Belakangan umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dibenturkan dengan konflik laten dunia Islam. Konflik itu terkait dikotomi antara Sunni (Sunnah) dan Syiah. Sejumlah orang tak bertanggung jawab menggunakan ‘pengkafiran’ Syiah sebagai momentum menyulut aksi kekerasan. Ini bukan hal baru, karena sebelumnya sejumlah madzhab juga pernah menjadi korban ‘kambing hitam’ kampanye ini, sebut saja Ahmadiyah.
Ironisnya, penyebaran kebencian itu tak pernah didukung oleh pemahaman yang utuh atas sejarah –apalagi agama-, termasuk di dalamnya asal-usul dan perkembangan. Tulisan ini sekedar membuka wacana agar Sunnah-Syiah bisa dinilai secara adil karena dibarengi dengan ilmu. Bukankah adil itu menurut Alquran lebih dekat pada ketakwaan (QS. Al-Maidah: 8)?
Penggunaan kata Sunnah-Syiah di atas saya kira lebih tepat secara gramatikal Arab dibanding penggunaan Sunni-Syiah yang populer di media massa saat ini. Penggunaan Sunnah dan Syiah merupakan nama kelompok, pemikiran, madzhab, atau aliran. Sementara Sunni –yang padanan tepatnya adalah Syi’i- merepresentasikan para penganut dan pendukungnya.
Sunnah-Syiah merupakan dua kelompok mainstream dalam dunia pemikiran dan gerakan Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Sunnah merefleksikan sebuah kelompok yang mengklaim mengikuti ajaran Nabi yang diteruskan oleh para sahabatnya, tanpa terkecuali. Sementara Syiah merepresentasikan pengikut ajaran Nabi melalui jalur para Ahli Bait-nya (keluarga Nabi) dan para sahabat yang “satu barisan” dengan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Penamaan Sunnah atau Sunni merujuk dari kelompok mayoritas Muslim yang menamakan diri sebagai Ahli Sunnah wal Jama’ah. Para pakar, termasuk di kalangan Sunnah sekalipun, berbeda pendapat atas definisi Ahli Sunnah wal Jama’ah itu dan asal muasal penggunaan istilah tersebut. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berarti kelompok Islam yang berpegang teguh dengan Sunnah (tradisi) Nabi dan jama’ah yang diartikan dengan sahabat. Bahkan, ada pendapat yang menyebut bahwa kata Jama’ah merujuk pada tahun peristiwa konsensus umat. Itu artinya, Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh pada tradisi kenabian dan selalu mengikuti mayoritas pendapat umat.
Definisi pemaknaan di atas belum dapat dikonfirmasi kebenarannya secara pasti. Hanya saja penamaan Jama’ah dalam istilah ini oleh banyak pakar merujuk pada peristiwa ‘aam al-Jama’ah (tahun persatuan). Dalam peristiwa itu Hasan putra Ali yang sudah di-bay’at menjadi khalifah oleh penduduk Madinah menandatangani perjanjian penyerahan kekhalifahan kepada Mu’awiyah pendiri kerajaan Umayyah I demi menghindari perang saudara di tubuh umat Islam.
Secara karakteristik ideologi dan ritus keagamaan, Sunnah sebagaimana ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU) dalam karya berbahasa Arab berjudul Qanun Asaasiy, adalah orang-orang yang berpegang teguh pada pendapat mainstream umat Islam dalam bidang Akidah, Fikih, dan Tasawuf. Dalam bidang Akidah (teologi) pendapat yang dimaksud adalah pendapat Abu Musa Al-Asy’ary atau Abu Manshur Muhammad Al-Maturidiy, dua orang teolog Muslim abad ke-4 H/ 9 M.
Sementara dalam bidang Fikih (jurispudensi) Sunnah adalah mereka yang mengikuti pendapat yang sudah dikodifikasi oleh ulama 4 madzhab, yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; yang berkembang di kisaran abad 2-3 H/ 8-9 M. Sedangkan dalam bidang Tasawuf (eksotisme), penganut Sunnah mengikuti garis besar ajaran Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadiy (kisaran abad ke 6 H/ 12 M), yang menitik beratkan pada aspek syariah.
