Narasi

Logika Membandingkan Khilafah dan Pancasila : Antara Idealitas dan Realitas

Membandingkan antara Pancasila dan Al-Quran sebagaimana sering menjadi propaganda kelompok radikal merupakan logika perbandingan yang menyesatkan. Pancasila adalah hasil ijtihad manusia yang menggali dari berbagai sumber, termasuk dari Al-Quran. Sementara Al-Quran merupakan wahyu ilahi sebagai sumber utama dalam agama.

Propaganda kelompok radikal menempatkan Al-Quran dan Pancasila pada posisi yang diametral yang seolah bertentangan. Harapannya, tentu saja mempengaruhi masyarakat untuk memilih Pancasila atau Al-Quran. Padahal dengan memperbandingkan dua hal yang tidak simetris itu, mereka tidak sadar mendowngrade Al-Quran sebagai wahyu dan kalam ilahi yang tiada bandingannya.

Hal yang paling tepat jika ingin memperbandingkan dalam tataran konsep dasar bernegara bukan antara Pancasila dengan Al-Quran, tetapi antara Pancasila dengan Piagam Madinah yang disusun Rasulullah sebagai perjanjian luhur dengan komunitas Madinah yang majemuk. Perbandingan itu lebih logis dan masuk akal. Dan tentu, akan ditemukan banyak kesamaan prinsip dan paradigma antara Pancasila dengan Piagama Madinah yang sama-sama ijtihad perjanjian luhur manusia dalam mengatur pluralitas sebuah bangsa.

Persoalan lain yang kerap muncul adalah dengan memperbandingkan antara Pancasila sebagai dasar negara dengan khilafah. Dalam narasi ini, mereka acapkali menggembar-gemborkan kegagalan negara karena tidak menerapkan khilafah. Mulai dari persoalan ekonomi hingga yang tidak masuk akal misalnya bencana. Mereka menganggap bencana pun muncul karena tidak ada penerapan khilafah. Apa solusi kelompok ini? Tiada lain jualan merek lama bahwa solusi semua masalah adalah khilafah.

Cara kelompok ini mempertentangkan khilafah dan Pancasila sejak awal telah mengalami cacat logika. Mereka selalu berangkat dari idealitas khilafah yang diperbandingkan dengan realitas Pancasila. Mereka tidak membandingkan antara idealitas Pancasila dengan Khilafah. Karena itulah, mereka hanya menemukan misalnya penerapan yang salah dari Pancasila yang menjadi realitas sosial politik dan hanya menganggungkan khilafah sebagai konsep ideal.

Padahal, dalam prakteknya, jika mereka ingin merujuk pada realitas pengalaman khilafah masa lalu, tentu tidak seharum dan senyaman yang mereka impikan. Pertentangan penuh konflik, perang saudara, hingga penguasa otoriter dan diktator muncul dalam sejarah khilafah. Kemiskinan, korupsi dan nepotisme bahkan persoalan LGBT pernah dialami dalam realitas sejarah khilafah masa lalu.

Realitas-realitas itu sengaja tidak digambarkan dan hanya menabur mimpi manis khilafah secara konseptual yang ideal. Sembari mereka memborbardir kegagalan Pancasila dengan mengaca realitas yang terjadi sebagai anomali penerapan Pancasila. Pada akhirnya, ketika ditanyakan tentang konsep yang ideal mereka lari pada dalil dan pengalaman masa lalu yang manis, tetapi mengubur luka sejarah masa lalu yang lebih tragis dari pada tragedi hari ini.

Apa yang ingin ditegaskan di sini bahwa sejatinya sebagai sebuah konsep yang ideal apapun sistemnya tergantung pada penerapannya. Jika berbicara pada sistem khilafah dan Pancasila mekanisme pengawasan kekuasaan lebih terjamin dalam sistem demokrasi saat ini dari pada sistem khilafah. Penguasaan total dan diktator dengan mengatasnamakan wakil Tuhan dalam sistem teokrasi-monarki lebih mengkhawatirkan dan mengerikan jika disalahgunakan.

Semua landasan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada kenyataannya, landasan yang ideal dalam tataran praktek harus terus dikawal agar menghasilkan realitas yang ideal. Bukan dengan menyalahkan landasan tersebut dengan ingin mengganti dengan landasan yang lain yang sudah ketinggalan zaman dan jelas gagal di masa lalu.

Karena itulah, Saya hanya ingin mengajak generasi muda saat ini untuk belajar dari masa lalu untuk menatap masa depan yang penuh tantangan yang dinamis. Perubahan zaman tidak terelekkan dan jangan pernah terpengaruh janji-janji manis di masa depan dengan mimpi buruk yang dibawa dari masa lalu.

This post was last modified on 12 Juni 2023 12:44 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago