Editorial

Perempuan dan Terorisme

Tidak ada kategori khusus bagi seseorang untuk menjadi target teroris baik dari aspek umur maupun gender. Siapapun yang memiliki faktor kerentanan tertentu berpotensi terjerat dalam jaringan dan aksi teror. Aspek kerentanan itu bisa sangat beragam baik ideologi, ekonomi, politik, maupun psikologis. Kenapa anak muda mudah terserang paham radikalisme dan terorisme karena banyak faktor kerentanan yang melekat pada usia muda khususnya terkait aspek psikologi remaja.

Dewasa ini menjadi perbincangan ketika menyandingkan perempuan dan terorisme. Apakah perempuan memang rentan terhadap pengaruh ideologi radikal terorisme dan sejauhmana peran mereka dalam panggung aksi dan jaringan terorisme? Membincangkan hubungan antara perempuan dengan terorisme memang unik karena selama ini pelaku teror identik dan banyak didominasi oleh laki-laki. Namun sejatinya tidak demikian.

Salah satu yang sangat fenomenal adalah dua remaja Syed Rizwan Farrok (28 tahun) dan Tashfeen Malik (29 tahun) yang melakukan penyerangan di San Bernardino, California pada  2 Desember 2015. Dalam serangan itu 14 warga sipil meninggal dan 22 orang terluka. Keduanya tewas tertembak polisi di hari itu yang sama.

Dalam catatan, Tashfeen Malik adalah keturunan Pakistan yang banyak menghabiskan waktunya di Saudi Arabia. Fakta yang menarik adalah bahwa FBI menemukan bukti pada akhir 2013 sebelum pertemuan dan memutuskan perjalanan ke Amerika, keduanya berkomunikasi secara online melalui private message dan telah menunjukkan komitmennya pada ideologi jihadism dan siap menjadi martir. Bahkan penemuan terbaru bahwa Tashfeen telah mengekspresikan kepercayaan jihadnya melalui sosial media. Dalam penelusuran FBI keduanya mengalami radikalisasi bahkan sebelumnya munculnya ISIS.

Pada tahun 60-an dan 70-an siapa yang tak kenal Laila Khalid yang berhasil melakukan pembajakan pesawat dua kali sebagai bagian dari ekspresi politik penjajahan Israel terhadap Palestina. Pembajakan pertama dilakukan pada 29 agustus 1969 dengan sasaran Boeing 737 milik maskapai Trans World Airlines dengan rute Roma menuju Athena. Aksi kedua pada 6 September 1970 dengan membajak pesawat bernomor 219 dengan rute Amsterdam ke New York milik maskapai Israel, El Al nahas. Tidak hanya itu, sebelumnya peremuan asal Aljazair, Zohra Drif pada 30 september 1956 melakukan bom di Milk Bar Café yang menewaskan 3 orang pemuda Perancis dan melukai lusinan warga sipil. Peristiwa ini terjadi pada saat meletusnya perang kemerdekaan aljazair atas perancis.

Bagaimana di Indonesia? Menjelang akhir 2016, Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Dian Yulia Novi di rumah kosnya di Bekasi Barat. Perempuan bercadar itu diduga akan melakukan bom bunuh diri di Istana Kepresidenan. Dian awalnya adalah tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang bersimpati dengan perjuangan Islam di Suriah dan Irak. Dalam pengakuannya ia mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs radikal lain, termasuk situs jihad online yang dikelola jejaring Aman Abdurrahman.

Kasus Dian bukan kali pertama fenomena perempuan dalam jaringan terorisme di Indonesia. Ika Puspitasari alias Salsabila ditangkap di Purworejo karena diduga terlibat tindak pidana terorisme. Mungkin masih ingat ketika Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, istri Santoso, ditangkap di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Said Aqil Siradj, Kompas, 6/01/2017).

Melihat fakta-fakta tersebut, tentu keterlibatan perempuan dalam panggung kekerasan terorisme bukanlah hal baru. Banyak peran yang dimainkan perempuan dalam jaringan terorisme. R. Kim Cragin and Sara A. Daly dalam Women as Terrorists: Mothers, Recruiters and Martyrs menjelaskan keterlibatan perempuan dalam aktifitas terorisme tidak hanya sebagai pendukung tetapi juga mempunyai perang penting sebagai aktor dan pemimpin operasi, bahkan pelaku bom bunuh diri. Banyak peran yang dilakukan perempuan dalam jaringan terorisme dari sekedar menyiapkan logistik, perekrut, tim propaganda, hingga martir.

Fenomena Dian dari Bekasi ini menjadi sangat menarik karena ia secara suka rela siap menjadi pengantin. Secara sosial tentu saja Dian memiliki aspek kerentanan tinggi sehingga mudah terpedaya oleh jaringan terorisme. ISIS secara global memang berbeda dengan al-Qaeda. Jika al-Qaeda kurang menyukai martir dari kalangan perempuan, ISIS justru memanfaatkan perempuan sebagai pelaku. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran.

Pilihan target terhadap perempuan banyak alasan. Perempuan banyak dianggap lebih mudah terpengaruh terutama yang memiliki masalah dalam keluarga dan ekonomi. Secara kultural, dalam budaya patriarki perempuan akan sangat patuh terhadap suami dalam kondisi apapun. Merekrut perempuan dengan cara menikahi dalam kasus Dian akan menjadi modus dalam perekrutan perempuan.

Pilihan terhadap perempuan juga memiliki aspek strategis-taktis. Perempuan sebagai pelaku teror akan mengecoh aparat penegak hukum karena selama ini pelaku teror identik dengan laki-laki. Dalam melakukan askinya perempuan lebih aman tidak dicurigai dibanding dengan laki-laki dengan menampakkan gejala tertentu. Karena itulah, pada tahun 2002 salah seorang pelaku bom bunuh diri asal Taliban berhasil meledakkan dirinya karena menggunakan pakaian wanita dengan cadar yang melilitkan detantor pada tubuhnya yang lepas dari pengawasan aparat. Artinya, secara taktik pemanfaatan perempuan tentu menjadi sangat berharga dalam jaringan terorisme.

Karena itulah, perempuan harus menyadari pentingnya eksistensi dirinya di tengah masyarakat. Perempuan justru akan menjadi kekuatan dalam memerangi paham radikal terorisme khususnya di tengah keluarga. Perempuan merupakan pendidik dan pencerah di tengah masyarakat khususnya keluarga dalam mensosialisasikan bahaya paham terorisme.

Keberhasilan pencegahan terorisme tidak hanya pada level kebijakan pemerintah, tetapi sejatinya pada unit kecil bernama keluarga. Benteng utama penangkalan paham radikal terorisme adalah peran perempuan dalam keluarga. Karena itulah, peran perempuan sangat strategis dalam edukasi dan literasi terhadap keluarga khususnya anak-anaknya agar terhindar dari paham kekerasan dan terorisme.

Redaksi

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

4 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

4 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

4 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

4 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

21 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

21 jam ago