Narasi

Khilafahisme dan Manusia Tuna Budi di Tengah Pandemi

Pancasila terlahir dari rahim bangsa Indonesia melalui rangkaian perjalanan yang panjang. Pancasila dilahirkan di bumi pertiwi yang bhinneka ini oleh tokoh-tokoh bangsa yang luar biasa hebat. Pancasila dirumuskan oleh para ulama NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis religius pada 1945 silam. Dari sini, kita tahu bahwa tidak ada satupun tokoh khilafahis punya andil terhadap proses perumusan Pancasila

Pun jikalau kita kuliti sejarah nusantara lebih dalam, membuka lembar demi lembar catatan lampau, khilafahis sama sekali tidak mempunyai pijakan sejarah (history standing) untuk berkomentar soal Pancasila. Mereka juga tak mempunyai pijakan hukum (legal standing) untuk berbicara soal Pancasila, karena menolak Pancasila sebagai ideologi negara yang sah. Pun mereka juga tidak mempunyai pijakan moral (moral standing) untuk membahas Pancasila, karena tidak ikut merumuskan dan menyepakati Pancasila sebagai dasar negara.

Berbagai catatan sejarah tersebut menegaskan bahwa Khilafahis tak pantas mengklaim sebagai Pancasilais. Publik masih ingat dan tidak akan lupa, ketika Mukhtamar mereka pada tahun 2013 di Gelora Bung Karno, secara tegas mereka menyatakan tidak setuju terhadap Pancasila, paham kebangsaan, dan demokrasi. Bagaimana mungkin hari ini mereka mengklaim Pancasilais, membela Pancasila, kalau tidak atas dasar kepura-puraan dan kemunafikannya.

Karena tuna sejarah, tuna hukum dan tuna moral, ramai-ramai aktivis Khilafahisme ikut nimbrung bicara soal Pancasila. Mereka ingin memframe seolah-olah mereka Pancasilais, padahal lintah penghianat yang kalau kita lengah bisa saja melakukan kudeta.

Sebagai bangsa pewaris Pancasila, tugas kita adalah menjaga, merawat, dan yang terpenting adalah mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berkebangsaan. Segala bentuk sikap manipulatif dan perilaku menjadikan Pancasila sebagai alat pengadu domba harus kita lawan. Para aktivis yang bermuka ganda seperti pengusung Khilafah harus kita redam. Di tengah kepungan badai bencana kemanusiaaan Covid-19 yang kian mengganas, mereka justru memperalat Pancasila sebagai alat pencitraan. Bukan malah fokus membantu penanganan wabah pandemi ini. Dasar manusia-manusia tuna budi.

Baca Juga : Menangkal Kamuflase Kuda Troya Khilafah

Wahai para pengusung Khilafah, masihkah kalian punya mata batin jernih. Bukalah! Masihkah mata kalian melihat ribuan nyawa melayang akibat amukan badai Covid-19 dan lima puluh ribu lebih terpapar virus mematikan. Masihkah telinga kalian mendengar berita-berita membosankan lonjakan kasus Covid-19 saban harinya. Kenapa demikian sibuk mencitrakan sebagai Pancasilais di tengah kepungan wabah Covid-19.

Kita memang sudah jengah dan bosan atas perilaku para Khlafahis yang hobinya mengklaim dam memanfaatkan isu. Di dunia global pun demikian sama. Contah kasus, klaim mereka atas Universitas Al-Azhar. Realitas Al-Azhar yang demikian agung, membuat naluri mereka bangkit untuk memanfaatkannya bagi kepentingan propaganda perjuangan mereka mendirikan Khilafah Tahririyah.

Dan hari ini di tanah air, para kroni Khilafahis berupaya menggoreng isu RUU HIP dan mengklaim sebagai Pancasilais. Bahkan di dunia global, mereka pun menunggangi isu beralih fungsinya Museum Hagia Sophia menjadi masjid. Sungguh tak tahu malu, manusia tuna budi di tengah pandemi. Alih-alih berupaya membantu dalam penanganan Covid-19, malah justru sibuk memanfaatkan isu demi kepentingan kelompoknya sendiri.

Bahkan saking tuna budinya, tak hanya membawa isu-isu tersebut atau bahkan yang kerapkali adalah isu PKI dan komunisme untuk mengklaim Pancasilais, akan tetapi juga menjadikan asma Allah, tauhid, Rasulullah, syariah, dakwah dan hijrah sebagai alat propaganda. na’udzubillah min dzalik. Sudah saatnya kita paham dan tangkis perilaku mereka. Hari-hari ini dan kedepan hal yang terpenting adalah satukan langkah, kuatkan simpul kebangsaan dengan gotong royong. Amalkan nilai-nilai luhur Pancasila secara nyata. Dan maksimalkan energi kita untuk membantu pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Untuk esok masa depan Indonesia maju adil dan makmur.

This post was last modified on 17 Juli 2020 2:20 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

21 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

21 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

21 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago