrah telah menjadi momentum besar dari contoh membangun peradaban yang dimulai dengan nir-kekerasan.

Ketika illat hijrah telah tidak ditemukan dan ketika tujuan hijrah ini tercapai, Nabi dengan tegas mengatakan  “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah; yang ada adalah jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan untuk berperang, maka berperanglah” (HR Bukhori Muslim). Sabda Nabi ini cukup gamblang menggambarkan bahwa hijrah sebagai sebuah strategi untuk mencapai suatu maksud.. Ketika ancaman, teror dan intimidasi terhadap komunitas telah tidak ditemukan dan ketika pembangunan peradaban Islam telah tercapai, misi hijrah telah tercapai. Artinya, dalam hal ini tidak ada lagi kewajiban hijrah ketika tujuan dan illatnya sudah tidak ada.

Namun demikian Nabi mengingatkan bahwa jihad dan niat tetaplah ada. Pernyataan ini menyiratkan misi hijrah telah tercapai dengan membangun peradaban, tetapi jihad merupakan sarana yang harus terus dilakukan untuk mempertahankan capaian peradaban dari ancaman dari luar. Jihad merupakan kewajiban terus menerus sebagai pertahanan dari serangan dari peradaban yang telah tercipta. Jihad merupakan strategi pertahanan atas apa yang telah dicapai melalui misi hijrah, bukan strategi untuk menyerang dan meruntuhkan peradaban yang sudah ada. Dan perintah jihad harus berdasarkan pemimpin atau ulil amri, dalam hal ini pemerintah yang sah dalam mempertahankan peradaban yang ada.

Dewasa ini, peradaban Islam dan komunitas kaum muslimin telah tersebar di berbagai belahan dunia. Banyak sekali Negara yang kondusif bagi pemenuhan hak keagamana dan secara nyata membawa spirit Islam dalam Negara, sebagaimana Negara Indonesia. Tidak ada lagi ancaman, intimidasi dan keamanan umat Islam di negeri damai seperti Indonesia. Tidak pula ada serangan fisik yang mengancam umat Islam di Indonesia, karena jaminan yang nyata diberikan untuk menjalankan ibadahnya dengan tenang.

Dalam konteks kekinian, hijrah fisik sungguh tidak relevan. Tidak ada lagi hijrah fisik sebagaimana telah disabdakan Nabi pasca Fathu Makkah.. Tetapi umat Islam, memiliki tugas jihad yang tidak pernah padam untuk mempertahankan keluarga, komunitas, Negara tempat mereka berlindung. Kewajiban jihad akan terus melekat sebagai strategi membentengi diri.

Dalam hal ini sungguh kesalahan yang nyata ketika ada narasi yang menjadikan hijrah sebagai pembuka awal melakukan perang dan kekerasan. Bagi kelompok teror, hijrah justru dijadikan alat legitimasi keagamaan umat Islam untuk terjun ke medan konflik, bukan untuk mencari tempat dan lokasi yang lebih baik dan damai. Di situlah kesesatan berpikir yang ingin ditularkan kepada masyarakat.

Lalu, apa makna hijrah dalam konteks kekinian? Kita harus belajar pada Hijrah Nabi yang justru ingin menghindari kekerasan dan perang dengan memilih cara damai demi capaian kemenangan jangka panjang. Sudahkah kita hijrah meninggalkan cara-cara kekerasan menuju perdamaian? Sudahkah kita hijrah menanggalkan kebencian menuju persaudaraan? Mari berhijrah..

 

This post was last modified on 28 September 2016 10:20 AM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

55 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

57 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

59 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago