Narasi

Mengembalikan Peran Masjid ke Khittahnya

Hasil survei Rumah Kebangsaan dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tentang sejumlah rumah ibadah (masjid) di lingkungan lembaga kementerian dan BUMN yang terpapah paham radikal sungguh mengkhawatirkan. “Ada 100 masjid yang disurvei, terdiri dari 35 masid di kementerian, 28 masjid lembaga, dan 37 masjid  BUMN. Dari 100 itu, sebanyak 41 masjid terindikasi sudah disusupi paham radikal dan intoleran”, kata ketua dewan pembina P3M Agus Muhammad di gedung PBNU (8/7).

Istilah radikal dalam penelitian itu mengacu pada definisi umum yang lazim dipahami oleh akademisi atau peneliti, yaitu pemikiran atau gerakan yang menghendaki perubahan secara mendasar, secara fundamental, tanpa mempedulikan kelompok-kelompok lain yang berbeda. Implementasi dari paham radikal ini disalurkan ke dalam berbagai bentuk, yang di antaranya saluran khotbah atau kegiatan di masjid-masjid.

Menurut Agus, dalam keterangan persnya mengatakan, bahwa gejala paham radikal dan intoleran dalam hasil penelitiannya terjadi pada tiga level, yaitu level radikalisme rendah, seperti tidak menyetujui intoleransi tapi memaklumi; radikalisme tingkat sedang adalah mereka sudah setuju dengan tindakan-tindakan intoleran; dan rradikalisme tingkat tinggi yakni bukan sekadar setuju atas tindakan intoleran, tapi mereka juga memprovokasi umat agar bertindak intoleran.

Sikap radikal dan intoleran itu tersampaikan lewat enam topik radikalisme paling populer dari hasil survei di 41 masjid yang terpapar. Tertinggi adalah ujaran kebencian (60 persen), sikap negatif terhadap agama lain (17 persen), sikap positif terhadap khilafah (15 persen), sikap negatif terhadap minortias (6 persen), kebencian pada minoritas (1 persen), dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan dan non-muslim (1 persen).

Fungsi masjid

Dari fakta di atas, penting mengembalikan fungsi rumah ibadah—dalam hal ini masjid—ke fungsi asal atau khittah dalam hubungannya juga dengan birokrasi pemerintahan. Pertama, bahwa masjid selain tempat beribadah, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., juga memiliki fungsi sosial, berupa pemberian santunan kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan, tempat belajar/edukasi umat, melakukan interaksi sosial yang baik kepada masyarakat sekitar, dan lain sebagainya.

Masjid, dengan demikian, tidak hanya sebagai tempat ibadah yang berdimensi vertikal, semata-mata hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga sejatinya berdimensi horisontal, dengan cara tidak melakukan perbuatan yang justru dilarang oleh Islam, seperti menyebar fitnah, ujaran kebencian, provokasi negatif, dan seterusnya. Dalam konteks masyarakat yang plural, terdiri dari bebagai aliran keagamaan, perbedaan agama dan etnis, tidak sepantasnya seorang muslim, apalagi menjadikan masjid sebagai lokasi kampanye paham radikal dan intoleran, sehingga akan berakibat fatal pada hancurnya keharmonisan yang selama ini telah terbangun kokoh di masyarakat.

Kedua, mengacu pada hasil temuan Rumah Kebangsaan dan P3M, pemerintah atau lembaga-lembaga terkait yang memiliki otoritas, perlu melakukan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan masjid di bawah naungan lembaganya. Hal ini menjadi sangat ironis, bahwa di satu sisi, pemerintah dan masyarakat luas punya tekad kuat untuk menghilangkan bibit-bibit paham radikalisme, namun di sisi lain justru dipupuk dan berkembangbiak lewat rumah ibadah di lingkungan lembaga-lembaga negara.

 Langkah praktis yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga negara tersebut adalah melakukan kontrol ketat terhadap seluruh kegiatan keagamaan di masjid. Dalam batas tertentu, jika memang terdapat oknum yang memang terindikasi melakukan kegiatan yang bertentangan dengan norma agama maupun undang-undang, misalnya provokasi kepada jamaah untuk memusuhi pemerintah (tidak dalam arti kritik konstruktif), menyebarkan berita palsu atau hoaks, anti pancasila, dan lain sebagainya, maka sudah seharusnya secara tegas menegur, bahkan memecat para penceramah itu, lalu menggantinya dengan orang yang lebih kompeten serta moderat, agar  kehidupan masyarakat dan berbangsa tetap berjalan damai dan harmonis. Semoga.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago