Narasi

Pela Gandong: Persaudaraan ala Maluku

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Dalam pembukaan UUD 45, secara jelas kemerdekaan harus dinikmati segala bangsa, tidak terkecuali. Kemerdekaan dalam kehidupan manusia merupakan tujuan awal dalam mewujudkan kerukunan. Kemerdekaan tanpa adanya kerukunan, maka mustahil bisa terjadi atau bertahan lama.

Dalam mewujudkan kemerdekaan dalam naungan kerukunan merupakan ruh segala bangsa, tetapi dalam mewujudkan satu bangsa dengan bangsa lainnya berbeda satu sama lain. Kemerdekaan Indonesia tidak bisa disamakan dengan kemerdekaan negara lain dalam mencapainya.

Yang sangat mencolok dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia adalah adanya peran kearifan lokal yang memperkuat kerukunan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu kearifan lokal tersebut adalah Pela Gandong.

Pela Gandong merupakan kebudayaan kas Maluku, khususnya Maluku Tengah. Pela diartikan sebagai “suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang menganut agama yang berbeda.” Sedangkan gandong bermakna “adik”.

Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah, campuran soppi (tuak) dan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan di minum oleh kedua pemimpin setelah senjata dan alat-alat tajam lain di celupkan, atau dilakukan dengan memakan sirih pinang. Hubungan Pela ini terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa untuk saling membantu. Dalam ikatan Pela terdapat rangkaian nilai dan aturan mengikat dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan.

Empat hal pokok yang mendasari Pela yaitu negeri-negeri yang berPela wajib saling membantu pada kejadian genting (perang atau bencana alam), maupun saat melaksanakan kegiatan kepentingan umum, seperti pembangunan sekolah, masjid, gereja.

Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang ber-Pela maka orang-orang di negeri itu wajib memberi makanan kepadanya dan tamu yang se Pela tidak perlu meminta ijin membawa pulang hasil bumi yang menjadi kesukaannya, karena penduduk negeri-negeri yang ber Pela itu dianggap sedarah maka dua orang yang se Pela dilarang menikah.

Bagi yang melanggar ketentuan konon akan mendapat hukuman dari nenek moyang. Contohnya, seseorang ataupun keturunannya akan jatuh sakit atau meninggal. Jika melanggar pantangan menikah akan ditangkap kemudian berjalan mengelilingi negerinya dengan berpakaian daun kelapa. Sedangkan penghuni negeri akan mencaci sebagai pezina. “Sei Lesi Sou, Sou Lisa Ei” atau Siapa Langgar Sumpah, Sumpah Hukum dia, Nenek Moyang.

Salah satu hal menarik yang perlu di catat adalah bahwa pasca konflik Maluku tahun 1999-2002. Tidak hanya itu, banyak lagu daerah Maluku yang mengambarkan nilai-nilai hidup persaudaraan di antara orang Maluku yang di potret dari hubungan pela dan gandong.

Konsep; hidup orang BasudaraPotong di kuku rasa di daging, Ale Rasa Beta Rasa, Sagu Salempeng di pata dua, Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan lain sebagainya adalah konten lokal yang di kemas dalam tradisi harmonisasi orang basudara di Maluku.

Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat hubungan sosial di antara satu negeri dan negeri lain baik yang beragama Islam maupun negeri yang beragama Kristen. Oleh karena itu Pela dan Gandong sangat berfungsi dalam mengatur sistem interaksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai bidang.

Dieter Bartles, antropolog Amerika yang meneliti pela di Maluku  dan mendefinisikan pela sebagai model persahabatan atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang di kembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Ikatan sistem tersebut telah di tetapkan oleh leluhur dalam keadaan khusus dengan hak-hak dan kewajiban tertentu yang di setujui bersama.

Bartles melihat pela sebagai kesepakatan perjanjian  sebuah sistem sosial yang terjadi tanpa mempertimbangkan aspek lain. Yang terpenting adalah perasudaraan yang telah di ikat. Pengertian-pengertian di atas memposiskan saudara pela pada struktur sosial yang paling tinggi dan terhormat melebihi hubungan saudara kandung yang bersifat biologis.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

View Comments

Recent Posts

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

23 jam ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

24 jam ago

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…

24 jam ago

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…

2 hari ago

Jelang Pilkada 2024: Melihat Propaganda Ideologi Transnasional di Ruang Digital dan Bagaimana Mengatasinya

“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…

2 hari ago

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…

2 hari ago