Namun, identifikasi sunnah dengan karakteristik tersebut kini mulai bergeser. Dimotori oleh KH. Said Aqil Siradj dan para tokoh muda NU, pemikiran Sunnah yang sebelumnya menduplikasi produk pemikiran abad klasik yang sudah terkodifikasi diarahkan pada duplikasi metodologis. Hal ini dimaksudkan untuk memecah kebuntuan pemaknaan atas tuntutan sosial kebudayaan yang tidak lagi sama dengan masa sebelumnya.
Sementara itu, kelahiran madzhab Syiah dimulai paska terjadinya perang Shiffin, yaitu perang saudara antara umat Islam. Ali bin Abi Thalib yang kala itu telah menjadi khalifah Islam yang sah paska wafatnya Utsman bin ‘Affan, melawan pemberontakan yang dilakukan gubernur Damaskus Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Peperangan diakhiri dengan arbitrase antara pihak Ali dan Mu’awiyah yang merugikan Ali.
Tentara Ali yang kecewa dengan putusan Arbitrase itu kemudian keluar dari barisan dan tidak lagi mendukung. Mereka yang keluar inilah dalam sejarah Islam dikenal sebagai kelompok Khawarij, dan mereka yang tetap berada di belakang Ali dikenal sebagai Syiah (pendukung) Ali. Belakangan, Abdurrahman bin Muljam –salah seorang khawarij- melakukan pembunuhan terhadap Ali yang dianggap telah keluar dari Islam karena mengikuti Arbitrase.
Dus, kata Syiah pada awalnya merepresentasikan pilihan politik sebagian masyarakat Muslim. Syiah kala itu menjadi ungkapan bagi para pendudukung kekhalifahan yang sah (Ali) dan penumpas pasukan pemberontak (Mu’awiyah). Pasukan Syiah kala itu didominasi oleh orang-orang Irak yang tinggal di Kufah dan Najaf. Hal ini mengingat bahwa ibukota Islam kala itu telah berpindah dari Madinah ke Kufah.
Paska tewasnya Khalifah Ali oleh kelompok Khawarij, pasukan pemberontak menemukan titik terang bagi upaya merebut kekhalifahan. Para pendukung Ali (Syiah) dikejar dan dibunuh untuk dihabisi. Sesaat setelah peristiwa ‘aam jamaah (tahun persatuan), dimana Hasan putra Ali yang telah ditahbis sebagai Khalifah menyerahkan tampuk kekuasaan pada pemberontak Mu’awiyah, yang disusul dengan kematian Hasan dan Husein, para pendukung Ali dan keturunannya mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Berdirinya dinasti Umayyah I membenamkan peran politik para pengikut Ali, hingga banyak di antara mereka bersembunyi dari kejaran pemerintah.
Peran Syiah dalam kancah politik Islam kembali hadir di saat keruntuhan Dinasti Umayyah. Syiah kala itu bersama dengan para keturunan Abbas berkaloborasi menumbangkan kekuasaan Umayyah di Damaskus dan mendirikan kekhalifahan baru bernama Abbasiyah (132 H/ 750 M). Namun, kolaborasi ini pun tidak berlangsung lama. Syiah kembali dipinggirkan oleh penguasa Abbasiyah dan dianggap sebagai ganjalan yang membahayakan. Syiah kembali dikejar dan diburu untuk dihabisi.
Pengejaran terhadap para keturunan Ali dan pengikutnya (Syiah) selama masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah berimbas pada eksodus (mengungsi) besar-besaran para pengikut Syiah ke berbagai belahan dunia. Mereka bermigrasi ke wilayah Yaman, Persia, India, Cina, Asia Tengah, Afrika, bahkan Nusantara. Proses migrasi inilah yang diikuti dengan membawa tradisi, ritus, ajaran, dan kebudayaan Syiah.
Ketegangan antar umat Islam penganut Sunnah dan Syiah yang pernah dan berpotensi terjadi di Indonesia belakangan ini sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, di berbagai konflik di Timur Tengah ketegangan antara dua kelompok mayoritas Muslim ini pun terjadi.
Namun, ketegangan yang masih terjadi antara Sunnah-Syiah –dalam bentuk politik maupun ideologi keagamaan- bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Dalam dunia internasional Kontemporer pengakuan Syiah sebagai bagian dari al-Firqah al-Islamiy (kelompok Islam) oleh negara-negara Islam yang tergabung di OKI merupakan awal baru dari upaya merengangkan ketegangan. Upaya dialog dan saling berkomunikasi secara ma’ruf (baik dan damai) bisa salah satu solusi untuk meredakan kebencian.
This post was last modified on 9 September 2015 12:20 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…