Ulama merupakan public figure, laku dan wejangannya menjadi rujukan masyarakat. Maka yang keluar dari seorang ulama seharusnya adalah pesan-pesan perdamaian, persatuan, saling menghargai, cinta tanah air, tanggung jawab dan sederet nilai positif lainnya. Tetapi data terakhir menunjukkan, bahwa banyak ustad-ustad –lepas dari apakah ustad itu ulama? –yang justru terindikasi berpaham radikal dan ujaran kebencian atau setidaknya menyetujui tindakan yang merongrong keutuhan NKRI. Kondisi ini kemudian yang membuat Kementerian Agama merilis 200 daftar nama penceramah yang tidak terindikasi dengan paham itu.
Lepas dari kontroversi atas rilis Kemenag itu, daftarisasi dan merilis nama saja tidak cukup. Toh pada akhirnya banyak juga yang tidak mematuhi, bahkan menolak keras daftar itu. Rilis nama hanya menyelesaikan problem jangka pendek, sementara masalah besar yang dihadapi negeri tentang maraknya intoleransi, aksi teror, rasisme agama, perlu mendapat perhatian serius. Dalam konteks inilah, kaderisasi ulama yang berwawasan kebangsaan perlu dilakukan, wawasan yang tidak lagi membenturkan antara Keislaman dan Keindonesiaan. Kaderisasi ini dengan sendirinya, akan menghilangkan, setidaknya meminimalisir ustad dan penceramah agama yang provokatif.
Membumikan Keislaman dan Keindonesian Sekaligus
Ada alasan logis, mengapa perlu adanya kaderisasi ulama yang berwawasan kebangsaan. Alasan utama itu adalah karena yang paling bertanggung jawab atas bagaimana wajah Islam di tanah air –yang dengan wajah itu kita membangun negeri ini –adalah para ulama. Jika citra Islam ramah rusak, maka pihak yang paling bertanggungjawab adalah ulama, sebagai pemegang estafet dakwah kenabian. Terus bagaimana mengintegrasikan Keislaman dan Keindonesian dalam setiap individu ulama? Ada dua poin penting –tanpa maksud membatasi –yang sangat perlu digarisbawahi.
Pertama, mengampanyekan ajaran Islam paling asasi, universal dan bisa diterima oleh semua pihak. Ulama harus menempatkan dirinya sebagai agen rahmah, sebagaimana dideklarasikan Al-Quran sejak dini. Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa pengutusan Nabi Muhammad ke muka bumi sebagai rahmat bagi sekalian alam, wa ma arsanalkan illa rahmatan lil’alamin, Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Baca juga : Memuliakan Ulama Penyejuk, Pengayom dan Pemersatu Bangsa
Rahmat di sini adalah rasa kasih sayang tanpa pandang bulu, memberikan kedamaian dan kesejukan bagi semua lapisan masyarakat. Hal yang menarik dari redaksi Al-Quran tadi adalah bentuk katanya yang universal, yakni “alamin,” sekalian alam. Tentu konsekuensi redaksi ini sudah bisa dipahami. Islam yang rahmatan lilalamin inilah yang dipraktekkan oleh para kyai, sebagai panutan dan maha guru dalam keagamaan di pesantren. Gus Mus, salah satu kyai karismatik dari Rembang, mendefinisikan kyai itu sebagai huwa allazi yanzhur bi ‘ain al-rahmah, orang yang melihat dengan pandang rahmat, kasih sayang.
Kedua, mengampanyekan titik temu antara/antar umat beragama. Tugas berat ini sejatinya sudah dirintis oleh para cendikiawan generasi dulu, seperti Nurcholis Majid, Gus Dur, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo. Nama yang pertama malah menjadikan platform pemikirannya. Titik temu atau dalam bahasa Al-Quran adalah kalimah sawa’ itu adalah nilai persaudaraan (al-ukhwah), persamaan (al-musawah), kebebasan (al-khurriyah), dan keadilan (al-‘adl). Nilai-nilai titik temu itu diakui oleh semua agama dan semua pihak.
Hal yang menarik, ternyata nilai-nilai itu sudah diramu oleh para pendiri bangsa ini dengan sebutan Pancasila. Pancasila adalah titik temu bangsa Indonesia. Maka tugas ulama di sini adalah mensosialisasikan, mengampanyekan, mengamalkan titik temu itu ke tengah-tengah masyarakat, sebagaimana sudah dilaksanakan dengan bijak oleh para santri lama tadi. Dengan menekankan nilai universal Islam dan mengintegrasikannya ke dalam hasil konsensus sebagai bangsa dalam kederisasi, maka akan tercipta “ulama ramah,” bukan “ulama marah.”
Ulama ramah, yang bewawasan Keislaman dan Keindonesian akan bisa menjalankan fungsinya sebagai penerus estafet ajaran Nabi. Isi penting dari estafet kenabian itu menurut Koentowijoyo ada tiga pokok yakni: pembebasan, humanisasi, dan transendensi. Maksud pembebasan di sini, memproyeksikan masyarakat ke arah yang lebih baik, tanpa tercerabut dari akar budayanya. Humanisme, semua orientasi dakwah ulama harus diproyeksikan menuju memanusiakan manusia. Terakhir transendensi, memaklumatkan bahwa pembebasan dan humanisme itu harus diarahkan kepada keimanan kepada Zat Transendental.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments