Narasi

Pancasila untuk Perekat Kebangsaan

Indonesia dan Madinah memiliki kekayaan yang tiada banyak dimiliki negara lain. Kekayaan tersebut berupa perbedaan penduduk. Dan, kekayaan ini akan menjadi modal dasar dalam pembangunan bangsa manakala dikelola dengan baik. Sebaliknya, kekayaan ini akan menjadi perusak bangsa manakala salah dalam mengelola. Di Madinah sudah ada Nabi Muhammad SAW dengan Piagam Madinah/Konstitusi Madinah (shahifatul madinah)-nya.

Dalam kitab Fiqhu as-Shirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy menuliskan bahwa Ibny Hisyam meriwayatkan, beberapa hari setelah Rasulullah SAW tiba di Madinah, masyarakat Arab berkumpul menghadap beliau. Pada saat itu, seisi rumah kaum Anshar telah memeluk Islam. Satu-satunya suku di Madinah yang belum semua warganya memeluk Islam hanyalah kabilah Aus. Rasulullah SAW menulis sebuah piagam perjanjuan yang diberikan kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan kaum Yahudi. Di dalam piagam perjanjian itu Rasulullah SAW meratifikasi agama yang mereka peluk, hak kepemilikan harta, dan beberapa hal lain.

Melalui Piagam Madinah, Rasul menancapkan roh demokrasi dengan merangkul dan memberi hak suara kepada semua suku, kabilah, dan perwakilan semua agama. Baik orang Islam, Nasrani, Yahudi, majusi, Arab, Badui, Negro, semua mendapat kewajiban serta hak yang sama untuk hidup dan bekerja. Tidak ada keistimewaan bagi seorang muslim, semua berada pada jaminan kehidupan yang sama asalkan patuh terhadap isi Piagam Madinah (Naf’an: 2014). Dengan begitu, kala itu, penduduk Madinah bisa hidup rukun, tenteram, meski dalam bingkai perbedaan.

Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Madinah, di Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia begitu majemuk. Dalam catatan sejarah, para founding fathers telah berijtihad agar dasar negara bisa merangkul semua warga negara sekaligus tidak berseberangan dengan ajaran agama. Dalam pada itu, hak dan kewajiban warga negara Indonesia memiliki kedudukan sama. Tidak perduli apakah agama ataupun sukunya, yang terpenting adalah asli warga negara Indonesia.

Sebagai misal, salah satu isi Piagam Jakarta adalah rumusan Pancasila. Dalam rumusan tersebut, sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Isi rumusan ini akhirnya digodok oleh para founding fathers sehingga dapat mencakup seluruh warga negara Indonesia (baca: bukan hanya yang beragama Islam) namun tetap tidak menyimpang dari ajaran agama Islam, sehingga diubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Di dalam Islam, sila pertama ini sejatinya semakna dengan salah satu ayat tauhid yang ada di dalam al-Qur’an, yakni surat al-Ikhlas ayat 1. Di dalam surat ini terdapat ayat yang berbunyi, “Qul huwallahu ahad (Katakan, Tuhan itu satu)”.

Dengan kata lain, dengan adanya perubahan isi sila pertama dalam rumusan Pancasila, dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”, umat Islam memiliki dua landasan kuat dalam menjalankan ajaran agama. Pertama, ia memiliki landasan al-Qur’an sebagai kitab suci. Kedua, memiliki landasan Pancasila. Dengan begitu, ia akan dengan mudah melaksanakan syariat Islam.

Meskipun demikian, akhir-akhir ini tidak sedikit umat Islam yang kembali mengungkit amal usaha yang telah dilakukan para founding fathers terkait dengan perubahan rumusan Pancasila. Terdapat segelintir orang yang menginginkan Piagam Jakarta dijadikan pedoman bangsa lagi. Mereka seakan khawatir bahwa dengan adanya perubahan dari awalnya sebagaimana tertera di Piagam Jakarta dan diubah hingga akhirnya sebagaimana yang tertera dalam Pancasila membuat umat muslim tidak bisa menjalankan syariat agamanya. Padahal, dengan adanya perubahan yang ada, umat muslim tetap bisa menjalankan syariat agama ditambah dengan umat lain juga memiliki hak yang sama.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

47 menit ago

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…

47 menit ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

48 menit ago

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

1 hari ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

1 hari ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

1 hari ago