Polemik trisila dan ekasila bisa menjadi ujian penguatan Pancasila sebagai vaksin imunitas bangsa. Sudah muncul ancaman jika RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) dijadikan UU. Misalnya, ancaman Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang justru membuat kemunduran pada Pancasila. PA mengancam, “Jika mereka memaksakan RUU HIP menjadi UU kami juga akan menuntut kembali Pancasila berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang mencantumkan kewajiban melaksanakan syariat Islam pada sila satu,” kata Ketua Umum PA 212, Slamet Maarif, Kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis, 18 Juni 2020.
Keinginan PA 212 untuk memberlakukan Piagam Jakarta sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Isi Piagam Jakarta telah diubah pada, 18 Agustus 1945 menjadi, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Andaikan Pancasila kembali ke Piagam Jakarta maka terjadilah perpecahan di Indonesia. Sebab, NKRI bukan hanya berpenduduk muslim saja. Keinginan PA 212 ini justru akan menambah polemik di negeri ini.
Terjadinya kegaduhan terkait RUU HIP. Di saat negara sedang menghadapi Covid-19 yang semakin hari selalu naik kasusnya tentu kurang beretika kalau memperdebatkan RUU HIP. Sekarang ini yang pas adalah fokus pada penanganan Covid-19. Polemik RUU HIP jangan sampai malah memicu perpecahan akibat ada yang pro maupun kontra.
Ada yang dipersoalkan dari draf RUU HIP, muatan soal trisila dan ekasila ada di Pasal 7. Mengutip Detikcom dalam draf RUU HIP, Senin (15/6/2020), Pasal 7 menjelaskan mengenai ciri pokok Pancasila. Berikut bunyinya:
Pasal 7
(1). Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan atau demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2). Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3). Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Hakikatnya ada nilai positif di balik RUU HIP, tetapi karena ada muatan Pasal 7 yang cukup sensitif maka terjadilah pro dan kontra. Melansir dari Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU HIP adalah RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020. Berdasarkan catatan rapat tersebut, dikatakan bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila.
Baca Juga : Dari Piagam Madinah ke Pancasila: Ikhtiar Membumikan Islam Rahmat dalam Konsensus Bernegara
Beberapa yang dibahas dalam RUU tersebut adalah dibentuknya beberapa badan. Di antaranya, Kementerian atau badan riset dan inovasi nasional, Kementerian atau Badan Kependudukan dan Keluarga nasional serta Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila. Adapun terkait dengan Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila memiliki beberapa wewenang:
Pertama, mengarahkan pembangunan dan pembinaan politik nasional yang berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila;
Kedua, mengarahkan riset dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan nasional di segala bidang kehidupan, berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila;
Ketiga, mengarahkan pelaksanaan kebijakan pembangunan di lembaga-lembaga negara, kementerian atau lembaga, lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga nonstruktural dan Pemerintahan Daerah berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila.
Menyikapi RUU HIP di tengah Covid-19 harus dengan pengkajian yang mendalam dan moderat. Bersikap pro maupun kontra pada RUU HIP tentu ada konsekuensinya. RUU HIP seperti pasal 7 bisa memicu terjadinya konflik ideologi. “RUU ini disusun dengan cara yang sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi,” tanggapan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumaidi Ahmad sebagaimana dikutip dari Kompas.com (15/06/2020).
PBNU memberi tanggapan RUU HIP ini sebuah kritik yang bisa membangun. NU sangat sadar sekali bahwa Pancasila itu ideologi negara yang memiliki ruh moderasi dalam beragama. Tidak perlu soal agama tertentu ditulis dalam Pancasila, cukup Pancasila yang bertahan saat ini sudah menaungi semua agama. Waktu Pancasila dirumuskan Ir. Soekarno mengambil keputusan untuk meminta pentashihan pada KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh berpengaruh. Harapannya pentashihan Pancasila bisa menjadi tujuan dan cita-cita mulia dalam berdirinya Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pendiri NU sekaligus ayah KH. Wahid Hasyim. Maksud Panitia Sembilan terutama dari kalangan Islam minta KH. Hasyim Asy’ari untuk mentashih itu menyangkut butir pertama Pancasila itu sudah sesuai syariat Islam apa belum. Dalam mentashih KH. Hasyim Asy’ari melakukan tirakat terlebih dahulu supaya mendapatkan keputusan yang sesuai dengan tujuan tegaknya moderasi beragama di Indonesia.
Di antara tirakat KH. Hasyim Asyr’ari ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau menghatamkan Al-Qur’ab dan membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iyya kana’ budu wa iyya kanasta’in, KH. Hasyim Asy’ari mengulang hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, KH. Hasyim Asyr’ari melakukan sholat istiharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau tidur. Sebelum tidur KH. Hasyim Asy’ari membaca ayat terakhir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali, (Sumber: Ceramah KH. Ahmad Muwafiq).
Wal hasilnya pagi harinya, KH. Hasyim Asy’ari memanggil anaknya selaku ketua rombongan dari Panitia Sembilan yang datang ke Jombang. KH. Hasyim Asyr’ari lalu mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajipan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus, karena ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ adalah prinsip ketauhidan dalam Islam. KH. Hasyim Asy’ari dalam tirakat pentashihan Pancasila sangat menjunjung sikap moderatnya. Jadi berkah tirakat beliau, Pancasila saat ini tetap relevan dan bisa menjadi vaksin imunitas NKRI dari virus radikal terorisme. Mengusik sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ berarti menunjukkan sikap radikalnya dalam bernegara. Hal ini kalau terjadi yang ada adalah aksi terorisme. Pancasila sudah final, tidak usah diusik lagi!.
This post was last modified on 23 Juni 2020 3:21 PM
Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…
Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…
Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…
Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…
Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…
Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…