Mungkin banyak dari kita yang pernah mendengar betapa mengerikannya sejumlah konflik bernada sara di banyak wilayah Indonesia pasca bergulirnya roda reformasi. Konflik-konflik tersebut menyisakan kepedihan dan ketakutan dalam benak banyak penyintas (sebutan untuk korban yang selamat) serta masyarakat Indonesia lainnya yang khawatir konflik yang serupa bergulir ke daerahnya.
Ironisnya, belakangan ini kita bisa menyaksikan sejumlah suara-suara yang meneriakkan isu sara hanya karena dirinya merasa terjajah oleh semangat merayakan keberagaman. Seolah-olah tidak peduli terhadap pedihnya akibat yang ditimbulkan oleh konflik, kelompok-kelompok ini terus saja mengehembuskan politik sektarian dan menanamkan kebencian terhadap pihak yang berbeda dengan mereka. Panggung amplifikasinya pun tidak terbatas, mulai dari media sosial, di ruang umum, bahkan hingga di rumah-rumah ibadah. Hal ini menarik untuk dicermati, sebab konflik sejatinya dimungkinkan untuk terjadi karena adanya tegangan antara lebih dari satu pihak yang terlibat.
Sejak bola reformasi bergulir dan menghentak paradigma masyarakat kita, rasanya cukup sukar kita menemukan kesempatan untuk dapat lepas dari gesekan-gesekan sara yang ada. Seolah gesekan itu hadir secara taken for granted (begitu saja), namun bila dicermati tentunya terlalu naif bila masih bersikukuh pada pemikiran demikian. Jelas, hadirnya gesekan itu disebabkan oleh faktor pemicu serta pendukungya. Selanjutnya, isu tersebut bisa digunakan sebagai alat untuk menghadirkan kecemasan dan histeria pada level akar rumput.
Tak mengherankan bila kemudian gesekan antar kelompok yang hadir membuahkan konflik, korban jiwa hingga kekhawatiran yang muncul layaknya hantu dalam benak banyak orang. Hal ini semakin merisaukan lagi karena adanya relasi yang tercipta antara kondisi demikian dengan gerakan-gerakan terorisme internasional atau pun hanya sekedar gerakan kegamaan trans-nasional yang radikal. Realitas perpolitikan hari ini kerap saling menunggangi fenomena ini. Bila sudah demikian, berbicara mengenai perdamaian dalam bingkai keberagaman bak merasakan sebuah fatamorgana di gurun yang panas.
Kita harus mencamkan baik-baik bahwa sejatinya keberagaman merupakan sebuah keniscayaan yang hadir sebagai bentuk peneguhan bahwa manusia memiliki kehidupan. Pengabaian atau pun sengaja lari dari realitas, tidak lain merupakan bentuk pengingkaran dan pengkhiantan atas kehidupan yang diciptakan oleh Sang Khalik. Gagasan ini bukanlah sebuah opini kosong yang tak berlandaskan sebuah fondasi kenyataan. Kita bisa melihat hal tersebut dalam ulasan konsep yang coba dipetakan oleh Bhikhu Parekh dalam bukunya yang berjudul Rethingking Multiculturalis: Cultural Diversity and Political Theory.
Bhikhu Parekh melihat bahwa keberagaman hadir dalam 3 bentuk pola :
Pertama adalah keberagaman subkultur. Pada aspek ini kita diajak memahami bahwa dalam realitas masyarakat yang memiliki kultur yang sama pun terdapat bagian-bagian kecil yang berbeda. Hal-hal tersebutlah yang menjadi penyokong keberadaan kultur yang beragam.
Kedua adalah keberagaman perspektif. Sepertinya untuk hal ini, kita bisa menerka ke mana korelasi penjelasan gagasan yang kedua ini. Persoalan pemikiran-lah yang menjadi titik tekan dari aspek yang kedua ini.
Ketiga adalah keberagaman komunal. Pada aspek ini keberagaman tersebut dapat ditemukan di lingkungan masyarakat yang memiliki sejumlah orang yang terorganisir dengan cukup baik dan memiliki identitas yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga.
Sehingga sebuah kekonyolan-lah yang tersaji, bila tetap bersikukuh menyangkal keberagaman yang ada sebagai bagian dari kehidupan bangsa ini.
Memaafkan: Pencegahan Konflik Sistemis
Mestinya bila membaca penjelasan di atas, saat ini fikiran kita sudah mulai beranjak keluar dari kungkungan terali ambisi-ambisi sektarian. Namun realitas berbicara berbeda. Gesekan sara khususnya isu agama belakangan sangat fluktuatif kondisinya. Kondisi saling ngotot di level akar rumput hanya akan memancing benturan horizontal. Yang mesti dilakukan dalam menyikapi hal ini adalah memulai mengambil langkah yang bersifat preventif, yaitu memaafkan dan menghindari konflik dengan mereka yang kerap berupaya memancing gesekan baik di media sosial atau pun secara langsung.
Ini mesti dilakukan sebab bila diperhatikan, hal ini seolah sengaja diciptakan untuk menghadirkan kekisruhan. Terlebih lagi saat-saat sekarang hingga akhir tahun 2019 merupakan momentum yang tepat untuk “mengail di air yang keruh”.
Meskipun langkah memaafkan merupakan hal penting untuk diarus-utamakan penggunaannya guna mencegah benturan horizontal, namun bukan berarti para pelakunya mesti dibiarkan. Sebagai bagian dari bangsa ini, setiap individu mesti proaktif dalam menjaga keamanan. Melaporkan pihak-pihak yang senang mengumandangkan seruan kebencian kepada pihak yang berwenang dilakukan guna mencegah pergerakan mereka yang lebih lanjut.
Apalagi, bila jelas-jelas kita melihat adanya upaya provokasi dan hasutan untuk mempersekusi pihak yang berbeda di negeri ini. Ingat, poin utamanya adalah memaafkan orang-orang yang gemar melakukan hate speech guna menghindarkan konflik horizontal, namun bukan lantas menjadi apatis dengan keadaan. Sebaliknya kita semua wajib aktif bersama dalam mencegah upaya persekusi.
This post was last modified on 7 Maret 2018 2:00 PM
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…
Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
View Comments