Sebelum orde baru tumbang, bila kita menyebut kata Pers, media atau jurnalis maka yang akan terbayang dibenak adalah sebuah pekerjaan yang digarap oleh para kuli tinta yang kemudian tuangannya tersaji ke dalam media cetak atau pun elektronik. Mungkin pun, saat ini masih banyak dari kita yang beranggapan demikian. Namun disadari atau tidak, keruntuhan rezim orde baru berhasil merubah atmosfir kejurnalistikan yang sebelumnya terkungkung dalam payung Kementrian Penerangan untuk dapat menghirup udara bebas dalam berekspresi. Kebebebasan ini pun melahirkan banyak media-media baru, salah satu jenis media baru tersebut adalah pers online. Kehadirannya yang cepat dan praktis menjadi pertimbangan serius mengapa media semacam ini dekat dengan publik.
Dalam perjalanannya, sejumlah media cetak perlahan menyerah kalah pada keadaan. Kecepatan dan kepraktisan masyarakat dalam mengakses informasi apa pun secara daring, membuat media cetak harus realistis mengahadapi kenyataan yang ada. Kegemaran masyarakat menggunakan gawai yang semakin lama semakin termodifikasi dengan perangkat untuk memudahkan dalam pengaksesan setiap informasi daring, secara tak langsung memaksa banyak media cetak gulung tikar. Persoalan lain perlahan mengetengah ketika arus informasi dari banyak situs online deras menghujam pemikiran masyarakat kita.
Persoalan pertama yang hingga kini membayangi adalah menyebarnya berita hoax yang membuat masyarakat bingung dalam melihat realitas. Banyaknya situs yang memproduksi dan mereproduksi berita bohong ternyata bak gayung bersambut dengan banyak masyarakat yang haus dengan berita-berita yang sifatnya undercover. Ketertarikan masyarakat ini sedikit banyak adalah limpahan implikasi dari ketertutupan pemerintah zaman orde baru dalam menyebarkan data real tentang kondisi negara. Sehingga masyarakat merasa hoax yang bombastis dalam penarasiannya adalah sebuah kebenaran yang sejati yang selama ini dibungkus rapat. Kegemaran masyarakat akan narasi-narasi konspirasi membuat hoax yang beredar semakin memperoleh pasarnya. Bisa dibilang, semakin bombastis narasi kebohongan yang ditampilkan sebuah informasi, biasanya semakin banyak pula penikmatnya.
Persoalan yang kedua adalah implikasi yang dihasilkan ketika berita bohong atau semacamnya beredar luas di masyarakat. Seiring perjalanan waktu, kebebasan yang ada melahirkan banyaknya pemodal dan pemilik kepentingan baru yang berusaha mendapatkan legitimasi kekuasaan. Untuk mendapatkannya, banyak dari mereka yang memainkan politik identitas dan memaksa lahirnya ketertindasan terhadap masyarakat yang selama ini dikategorikan minoritas. Minoritas yang sering jadi langganan terkenai persoalan demikian antara lain adalah kelompok-kelompok minoritas dalam hal beragama, ras, kesukuan dan identitas lainnya. Para pemilik modal dan kepentingan ini menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk memainkan hal tersebut melalui media-media yang ada. Bila mereka tidak memilikinya, maka mereka tidak segan untuk menggelontorkan dana guna mengupayakan hal itu terwujud. Dan lagi-lagi para pemilik kepentingan semacam ini akan menebar semangat sara guna meraih simpati mayoritas dengan cara membenci masyarakat lain.
Melihat hal yang demikian, nampaknya kita perlu belajar dari seorang akademisi bernama Erich Fromm. Ia pernah bersoal mengenai hal-hal demikian ketika mengupas fenomena pada pemerintahan Jerman, era Adolf Hitler. Di masa itu negara Jerman bertumbuh menjadi negara fasisme, di mana kebencian terhadap pihak lain dihadirkan guna memompa semangat ras Aria dalam mengkolonisasi banyak hal. Di bagian ini, Erich Fromm melihat bahwa hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya persoalan psikologi (ia menyebutnya psikopatologis) yang bertalian erat dengan masyarakat yang fanatik (Fromm, 1997). Memang, secara sederhana kita hanya akan dapat melihatnya dari sisi pemerintah. Namun disadari atau tidak, kekuatan yang dibangun oleh seorang Adolf Hitler pun dibangun dari bawah. Letak kesamaan yang dapat dibaca dalam dua fenomena tersebut adalah adanya kemunculan para pemegang kepentingan yang mengedepankan identitas tertentu untuk dapat membangkitkan semangat rasisme. Tujuannya adalah membangkitkan simpati mayoritas dan kemudian membenci pihak lain. Dalam beberapa kesempatan pemunculan semangat populisme semacam ini sangat digemari oleh masyarakat. Untuk mengupayakannya jelas dibutuhkan sebuah saluran untuk dapat mengganungkan hal demikian.
Di sinilah lagi peran pers, khususnya yang online dalam bermain dengan isu-isu semacam ini. Bila insan pers saja sudah kesulitan menahan syahwat kepentingan yang ada, maka hanya dalam tempo waktu yang singkat, banyak masyarakat yang akan terus terjerumus dalam jurang kesengsaraan. Sebab banyak dari mereka yang akan sulit melihat realitas, senang dengan hal-hal bombastis, menyukai isu-isu yang bersifat sara dan tentunya sangat akrab dengan konflik.
This post was last modified on 9 Februari 2018 1:35 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…