Narasi

Khutbah untuk Ukhuwah

Mimbar khutbah rentan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebarkan ekstremisme. Golongan ini sadar, cara tersebut efektif untuk melakukan indoktrinisasi ideologi yang mereka anut. Jika setiap satu sesi khutbah di satu masjid, ada seorang saja yang terpengaruh, cukup untuk melakukan proses regenerasi. Ketika khutbah seperti ini dilakukan berkali-kali di masjid-masjid yang jumlahnya banyak, peredaran ajaran radikal dapat berkembang dengan sangat pesat. Hingga tanpa disadari, terciptalah kader dan pengagum ajaran Islam nonmainstreaam di beberapa titik-titik strategis umat. Kondisi inilah yang perlu disadari aktivis dan tokoh agama di masyarakat. Bahwa ajaran Islam yang berwawasan kebangsaan, yang selama ini telah dipraktekkan di Indonesia, mendapat penentangan dan perlawanan. Dan khutbah dijadikan sebagai pintu masuknya.

Hakekat khutbah adalah memberi nasehat dan mengajarkan kebaikan kepada kaum Muslimin. Mengajak orang Islam untuk mengaplikasikan ajaran agama dalam kesehariannya. Agama yang ramah dan penuh hikmah. Bukan agama yang mengajarkan perpecahan. Menyampaikan keteladanan yang dilakukan oleh rasulullah, sahabat, dan ulama-ulama terdahulu. Mengabarkan kearifan para pewaris agama dalam kesehariannya. Tetapi kini, kita mendapati penceramah yang berapi-api berbicara Islam secara salah dan tidak kontekstual. Bahkan ada  yang bertindak layaknya provokator. Menuding pihak lain bersalah dan harus dilawan. Menyebarkan kata-kata kafir yang tidak sesuai konteksnya. Jika bertemu model pengkhutbah seperti ini, niscaya bukan hikmah dan ispirasi yang didapatkan, melainkan keresahan dan kebingungan bagi umat.

Untuk menghindari problem dalam materi khutbah, perlu dibuat arahan dan aturan bagi para khatib. Misalnya, hal apa yang boleh disampaikan dan terlarang dilakukan. Sehingga khutbah yang dilakukan benar-benar efektif mengajarkan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Atau jika perlu, dapat dibuat kurikulum khutbah. Baik kurikulum khutbah bulanan, semesteran, tahunan, dsb. Misalnya, tujuan kurikulum khutbah pada bulan Januari 2019 adalah memantapkan pemahaman urgensi berbangsa bagi seorang Muslim. Maka contoh materi khutbah pekan pertama Islam dan Pancasila; pekan kedua Islam dan Nasionalisme; pekan ketiga Pandangan Ulama tentang Bangsa; pekan keempat Kewajiban Muslim terhadap Bangsanya. Kurikulum ini disesuaikan dengan kebutuhan lapangan dan kondisi masyarakatnya.

Baca juga : Lawan Radikalisme dengan Khutbah Santun

Termasuk dalam penyusunan kurikulum ini, ditentukan siapa yang akan memberikan khutbah. Perlu dicari sosok khotib yang mampu merangkul dan mengayomi umat dalam konteks kebangsaan. Mereka yang paham bagaimana menciptakan kerukunan dan perdamaian. Menyatukan bukan memecah belah. Jangan mencari penceramah yang belum diketahui kapasitas keilmuannya dan kontribusinya bagi masyarakat. Mereka yang hanya modal nekat dalam memberikan nasihat agama. Apalagi, kini semakin banyak orang yang penampilannya sangat agamis, tetapi tingkah lakunya berseberangan dengan nilai-nilai Islam yang cinta damai. Orang-orang inilah yang harus dihindari dan jangan diberi panggung. Sebab materi yang akan disampaikan bisa merusak tatanan keharmonisan.

Dalam penyusunan kurikulum khutbah ini, ormas agama memegang peranan penting. Apalagi mereka yang selama ini berinteraksi langsung dengan masyarakat sekaligus berkontribusi dalam membangun tempat-tempat ibadah. Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, dsb. Minimal masjid yang berada dalam kendali mereka jangan sampai tersusupi paham radikal. Tetapi masalahnya, masih banyak sekali masjid-masid di Indonesia yang tidak bisa dikontrol secara baik. Akibatnya, tempat-tempat ibadah ini -apalagi yang terlihat tidak terurus- langsung disusupi dan dimanfaatkan oleh kelompok lain. Disinilah masyarakat memegang peranan penting. Ketika melihat ada masjid yang belum dikelola secara profesional, sebaiknya langsung dirembug bersama agar bisa dioptimalkan untuk umat.

Tetapi saat ada tempat ibadah telah terindikasi dimasuki orang-orang dengan paham yang tidak sesuai dengan NKRI, harus dilakukan langkah-langkah kongkret untuk meminimalisir ekses negatifnya. Dimulai dengan pendekatan kepada kelompok-kelompok tersebut dan diberi pemahaman tentang kekeliruan-kekeliruan mereka dalam memahami teks agama. Kita perlu menyadari, apa yang mereka lakukan -bisa jadi- diakibatkan karena ketidaktahuan ataupun keterbatasan dalam menafsirkan agama. Sehingga perlu dirangkul dan diarahkan agar dapat menerima paham kebangsaan dengan sepenuh hati. Dengan dialog dan keterbukaan, diharapkan semua pihak mengerti urgensi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan tidak ada lagi gerakan-gerakan yang merongrong kedaulatan negeri ini. Khutbah yang dilakukan pun niscaya menciptakan ukhuwah wathaniyah.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago