Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah disahkan di Rapat Paripurna DPR Oktober silam, resmi diberlakukan sejak Senin (28/11/2016). Banyak kalangan menilai pemberlakukan UU ini berdampak positif dalam mengatur pergaulan, interaksi, dan pemanfaatan masyarakat terhadap teknologi digital, internet. Harapannya, revisi UU ini tidak hanya menyadarkan masyarakat tentang adanya aturan, tetapi menanamkan landasan etis dan moral pada masyarakat terkait pergaulan sehat dan cerdas di dunia maya.
Mungkin ada saja yang mencoba mengkritisi pemberlakuan UU ini, tetapi saya melihat konteks waktu pemberlakuan ini hadir di saat yang sangat tepat. Pemberlakuan UU ini seakan menjadi “rem” penahan dan pengingat masyarakat yang seakan telah melampaui batas kewajaran, melabrak etika, menghilangkan norma kesantunan, dan melupakan aturan bermain di dunia maya, khususnya media sosial. Beberapa bulan yang lalu betapa masyarakat di dunia maya sudah terbiasa dengan liarnya informasi hoax, fitnah, hasutan bahkan cacian yang sejatinya tidak mencerminkan cara masyarakat Indonesia bergaul di dunia nyata.
Saya ingin mencoba memotret sedikitnya tiga kasus penting kenapa revisi UU ini layak disyukuri kehadirannya di waktu yang tepat. Mungkin nama Buni Yani tidak asing di tengah masyarakat setelah aktifitas bermedia sosialnya membuat heboh bahkan gaduh masyarakat. Efek Buni Yani tidak hanya di dunia maya, tetapi nyata berimbas di dunia nyata. Mungkin ia tidak menyangka efek unggahannya yang memotong dan menyajikan informasi tidak tepat akan mempunyai dampak berskala nasional. Tetapi itulah kekuatan dahsyat dunia maya dalam kehidupan nyata.
Kasus lainnya, misalnya, seorang Karyawan PT Adhi Karya, Pandu Wijaya, yang menuliskan kata-kata kasar terhadap tokoh nasional sekaligus pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin, KH Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus di media sosial. Beruntung Pandu segera mendatangi rumah Gus Mus untuk meminta maaf. Dan beruntungnya lagi, Indonesia masih memiliki Gus Mus yang memberikan teladan cukup baik dalam mengajari anak muda yang sedang “hanyut” sesat di dunia maya.
Contoh ketiga, adalah seorang guru berinisial AR alias AU merupakan Guru SMK di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara yang menyebarkan isu “rush money”. Seorang guru yang semestinya memberikan teladan yang baik terhadap peserta didiknya melakukan tindakan yang cenderung memanasi keadaan dengan mengajak “rush money”. Diketahui bahwa sejumlah uang yang terdapat dalam unggahan fotonya adalah hasil uang SPP siswa di sekolahnya.
Belajar dari ketiga kasus tersebut, saya ingin menekankan bahwa tidak ada latarbelakang yang memiliki imunitas bagi seseorang untuk tidak jatuh dalam perbuatan yang negatif di dunia maya. Entah itu dosen lulusan luar negeri, guru, karyawan, pegawai, apalagi masyarakat dengan tingkat melek media yang masih rendah semuanya berpotensi melakukan hal yang sama. Ya, mereka berpotensi untuk menyebarkan berita bohong, fitnah, hasutan, ancaman, bahkan ajakan kekerasan.
Pertanyaannya, apakah mereka yang sudah terbiasa melakukan penyebaran konten negatif di dunia maya tidak mengetahui aturan yang ada? Apakah mereka juga tidak memahami bahwa dampak penyebaran informasi yang menyesatkan akan sangat berbahaya dan memiliki dampak nyata di tengah masyarakat?
Jawabannya, bisa jadi memang masih banyak masyarakat belum memahami adanya aturan. Anggapan belum adanya aturan, karena belum adanya ketegasan tindakan hukum terhadap mereka yang “hobby” menyesatkan informasi dan menyebarkan konten negatif di dunia maya. Ketidaktegasan hukum meninggalkan ruang nyaman yang seolah dunia maya tanpa aturan. Namun, bagi mereka yang sudah memahami adanya aturan, persoalannya adalah lebih pada kesadaran etis dan moral individu. Artinya, berbagai aturan yang ada hanya berdampak pada kesadaran adiministratif, tetapi belum mampu menanamkan sikap etis-moral kepada masyarakat.
Sebenarnya UU ITE yang lama bukan berarti tidak memberikan batasan yang jelas tentang cara kita berinteraksi di dunia maya. Namun, hadirnya revisi UU ini setidaknya mempertegas dua hal di saat yang sangat tepat. Pertama, memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet. Pemerintah diberikan kewenangan lebih kuat untuk mengatur lalu lintas aktifitas informasi di dunia maya yang saat ini cenderung tanpa batas. Apakah kuatnya wewenang pemerintah akan memangkas kreatifitas dan kebebasan? Saya kira ini pertanyaan sesulit menjawab pertanyaan; apakah lemahnya pengawasan pemerintah akan menjamin masyarakat cerdas di dunia maya? Selebihnya anda yang bisa menjawab dengan cara mulailah beraktifitas di dunia maya dengan cerdas.
Kedua, revisi UU ITE menuntut masyarakat untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang belum jelas validitasnya, apalagi konten negatif. Misalnya, Pasal 27 menyebutkan memang ada pengurangan ancaman kurangan pidana, namun sasaran pelakunya diperluas yang tidak hanya mereka yang membuat, menampilkan ataupun mengunggahnya ke internet, tetapi mereka yang mendistribusikan ulang pun akan kena pidana. Selama ini kita sudah sangat cemas bagaimana pola masyarakat dengan mudah menyebarkan informasi tanpa mendahulukan verifikasi validitas konten.
Akhirnya, saya menganggap perubahan UU ini sebagai tindakan struktural pemerintah yang hadir di waktu yang tepat dalam mengatur cara interaksi masyarakat di dunia maya dengan mengedepankan sikap cerdas. Hal yang lebih penting dari aturan tersebut adalah imbas kultural dengan tumbuhnya kesadaran etis-moral masyarakat untuk bisa cerdas dalam bermain di media sosial. Etika dan moral itu akan mendorong pentingnya menahan diri, mengedepankan kesantuan, tata nilai norma dan etika dalam berinteraksi di dunia maya. Hari ini kita telah menjadi saksi bagaimana imbas kekuatan ruang maya itu tidak sekedar menghasilkan kekerasan virtual tetapi berdampak juga terhadap kehidupan sosial.
Ayo Cerdas di Dunia Maya
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…