Maraknya pemberitaan seputar masjid radikal sempat menghebohkan masyarakat. Ada yang menanggapi dengan kerisauan tentang kondisi masjid yang dimanfaatin kelompok tertentu dalam menyebarkan paham dan ajaran radikal, tetapi ada pula yang bereaksi dengan emosional dengan mengatakan tidak ada masjid radikal. Baginya, istilah masjid radikal merupakan penghinaan terhadap lembaga masjid.
Sebenarnya rilis survey masjid radikal oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang kemudian menjadi kotroversial ini berdasarkan pendalaman dari riset yang telah dihasilkan pada tahun 2017 oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Ada beberapa variable dalam memotret kondisi masjid di lembaga pemerintahan semisal isi khutbah yang disampaikan khatib, penyebaran bulletin dan brosur serta majalah dinding di masijid. Namun, yang paling dominan dalam ukuran tersebut adalah isi khutbah yang disampaikan oleh penceramah.
Temuan yang sebenarnya patut menjadi perhatian kita bersama adalah banyaknya isi khutbah yang mengandung konten intoleransi, takfiri, ujaran kebencian hingga ide-ide pendirian khilafah di Indonesia. Dari hasil pengamatan dan rekaman audio visual dari berbagai aktifitas masjid tersebut disimpulkan bahwa ada beberapa masjid yang bisa dikategorikan radikal baik tinggi, sedang dan rendah.
Lantas, apakah temuan dan sebutan ini sungguh melukai umat Islam? Barangkali kita tidak perlu bersikap reaktif dan emosional. Sebutan masjid yang bermasalahpun pernah dilukiskan dalam Qur’an dengan sebutan masjid dhirar, yakni masjid yang didirikan untuk memecahbelah persatuan umat. Intinya, masjid dhirar yanag didirikan tetapi justru mengandung niat dan maksud memberikan kemudharatan pada umat Islam dan kemudian dirobohkan oleh Nabi.
Baca juga : Akhlak Nabi sebagai Manifestasi Pendidikan Karakter
Di sinilah menjadi penting untuk kita waspadai bahwa pemanfaatan masjid untuk penyebaran narasi kebencian terhadap yang lain dan konten yang dapat memecah belah umat dan bangsa ternyata terjadi di rumah yang semestinya menjadi alat pemersatu umat. Tentu saja temuan ini harus menjadi warning kita bersama agar membersihkan masjid dari narasi yang berbahaya bagi persatuan umat dan bangsa.
Wakil Presiden. H Yusuf Kalla, yang sekaligus Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) menanggapi dengan bijak temuan tersebut. Temuan tersebut menurutnya sangat menarik karena justru terjadi di masjid di lingkungan pemerintahan. Artinya, jika di lingkungan pemerintahan saja fenomena ini bisa terjadi, bagaimana dengan masjid di tengah masyarakat.
Wapres menanggapi temuan ini sebagai momentum pemerintah dan instansi terkait bersama DMI untuk memberikan pendekatan kepada masjid-masjid di Indonesia untuk membuat kurikulum dan penilaian untuk penceramah. Ide ini merupakan gagasan lama yang penting untuk segera ditindaklanjuti bukan dalam rangka membatasi masjid dan penceramah, tetapi memberikan gambaran besar dari nilai-nilai yang seharusnya disampaikan sesuai konteksnya.
Sejatinya momentum khutbah di masjid menjadi waktu yang strategis setiap minggu untuk menyampaikan pesan-pesan moralitas agama yang mendidik yang sesuai dengan konteks dan tantangan kekinian. Keberadaan kurikulum dan panduan khutbah setidak bisa memberikan keuntungan. Pertama, memberikan panduan bagi penceramah agar bisa mengkontektualisasikan isi khutbah dengan tantangan dan kondisi kekinian. Hal ini akan membantu agar isi khutbah tidak terlalu konvensional dan membosankan. Panduan ini akan disesuaikan dengan tema-tema tertentu.
Kedua, memberikan panduan kepada penceramah untuk memberikan nilai-nilai toleransi, perdamaian dan persatuan. Kurikulum khutbah penting menjadi panduan agar penceramah mampu menerjemahkan isi khutbah dengan semangat persaudaraan dan persatuan, bukan justru menanamkan kebencian dan perpecahan.
Tentunya tersebarnya masjid di seluruh Indonesia sangat sulit untuk selalu didampingi dan diawasi. Karena itulah, organisasi keagamaan dan pengelola masjid harus berinisiatif untuk mendorong pentingnya membuat kurikulum khutbah dan panduan bagi penceramah agar dapat menyampaikan pesan yang mendidik, mencerdaskan dan penuh nuansa perdamaian agar mampu membentengi umat dari upaya perpecahan yang dilakukan secara terselubung melalui ceramah-ceramah di lembaga keagamaan semisal masjid.
Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…
Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…
Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…
Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…
Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…
Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…
View Comments