Narasi

Seputar Relasi Agama dan Negara

Perbincangan mengenai relasi agama dan negara seperti tidak ada habisnya. Isu tersebut selalu menjadi bahan diskusi di kalangan akademisi, pemerintah maupun masyarakat sipil. Hubungan antara agama dan negara tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapi hampir di berbagai belahan dunia, selalu terdengar diskursus mengenai agama dan negara.

Kemudian yang menjadi pertanyaannya ialah apakah terdapat hubungan antara agama dan negara? Apakah salah satu dari keduanya menegasikan yang lainnya? Ketika kita memahami jawaban dari pertanyaan tersebut, maka kita dapat hidup dengan damai sebagai seorang yang beragama di dalam sebuah negara.

Di dalam buku Menghayati Agama, Islam dan Aswaja, dijelaskan bahwa terdapat tiga paradigma hubungan antara agama dan negara. Paradigma hubungan tersebut antara lain ialah paradigma  sekularistik , paradigma integralistik, dan paradigma simbiotik. Paradigma yang digunakan oleh Ahlussunah wal jamaah ialah paradigma simbiotik.

Paradigma simbiotik menegaskan bahwa hubungan antara agama dan negara ialah hubungan timbal balik. Artinya, antara agama dan negara saling berkaitan, tidak dapat dipisahkan. Keduanya tidak menyatu, tetapi keduanya eksis secara bersama.  Agama tidak mesti diformalkan dalam sebuah negara, tetapi agama juga tidak dapat diceraikan dari negara.

Agama dan negara juga saling mebutuhkan satu sama lain.  Yang satu tidak dapat berdiri sendiri tanpa  yang lainnya. Agama membutuhkan negara sebagai wadah dalam membumikan ajarannya, sedangkan negara membutuhkan agama sebagai sumber moral dalam mengatur tatanan sebuah negara.

Karena agama dan negara tidak dapat dipisahkan, maka jika ingin membela agama, pasti juga akan membela negara, begitu pula sebaliknya.. Hal ini sudah dicontohkan oleh para pahlawan kita pada saat Indonesia berjuang melawan penjajah. Ketika kita membela negara, maka dengan sendiri kita juga akan membela agama. Karena agama tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu negara. Jika sebuah negara dijajah, maka masyarakat yang ada di dalam negara tersebut  tidak akan bebas dalam melaksanakan ajaran agamanya.

Agama juga memberikan spirit perlawanan bagi pahlawan Indonesia dalam melawan penjajah. Contohnya ialah Islam yang memberikan spirit perlawanan yang dapat kita saksikan pada ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman). Dahulu, para pahlawan  melawan penjajah bukan hanya dilandasi oleh kepentingan negara (ingin merdeka), tetapi mereka juga memiliki motif keagamaan yang termanifestasikan dalam ungkapan “membela tanah air itu sebagian dari pada iman”. Semangat tersebut yang menjadikan para pahlawan kita dapat melawan penjajah dan memerdekakan Indonesia.

Indonesia yang merupakan negara yang memiliki beragam agama di dalamnya, memiliki sebuah formula yang dapat mendamaikan semua agama di dalamnya sehingga tidak terjadi benturan karena salah satu agama ingin memformalkan ajarannya di Indonesia. Formula tersebut ialah pancasila. Dengan pancasila tersebut, agama-agama yang ada di Indonesia bisa eksis secara berdampingan satu sama lainnya.

Akhir-akhir ini mulai berhembus naras-narasi yang mencoba untuk memisahkan antara agama dan negara. Selain itu, muncul pula narasi yang ingin menformalisasikan ajaran salah satu agama dalam sebuah negara. Massifnya ide formalisasi syariat Islam, khilafah dan pembentukan negara Islam menjadi kekhawatiran yang serius bagi kita semua.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpedoman kepada pancasila dan UUD 1945 ingin diganti menjadi negara Islam. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi kekacauan di Indonesia karena akan timbul gejolak dari non muslim yang ada di Indonesia. Bahkan benturan antar agama pun tak terelakkan dan menyebabkan kerugian yang besar bagi kita semua.

Cobalah kita lihat sejarah nabi Muhammad di Madinah. Beliau tidak mendirikan negara Islam, tetapi beliau mendirikan negara Madinah yang memilik pedoman negara berupa piagam Madinah. Itu dilakukan karena pada saat itu Madinah merupakan sebuah tempat yang memiliki keanekaragaman suku dan agama. Sehingga untuk menyatukan semuanya, dirumuskanlah piagam Madinah.

Masih menurut buku Menghayati Agama, Islam dan Aswaja, seharusnya Islam dapat diekspresikan dalam keadaan apapun, baik dalam institusi negara Islam ataupun tidak. Walaupun tidak dinaungi dengan undang-undang Islam secara formal, asalkan nilai-nilai Islam masih melekat dalam sendi kehidupan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat dan persatuan Islam,  maka NKRI tidak perlu diganti menjadi negara Islam.

This post was last modified on 1 Agustus 2018 11:02 AM

Qodri Syahnaidi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

2 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago