Narasi

Panduan Menjadi Tokoh Agama di Era Serba Media

Di Indonesia, tokoh agama memiliki posisi strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Sebagai pemimpin spiritual, mereka tidak hanya bertugas membimbing umat dalam kehidupan religius, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai kemanusiaan dan harmoni sosial. Dalam konteks masyarakat yang semakin plural dan terkoneksi, peran ini menjadi semakin kompleks, apalagi di era serba media. Dakwah tidak lagi sekadar disampaikan di mimbar-mimbar masjid atau majelis taklim, melainkan menjangkau ruang virtual yang penuh dinamika, tantangan, dan risiko.

Namun, seiring dengan meluasnya pengaruh mereka, muncul pula ekspektasi yang besar dari masyarakat. Umat berharap tokoh agama dapat memberikan contoh, bukan saja dalam laku kesalehan spiritual, tetapi juga saleh dalam bertindak bijak di tengah sorotan publik. Di dunia yang makin terhubung melalui media sosial, di mana setiap kata dan tindakan dapat direkam dan disebarkan dengan cepat, tanggung jawab ini menjadi semakin berat.

Saleh Spiritual, Tapi Juga Sosial

Tugas pertama seorang tokoh agama adalah mengedukasi umat agar hidup dalam kesalehan spiritual sekaligus sosial. Kesalehan spiritual mencakup penguatan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, sementara kesalehan sosial menekankan pentingnya hubungan horizontal antara manusia. Di tengah maraknya tantangan seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan krisis lingkungan, tokoh agama pada dasarnya memiliki kesempatan untuk menjadikan dakwah mereka sebagai sarana transformasi sosial.

Sebagai contoh, sejumlah ulama di Indonesia telah berhasil mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan advokasi lingkungan. Gerakan “Islam hijau” yang digaungkan oleh organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, misalnya, telah menunjukkan bahwa kesalehan sosial dapat diwujudkan melalui upaya pelestarian lingkungan. Dengan demikian, dakwah tidak lagi hanya berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang tanggung jawab umat terhadap dunia yang mereka tinggali.

Kendati demikian, untuk memastikan dakwah berjalan efektif dan relevan, tokoh agama juga harus mengedukasi diri mereka sendiri. Kesantunan dalam menyampaikan pesan, umpamanya, merupakan aspek yang tak bisa diabaikan. Sebuah pesan yang disampaikan dengan nada menghina atau merendahkan hanya akan menciptakan jarak antara pendakwah dan audiens.

Di sisi lain, nalar kritis juga diperlukan agar seorang tokoh agama memiliki kemampuan dalam memilah mana yang layak disampaikan dan sebaliknya. Artinya, seorang penceramah yang memahami betul dinamika masyarakat bisa dipastikan tidak akan mengomentari dagangan seseorang dengan nada sinis, melainkan justru memberikan inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup umatnya. Nalar kritis ini juga melibatkan kesadaran bahwa dakwah adalah pekerjaan dua arah: bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menerima kritik dengan lapang dada.

Belajar dari Kasus Viral

Kasus video viral seorang pendakwah Miftah Maulana yang beberapa waktu lalu menyinggung pedagang es teh seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dakwah, sejatinya, adalah seni membangun jembatan, bukan tembok. Jika seorang tokoh agama terjebak dalam perilaku sewenang-wenang, mereka tidak hanya mencoreng citra dirinya sendiri, tetapi juga mencederai nama baik agama yang mereka wakili.

Sebaliknya, tokoh agama yang mampu menyampaikan pesan dengan hati-hati, berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, akan mendapatkan tempat di hati umatnya. Sebagai contoh, Gus Baha, seorang ulama muda Nahdlatul Ulama, seringkali menggunakan humor ringan dan pendekatan santai dalam dakwahnya. Pendekatan ini tidak hanya membuat pesan-pesannya lebih mudah diterima, tetapi juga menciptakan suasana dialogis yang hangat dan inklusif.

Dalam konteks ini, tokoh agama mestinya menyadari betul bahwa mereka memiliki peran penting sebagai penjaga harmoni. Mereka adalah pilar keutuhan bangsa yang harus mampu merangkul perbedaan dan mengajak umat untuk hidup berdampingan secara damai.

Namun, peran ini hanya dapat dilakukan jika mereka memadukan kesalehan spiritual, kesantunan, dan nalar kritis dalam setiap tindakan mereka. Di era serba media, di mana segala sesuatu dapat dengan mudah menjadi viral, tokoh agama dituntut untuk lebih berhati-hati dan bijaksana. Mengapa begitu?

Sederhana saja, dakwah adalah tanggung jawab besar yang tidak hanya memerlukan pengetahuan agama, tetapi juga pemahaman mendalam tentang dinamika sosial dan kultural. Dengan cara ini, tokoh agama dapat menjadi lebih dari sekadar pemimpin spiritual. Mereka juga dapat menjadi agen perubahan yang memperkuat keutuhan bangsa.

Dengan kata lain, kerja-kerja dakwah adalah panggilan untuk menjadi lebih bijaksana, lebih manusiawi, dan lebih bertanggung jawab sebagai pilar keutuhan bangsa di era serba media ini. Begitu.

Yasmeen Mumtaz

Recent Posts

Prinsip ‘Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih’ dalam Menjaga Esensi Dakwah

Prinsip “Dar’ul Mafasid Muqaddamun 'Ala Jalbil Mashalih (menolak kemudharatan lebih utama ketimbang mewujudkan kemaslahatan)” merupakan…

3 jam ago

Menjadikan Moderasi Beragama sebagai Mazhab Dakwah di Era Medsos

Di era media sosial yang serba cepat dan dinamis ini, moderasi beragama menjadi sebuah kebutuhan…

3 jam ago

Menimbang Otoritas Ulama dalam Dakwah Dunia Maya

Era digital membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara kita memahami dan…

1 hari ago

Moderasi dan Beragama dengan Berketuhanan

Pancasila, yang konon disebut-sebut sebagai dasar negara, tak pernah menyematkan istilah agama di dalamnya, meskipun…

1 hari ago

Menangkal Ancaman Terorisme Pasca Kejatuhan Bashar Assad Di Suriah

Peristiwa mengejutkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah yang dipelopori Hayat Tahrir-al-Sham (HTS) berhasil mengusai…

1 hari ago

Timbang-timbang ‘Sertifikasi Ulama’ di antara Urgensi dan Kontroversi

Sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, ulama memiliki posisi penting dalam setiap lini…

1 hari ago