BANGSA Indonesia adalah bangsa yang mejemuk. Kemajemukan dan pluralitas negeri ini telah tergambar sejak dulu seperti yang dilukiskan JS Furnivall (1939). Pluralitas masyarakat Indonesia, menurutnya, terlihat dalam lingkungan masing-masing, hidup dalam suku bangsa yang jelas batasnya, tetapi mereka berkomunikasi di pasar saat terjadi transaksi dan akhirnya kembali ke lingkungan suku bangsa masing-masing.
Kemajemukan inilah dalam konteks bangsa Indonesia kita sebut dengan kebhinnekaan. Sejak digunakannya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” itu pada lambang negara Indonesia, dunia internasional mengenal bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan mengutamakan persatuan. Semboyan yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” ini seharusnya memang begitu melekat dalam diri masyarakat Indonesia.
Dalam sejarahnya pun, semua perbedaan dan kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia menjadi satu, saat berjuang melawan penjajah (imprealis) untuk meraih kemerdekaan. Azas inilah yang selanjutnya menciptakan rasa cinta tanah air (nasionalisme) dalam kehidupan masyarakat hingga seperti tak ada perbedaan. Semua bersatu bahu-membahu menumbangkan kekuasaan imprealis di jagad tanah air ketika itu.
Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, spirit kebhinnekaan itu tampaknya semakin memudar. Beberapa kejadian di lapangan membenarkan gejala memudarnya spirit kebhinnekaan ini. Jika spirit kebhinnekaan ini semakin memudar, bukan tak mungkin semangat nasionalisme juga terkikis. Pada titik ini, bangsa Indonesia bisa jadi akan kehilangan alat pemersatu di tengah kemajemukan, dalam kehidupan beragama, bersuku-suku, dsb.
Beberapa waktu lalu, tepatnya Sabtu 30 Juli 2016 dini hari, dua vihara, delapan kelenteng dan satu yayasan umat Budha di Tanjung Balai Sumatera Utara terbakar. Kebakaran rumah ibadah itu diduga ada sangkut pautnya dengan masalah Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Tragedi di Tanjung Balai Sumatera Utara itu menambah daftar panjang konflik yang berujung kekerasan yang terjadi di tanah air.
Kita bersyukur insiden itu segera dapat dikendalikan. Tetapi, sampai kapan kita dapat mengendalikannya?. Ini menjadi pertanyaan besar bagi segenap elemen bangsa Indonesia, khususnya pemuda, untuk senantiasa merawat kebhinnekaan bangsa yang sudah lama berdiri.
Dalam merawat kebhinnekaan tersebut, kini, kita juga menghadapi tantangan baru, yakni hate speech (ujaran kebencian) yang bertebaran melalui internet, khususnya media sosial. Sebagai contoh, belakangan ini seorang pengguna facebook mengirim komentar yang rasis dan menghasut. Pengguna facebook itu mengekspresikan kemarahannya dengan mengatakan ingin berburu dan menyembelih orang berdasarkan kebenciannya terhadap ras tertentu.
Adanya hasutan itu, jika netizen menelan mentah-mentah informasi itu dan terus dibiarkan hasutan ini marak, bisa jadi itu akan membuahkan pertikaian antar kelompok. Konflik akan berbuah kekerasan. Dan pada ujungnya, bangunan kebhinnekaan Indonesia terancam akan roboh.
Memang, tahun lalu, Jenderal Pol Badrodin Haiti saat masih menjabat sebagai Kapolri membuat Surat Edaran (SE) dengan nomor SE/6/X/2015. SE ini dibuat sebagai petunjuk bagi polisi agar tak segan-segan menindak netizen yang mengumbar dan menyebar hate speach. Tetapi, tetap saja masih banyak kita temukan oknum-oknum netizen dengan maksud tertentu masih saja gemar mengumbar kebencian.
Inilah saatnya pemuda Indonesia tampil untuk memerangi hate speach sebagai upaya merawat kebhinnekaan yang sudah lama dibangun. Pada 28 Oktober 2016, menjadi momentum penting bagi pemuda untuk merefleksi diri dan mengokohkan perannya untuk negeri ini. Peran penting untuk mengokohkan peran pemuda di tanah air adalah bagaimana merawat bangunan kebhinnekaan Indonesia.
Positioning pemuda ini begitu strategis, khususnya dalam memerangi hate speach. Betapa tidak, pemuda hari ini hidup di era serba digital dan akses terhadap internet begitu mudah. Dalam hal yang mengakses terhadap internet, berdasarkan hasil Survei Asosiasi Pengguna Jaringan Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia kelompok usia yang lain tentu sangat jauh beda.
Mereka juga cakap dalam mengoperasikan teknologi digital dan berselancar di dunia maya. Betapa tidak, teknologi dan internet sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Sejak usia sekitar 10 tahun pun, mereka biasanya sudah dikenalkan dengan dua hal itu. Saat di rumah, mereka mengoperasikannya. Saat di sekolah maupun bangku kuliah, mereka juga bersentuhan dengan alat itu. Intinya, di mana-mana, mereka tak bisa lepas dari alat canggih itu.
Peringatan sumpah pemuda tahun 2016 adalah momentum strategis untuk mengingatkan dan memanggil para pemuda untuk berperan dalam menjaga NKRI. Sebelum Indonesia merdeka, memang perjuangan pemuda adalah untuk merebut kemerdekaan bangsa yang sudah asasi. Tetapi sekarang, perjuangan pemuda semestinya untuk menjaga rumah besar NKRI.
Merawat dan menjaga kebhinnekaan adalah upaya amat penting untuk menjaga rumah besar itu agar tetap berdiri kokoh. Fenomena hate speach adalah tantangan kebhinnekaan yang kini harus dihadapi oleh pemuda. Ibda’ bi nafsik, mulailah dari diri sendiri (pemuda), untuk tidak melakukan hate speach. Kemudian, pemuda bisa mengingatkan dan menegur yang lain untuk juga tidak melakukan dan menyebar hate speach. Wallahu a’lam.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…