Dari hari ke hari, grafik korban virus COVID-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan. Data terbaru, pada tanggal 31 Maret korban corona di Indonesia mencapai 1.528 kasus positif, 81 sembuh, dan 136 meninggal.
Merespon persoalan pandemik global ini, pemerintah Indonesia melalukan beberapa upaya untuk menghentikan akselerasi penyebaran virus. Misalnya, pemerintah melarang segala bentuk perayaan keagamaan, pengalihan belajar-mengajar ke dalam sistem online, menghimbau masyarakat untuk bersikap soliter dengan physical distancing, bahkan pemerintah merencakanakan karantina wilayah untuk daerah zona merah COVID-19.
Memang, himbauan physical distancing berhasil mengurangi kerumunan dan keramaian dalam masyarakat. Wacana karantina wilayah tentu akan membatasi laju mobilisasi publik. Semua kebijakan tersebut memiliki dampak kepada aktivitas masyarakat di dunia nyata. Akan tetapi, kebijakan itu tidak bisa menghentikan infodemik virus corona yang menjamur di platform media sosial.
Betapa banyak informasi hoax seputar COVID-19 yang bersileweran di dunia maya baik berupa audio-visual, gambar, dan tulisan. Baru-baru ini, publik digegerkan dengan video bayi bicara tentang telur rebus yang dapat menangkal virus Corona. Informasi hoax tersebut berhasil memancing kepanikan warga kampung di malam hari.
Pada tanggal 12 Maret lalu, Johnny G. Plate selaku Menkominfo mengabarkan bahwa ada 196 hoax yang mengelilingi kasus virus COVID-19. Misalnya, pesan berantai mengenai pencegahan virus korona yang mengatasnamakan UNICEF. Kehadiran hoax ini semakin memperkeruh ketenangan publik.
Baca Juga : Menertibkan Media Penyebar Infomasi Negatif
Dalam menghadapi pandemik global ini, jarak fisik atau physical distancing memang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, hal itu tidak dapat memutus mata rantai berita hoax seputar pandemik korona yang tersebar di media sosial. Kita perlu melakukan media distancing untuk meredam kepanikan yang disebabkan oleh hoax.
Puasa Bermedia
Kepanikan publik muncul disebabkan framing media yang tidak proporsional dalam menyajikan informasi seputar virus corona. Menurut Stanley Cohen dalam bukunya Folk Devils and Moral Panic (2002) menyatakan bahwa fenomena moral panic ini muncul sebagai dampak dari penjejalan berita hoax yang massif mengenai suatu kejadian yang menanamkan kepanikan berlebih ke dalam diri orang yang mengkonsumsi berita tersebut.
Kepanikan yang dihasilkan oleh hoax mendorong publik melakukan penimbunan barang-barang pokok, medis dan kebutuhan lain yang diduga ampuh menangkal virus corona. Di tengah spiral kepanikan ini, ada sejumlah oknum yang melakukan akumulasi profit dengan memonopoli harga barang-barang pokok dan medis. Tidak heran, apabila stok barang medis dan beberapa barang pokok di pasaran menjadi langka dan melonjak harganya di luar nalar.
Apalagi revolusi digital telah mendorong terjadinya ledakan informasi. Akselerasi informasi di media sosial membuat penyebaran hoax seputar virus korona semakin massif. Ditambah lagi, literasi media masyarakat kita sangat rendah sehingga emosional masyarakat kita mudah terpancing. Oleh karenanya, media distancing menjadi solusi untuk menekan kepanikan psikologis masyarakat di tengah wabah.
Media distancing di sini tidak bermaksud melarang publik untuk mengakses informasi seputar virus korona. Dalam konteks hari ini, kegiatan bermedia dan bermedsos tetap penting untuk mengedukasi diri mengenai virus korona dan membantu jalannya sistem pembelajaran online.
Media distancing yang dimaksud adalah kita harus menjaga jarak dari informasi negatif (hoax) seputar virus corona. Selain itu, kita dituntut menahan diri agar tidak mudah men-share informasi yang dapat menimbulkan kepanikan. Media distancing ini menghimbau warganet Indonesia untuk tidak instan dalam mengakses informasi seputar korona. Mulai hari ini, kita dituntut bijak dalam bermedia sosial.
Berpuasa dari media sosial di tengah pandemik global menjadi penting untuk menjaga kesehatan mental dan psikologi. Puasa media sosial merupakan terapi efektif untuk menenangkan diri di tengah huru-hara informasi virus corona Dari sini, penulis mengafirmasi penyataan Ibnu Sina bahwa kepanikan adalah separuh penyakit, sedangkan ketenangan adalah separuh obat.
Ketika kita memilih untuk stay at home, alihkan aktivitas daring kita ke dalam aktivitas yang lebih menyenangkan seperti olahraga, memasak, membaca buku, beribadah, bersih-bersih, musyawarah keluarga, dan sebagainya. Selain itu, kita perlu menguatkan kompetensi literasi keluarga di tengah infodemik isu corona. Hal ini bertujuan untuk mempertajam nalar kritis masyarakat kita ketika berhadapan dengan informasi-informasi negatif (hoax) seputar virus korona
Menguatkan Literasi Keluarga
Di tengah kemelut infodemik isu corona, penguatan kompetensi literasi teramat penting. Apalagi kita dituntut melakukan tindakan soliter berupa physical distancing. Rumah menjadi tempat terbaik dan teraman dari ancaman virus corona. Orang tua sebagai pendidik pertama dalam keluarga memegang tanggung jawab yang besar untuk memperkuat kompentensi literasi keluarga.
Penguatan literasi keluarga upaya menjaga jarak dari media sosial. Dalam kerangka kerja literasi keluarga, orang tua perlu mengawasi aktivitas bermain gawai anak dengan membatasi durasi anak dalam bermedia sosial. Di sisi lain, orang tua perlu mengarahkan anak kepada situs-situs digital yang memuat konten positif nan edukatif sekaligus kredibel seputar isu corona seperti EPI-WIN (WHO Network for Information in Epidemics), covid19.go.id, dan sebagainya.
Selanjutnya, orang tua bisa mengakrabkan anak kepada buku sebagai bentuk social media distancing. Secara sederhana, orang tua bisa membacakan dongeng sebelum tidur kepada anak, menyediakan ruang baca keluarga dan mengakomodir beragam bacaan menarik seperti komik dan novel. Upaya tersebut rangka menarik minat baca generasi milenial kita di tengah pandemik virus corona.
Aksi #dirumahaja dapat dimaknai sebagai momentum penguatan literasi keluarga. Perlu disadari, aktualisasi literasi keluarga merupakan bagian dari media distancing yang bertujuan mempertajam daya kritis dan menguatkan mental anak di tengah infodemik virus corona. Penguatan literasi keluarga adalah upaya membangun masyarakat Indonesia yang literat nan tangguh dari infodemik virus corona. Dengan demikian, media distancing via literasi keluarga dapat meredam kepanikan dan membangun optimisme publik dalam menghadapi pandemik global.
This post was last modified on 2 April 2020 4:16 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments