Narasi

Memilih Takmir Masjid dan Khotib yang Menyebarkan Perdamaian

Beberapa Jum’at yang lalu (08/02/2019), saya melaksanakan shalat Jum’at di dekat tempat tinggal. Ada khotbah yang janggal yang disampaikan di masjid itu, yaitu khotib menyarankan agar harus bersikap tegas terhadap orang “kafir” dan masjid yang disampaikan sebagai pusat untuk berpolitik. Tentu saja yang dimaksud kafir olehnya adalah orang yang beragama di luar Islam.

Mendengarkan apa yang disampaikan khotib, saya membayangkan apabila jamaah Jum’at terprovokasi khotbah tersebut, perdamaian yang telah lama dibangun oleh para pendahulu akan berujung kekerasan bersifat primodial. Isi khotbahnya sangat tendensius, yaitu bersikap tegas terhadap orang di luar Islam. Saya mengartikan apa yang dimaksud khotib tersebut tidak memberikan toleransi terhadap orang di luar agama Islam. Materi yang disampaikan khotib tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Islam melalui Nabi Muhammad Saw. menuntun untuk menghargai kemanusiaan, tidak memandang perbedaan agama dan suku.

Materi yang disampaikan oleh khotib erat kaitannya dengan kepentingan politik praktis. Ia kemudian menegaskan bahwa umat Islam harus melek politik dan berpolitik. “Masjid harus dijadikan sebagai pusat pergerakan politik,” ujarnya. Kita, lanjutnya, harus memilih pemimpin yang membela kepentingan umat Islam.

Dari pernyataan-pernyataan dalam khutbahnya tersebut, saya menganggap memiliki tendensi mendukung salah satu calon presiden dalam pemilu 2019. Saya beranggapan semacam itu, karena khotib juga menyarankan agar tidak memilih presiden yang didukung oleh partai yang mendukung penista agama. Materi-materi khutbah tersebut sangat dekat dengan polarisasi setelah pemilihan Gubernur DKI Jakarta, hingga pemilu 2019.

Baca juga : Menjaga Keutuhan NKRI melalui Rumah Ibadah

Awalnya, saya mengira khotib akan berbicara mengenai politik kebangsaan, atau setidaknya politik keumatan. Menjadikan masjid sebagai pusat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara umum, khususnya umat Islam. Ekspektasi saya ketika mendengarkan materi khutbah pertama tersebut, dipatahkan dengan pernyataan khotib yang melarang jamaah untuk toleran terhadap masyarakat di luar agama Islam.

Penyaringan Khotib

Memang sudah selayaknya, masjid dijadikan pusat aktivitas masyarakat terutama untuk berbicara agama dan persoalan keumatan. Saya menganggap hal demikiran sudah menjadi kebutuhan. Namun, ketika masjid dijadikan media kampanye untuk kepentingan politik praktis, saya sangat menyayangkan. Masyarakat akan terkelompok menjadi dua kubu dalam Pilpres 2019. Apabila hal demikian terjadi, masjid dijadikan sebagai pusat untuk mengatasi problematika masyarakat juga tidak terlaksana dengan baik.

Untuk menanggulangi perpecahan masyarakat, walaupun dalam taraf yang lebih kecil yaitu jamaah masjid, takmir masjid harusnya memilih khotib yang memiliki wawasan perdamaian. Memang tidak semudah itu, memilih orang yang memiliki wawasan perdamaian. Terminologi damai memang sangat luas sekali, bahkan orang yang melakukan intoleransi sekalipun ia juga memiliki pemahaman perdamaian.

Wawasan perdamaian dimaksudkan ia yang memiliki pemahaman agama yang mendalam, serta mempunyai perspektif cinta tanah air. Melanjutkan warisan para leluhur untuk menjaga khazanah perdamaian yang sudah menjadi akar kebudayaan di Indonesia. Mengapa demikian? Karena pertentangan antara agama dan negara sudah lama terjadi, dan kita pun sudah menyepakati persinggungan antara agama dan negara yang dituangkan dalam poin-poin Pancasila.

Tugas takmir masjid, memang harus selektif terhadap penceramah. Memilih mereka yang mendalami ilmu agama, serta memilih mereka yang mempunyai perspektif cinta tanah air. Kita saat ini sadar, banyak penceramah yang tidak memiliki ilmu agama yang mendalam, ia cenderung membuat provokasi di masyarakat. Misalnya, dengan anjuran tidak menghargai masyarakat yang berbeda agama, berbeda pilihan politik. Hal demikian seharusnya tidak terjadi. Masjid memang potensial untuk mempersatukan umat muslim, namun dari potensi tersebut jangan sampai dijadikan sebagai alat politik untuk kepentingan politik beberapa segelintir orang atau sekelompok.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

9 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

9 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

11 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

11 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago