Keagamaan

Menyelami Etika Politik Bervisi Kebangsaan Ala Nabi

Visi politik kebangsaan sejatinya sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW, di antaranya sebagaimana yang termaktub pada pasal-pasal Piagam Madinah, yang terdiri dari 47 Pasal. Pada intinya bagaimana berpolitik dengan orientasi universal yang beradab dan rahmatan lil ‘alamin.

Sofiuddin (2018) dalam bukunya Pusaka Kebangsaan menyebutkan bahwa inti dari pasal tersebut dirumuskan menjadi lima pokok, yaitu hubungan antar sesama muslim; hubungan antara umat Islam dengan kaum Yahudi, Naṣrani dan Sabi’in; nasionalisme dan patriotisme antara orang Islam dengan non-Muslim untuk membela Kota Madinah dari berbagai macam serangan para penjajah; waspada terhadap segala bentuk pelanggaran yang dapat merusak persatuan; serta realisasi nasionalisme melalui pengamanan dan perlindungan.

Konsep tersebut juga yang diteladankan Rasulullah SAW mana kala peristiwa Penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah). Nabi SAW mengembalikan warga yang dahulu yang diusir; membebaskan musuh Islam yakni Abu Sufyan beserta keluarganya; perlindungan terhadap kaum perempuan dan juga anak-anak; perawatan tanaman dan juga larangan mengusik tempat peribadatan agama lain (Sofiuddin, 2018).

Dan perlu diketahui bahwa keteladanan Nabi Muhammad SAW tersebut yang akhirnya membuat rasa haru Abu Sufyan, keluarganya, dan warga Makkah sehingga mereka berbondong-bondong dengan kerelaan tanpa paksaan memeluk Islam. Pendekatan politik Rasulullah SAW mengusung kebangsaan dan moderatisme inilah yang membuat Islam mudah diterima dan cepat menyebar luas. Politik moderatisme yang diterapkan oleh Rasulullah benar-benar memberi maslahah dan rahmatan lil ‘alamin.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa politik mengusung kebangsaan dan moderatisme sangatlah dibutuhkan di tahun politik 2024 ini. Terlebih, bagi negara bangsa yang bhineka seperti Indonesia. Sebab, politik kebangsaan-moderatisme ini akan selalu mengedepankan harmonisasi dan keseimbangan antara aqidah dan toleransi, bukan ujaran kebencian ataupun politik kotor yang provokatif.

Bahkan, kalau kita telaah lebih dalam politik kebangsaan dan moderatisme ini selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dalam wadah kebangsaan politik kebangsaan dan moderatisme mempunyai beberapa nilai, yang juga termaktub dalam Pancasila di antaranya pertama tawasuth yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip menempatkan diri dalam posisi di tengah-tengah (moderat) antara dua ujung tatharruf (ekstremisme). Ini berlaku dalam berbagai masalah dan keadaan. Nilai tawasuth ini selaras dengan sila ke-1, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang meliputi dan menjiwai sila ke-2, 3, 4, dan 5.

Kedua, i’tidal yang berarti tegak lurus, berlaku adil (al-adl). Artinya, tidak berpihak kecuali kepada yang benar. Nilai keadilan ini termaktub juga dalam sila ke-2, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang diliputi dan dijiwai sila ke-1 serta meliputi dan menjiwai sila ke 3, 4, dan 5. Nilai keadilan juga termaktub dalam sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila ke-5 ini diliputi dan dijiwai sila ke-1, 2, 3, 4, dan 5.

Ketiga, tasamuh (toleransi) yaitu sikap toleran yang berarti penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Aneka pikiran yang muncul dan tumbuh di tengah masyarakat muslim adalah sebuah keniscayaan dan selayaknya mendapat pengakuan. Toleransi merupakan sikap terbuka untuk menerima segala jenis perbedaan pendapat.

Toleransi harus selalu kita terapkan, terlebih dalam kehidupan beragama. Indonesia merupakan negara yang heterogen (plural) di mana keberagaman adalah suatu keniscayaan. Oleh karenanya, sikap toleransi merupakan hal penting untuk berinteraksi dalam kebhinekaan ini. Tanpa sikap toleransi, hubungan antar agama akan menjadi keruh, merasa paling benar, mau menang sendiri, serta bisa dipenuhi konflik dan pertikaian. Toleransi ini selaras dengan sila ke-1.

Keempat, tawazun (berimbang) yang mengandung maksud sikap seimbang dalam berhikmat demi terciptanya keserasian antara hubungan Allah SWT dengan manusia. Sikap fanatik yang berlebihan akan memicu klaim bahwa golongan dan atau pendapatnya suatu individu/kelompok adalah yang paling benar, sehingga selain itu dianggap salah dan sesat. Tawazun selaras dengan sila ke-2 dan 5.

Berbagai konsepsi terkait politik kebangsaan dan moderatisme tersebut tentunya relevan dengan nilai-nilai luhur kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Dan inilah sejatinya esensi berpolitik sesungguhnya.

This post was last modified on 21 Januari 2024 10:31 AM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…

12 menit ago

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…

3 hari ago

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

3 hari ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

3 hari ago

Narasi Tagut : dari Doktrin ke Aksi Teror-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 9 November 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 hari ago

Guru Pendidik: Menanamkan Budi Pekerti dan Nalar Kritis Ektremisme

Dalam dinamika sosial yang semakin kompleks, peran guru pendidik tidak hanya berkutat pada transfer pengetahuan…

4 hari ago