Narasi

Perempuan Sebagai Pendidik Utama Antiradikalisme

Dalam beberapa waktu belakangan ini, penyebaran benih-benih radikalisme tidak hanya mengincar anak-anak muda. Namun juga anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan. Bahkan, anak-anak yang masih senang bermain kerap kali dicekoki ajaran-ajaran radikalisme. Tentunya, cara ini dilakukan untuk menciptakan regenerasi sejak dini dari kalangan kaum radikal. Ketika benih-benih radikalisme ditanamkan sejak dini, maka kelompok radikal memiliki amunisi dengan mudah membujuk anak-anak ketika dewasa.

Bahkan berdasarkan data yang diperoleh bahwa sekitar 80 persen dari 600 terduga teroris yang ditangkap adalah mereka dari kalangan anak muda (remaja). Hal tersebut menjadi bukti sahih bahwa generasi muda lah yang tengah menjadi sasaran empuk terorisme. Inilah mengapa, pendidikan antiradikalisme penting  ditanamkan sejak dini dalam keluarga.

Berbicara pendidikan antiradikalisme dalam keluarga, tentu tidak akan terlepas dari peran keluarga, terutama sosok perempuan (Ibu). Ibu sebagai sosok yang sangat dekat dengan buah hatinya, memiliki peran strategis menjadi guru terbaik dalam keluarga. Perilaku dan tutur kata seorang ibu menjadi panutan bagi anak-anak dalam tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, seorang ibu harus mampu menjauhkan anak-anak dari bahaya ancaman radikalisme sejak dini dengan memberikan teladan dan tutur kata yang mulia agar diikuti oleh anak-anaknya.

Ada beberapa hal yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini yang tidak boleh dilalaikan oleh seorang ibu. Pertama, menanamkan cinta toleransi kepada buah hati mereka. Anak-anak yang dididik dengan dekapan hangat penuh kasih oleh ibu akan merasa memiliki dan diperhatikan. Sehingga anak tidak akan merasa kekurangan kasih sayang dengan mencari pelampiasan dengan tindakan negatif untuk merebut perhatian orang tua.

Selanjutnya, perhatian intensif tersebut harus menjadi jalan bagi orang tua untuk menanamkan sikap cinta toleransi kepada anak mereka. Sikap toleransi ini dapat dibangun dan dibiasakan dengan membiasakan untuk mau mendengarkan pendapat orang lain, mau menghargai kepercayaan orang lain, berbesar hati mengakui kelebihan orang lain, mengapresiasi usaha orang lain, dan tidak boleh menyuburkan sikap egoisme.

Harapannya, sikap toleransi yang terus dipupuk dan dipelihara ini akan dibawa anak hingga mereka dewasa. Sehingga, toleransi yang ditanamkan sejak dini mampu menjadi benteng bagi anak-anak untuk melindungi dirinya agar tidak  mudah terprovokasi dengan berbagai propaganda radikalisme yang menebarkan sikap intoleran di kalangan mereka.

Kedua, mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan secara beriringan. Hal ini penting digalakkan dengan maraknya berbagai propaganda yang dewasa ini masif mengatasnamakan agama dengan dalil-dalil yang sangat kaku (eksklusif) yang mencoba memecah-belah kesatuan bangsa Indonesia. Jika orang tua hanya mengajarkan anak dengan kebenaran agama tanpa diimbangi dengan nilai-nilai kebangsaan, maka ketika dewasa anak akan mengesampingkan nilai-nilai kebangsaan yang harus dijunjung tinggi di negara ini.

Sayangnya, hingga saat ini masih banyak di kalangan orang tua (ibu) yang mendidik buah hatinya hanya memperhatikan nilai-nilai keagamaan semata. Mereka justru mengabaikan nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya menjadi benteng utama dalam membentuk karakter cinta tanah air (hubb al-wathan) di kalangan anak-anak. Hal ini menjadi salah satu ancaman serius yang akan menyandera nasionalisme generasi bangsa di masa mendatang.

Kedua hal tersebut merupakan hal urgen yang harus diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya. Terlebih lagi di era kecanggihan teknologi seperti sekarang ini. Peran ibu sangat urgen untuk melindungi anak-anak dari ancaman propaganda ajaran radikalisme yang disebarluaskan melalui media internet. Ibu harus mampu mengontrol anak-anak mereka dalam menggunakan gadget. Ibu selaku pendidik utama bagi anak-anaknya harus gesit dan tangguh dalam menegakkan pendidikan antiradikalisme sejak dini.

Tri Pujiati

Alumnus Pendidikan Bahasa Arab di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

10 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

10 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

12 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

12 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago