Satu demi satu organisasi radikal ekstrem tutup buku alias bubar. Mulai dari HTI dan FPI yang dibubarkan pemerintahan. Kini menyusul Jamaah Islamiyyah yang membubarkan diri secara sukarela. Video deklarasi pembubaran JI itu viral di dunia maya dan mendapat respon beragam dari netizen.
Ada masyarakat yang percaya sepenuhnya bahwa pembubaran JI secara sukarela adalah bentuk kesadaran. Namun, ada pula yang tidak buru-buru percaya alias (wait and see). Video deklarasi yang hanya beberapa menit itu tentu tidak mudah membuat publik percaya.
Apalagi ini adalah Jamaah Islamiyyah, organisasi teroris paling berbahaya di dunia. Para pentolan JI adalah tokoh-tokoh gerakan radikal yang bahkan menjadi buron polisi internasional. Maka, wajar jika publik tidak begitu saja percaya dengan deklarasi pembubaran JI tersebut. Tentu, waktu yang akan membuktikan apakah pembubaran JI ini memang atas dasar kesadaran, atau sekadar perubahan strategi agar lebih mudah berkamuflase?
Apa yang terjadi pada FPI dan HTI tentu patut dijadikan pelajaran. Meski telah dibubarkan dan dilarang, nyatanya para eksponen organisasi tersebut masih eksis sampai sekarang. Hal yang sama, tentu bisa saja terjadi pada JI. Di samping itu, bubarnya JI tentu membawa konsekuensi pada perubahan startegi kelompok radikal ekstrem di Indonesia.
Kompleksitas Gerakan Radikal-Teror di Indonesia
Bagaimana pun juga, JI bukanlah satu-satunya organsiasi radikal ekstrem yang eksis di negeri ini. Masih ada kelompok lain, seperti JAD (Jamaah Ansharud Daulah), JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), dan simpatisan ISIS. Ketiganya tidak kalah berbahayanya dengan JI yang sudah lebih dulu eksis dan menjadi patron dalam lanskap gerakan terorisme global.
Bubarnya JI, tentu tidak lantas membuat ketiga elemen organisasi ekstrem itu ikut bubar. Pakar terorisme Ali Chaidar menyebut bahwa organsiasi dan gerakan terorisme itu kompleks. Kebijakan yang diambil oleh para petinggi tidak lantas sellau diikuti oleh anggota dibawah.
Selain itu, satu tokoh bisa berpindah-pindah organisasi, atau keluar dari organsiasi lama dan membentuk organisasi baru. Contoh nyata adalah Abu Bakar Baasyir yang semula adalah pemimpin JI, lalu berpindah ke Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), lalu keluar dan membentuk JAD.
Hal sama terjadi pada para petinggi FPI dan HTI yang saat ini bersalin rupa dan tetap eksis dalam panggung agama dan politik Indonesia. Jika merujuk pada apa yang terjadi pada FPI dsn HTI, maka ada setidaknya empat potensi pergeseran gerakan radikal ekstrem pasca bubarnya Jamaah Islamiyyah.
Pola pertama, para simpatisan atau anggota JI yang tidak sepakat dengan keputusan pembubaran JI dan menerima NKRI bisa jadi akan bersikap taqiyah. Yakni berpura-pura mengikuti kebijakan pembubaran organisasi dan seolah-olah menerima NKRI, namun sebenarnya masih setia pada ideologi radikal ekstrem. Kelompok yang bersikap taqiyah ini tetap patut diwaspadai, meski tidak bergabung dengan organisasi tertentu. Mereka tetap berpotensi menjadi aktor teroris tunggal (lone wolf terrorism).
Kedua, kelompok yang menyusup ke organisasi keagamaan berhaluan moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Tempo hari, sejumlah petinggi dan intelektual Muhammadiyah sempat menyebut bahwa organsiasi mereka disusupi oleh kelompok salafi-wahabi yang membawa paham takfiri.
Perubahan Pola Gerakan Ekstremisme Pasca JI
Salah satu intelektual Muhamadiyah terkemuka, Abdul Munir Mulkhan menyebut kelompok penyusup ini sebagai varian MuSa, akronim dari Muhammadiyah-Salafi. Pasca pembubaran JI, tidak menutup kemungkinan varian MuSa di tubuh Muhammadiyah ini kian banyak. Mengingat Jamaah Islamiyyah itu secara umum berpaham salafi-wahabi.
Ketiga, kelompok yang mendirikan organisasi dengan nama baru, namun mengusung ideologi dan agenda yang sama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak organisasi yang dilarang, lantas bereinkarnasi ke dalam organisasi baru.
FPI misalnya membranding ulang gerakannya dengan mama Forum Persaudaraan Islam. Sedangkan HTI bersalin nama menjadi Komunitas Royatul Islam alias Karim. Potensi JI berubah nama tentu tetap ada, maka kita tidak boleh menurunkan tingkat kewaspadaan.
Keempat, kelompok yang meneruskan dakwah JI melalui media sosial. Meski tidak membawa bendera JI, namun jika ada propaganda yang mengusung sentimen kebencian terhadap agama lain, dan sikap anti pada pemerintahan, maka bisa dipastikan itu adalah bagian dari gerakan radikal ekstrem.
Bukan bermaksud menebar pesimisme, namun bubarnya JI bukanlah episode akhir dari gerakan radikal ekstrem di Indonesia. Ideologi ekstremisme tetap akan tumbuh di tengah umat beragama yang mengedepankan nalar formalistik-tekstualistik.
Ketika agama dipahami sebagai simbol belaka, dan kebenaran agama hanya merujuk pada teks secara harfiah, maka ideologi kebencian dan kekerasan akan terus berkembang. Virus rasikalisme akan musnah jika umat beragama mengembankan cara pandang yang rasional dan moderat dalam memahami ajaran agama. Terutama menyangkut ajaran tentang perang, jihad, politik, pemerintah, dan negara yang kerap dipelintir demi menjustifikasi teror dan kekerasan terdahap kelompok lain.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…