Banyak pihak yang telah mengaminkan bahwa tahun ini, bangsa kita kembali memasuki tahun genting bagi peradabannya. Tentunya Pemilihan umum kepala daerah, anggota legislatif dan Presiden-lah yang menjadi salah satu pilar pemikiran tersebut. Perhatian serius mengenai hal ini lahir bukan semata dilatari oleh bagaimana program kerja para calon pemimpin tersebut ke depan, melainkan juga bagaimana kontestasi tersebut akan berlangsung. Pada bagian ini tidak salah bila kita menempatkan keseriusan kita untuk berkontempelasi sembari menyimak rekam jejak keberagaman di negara ini. Mesti diakui bahwa riwayat keberagaman di negara ini masih saja memunculkan warna kelabu yang memilukan bagi bangsa ini. Bila hal ini selalu ditunda atau bahkan diabaikan penyelesaiannya, maka bukan tidak mungkin tahun politik ini menjadi tahun kegetiran terhadap peradaban bangsa.
Semakin banyaknya individu bangsa yang berjarak dengan nilai keberagaman, menghadirkan pertanyaan besar di benak banyak pihak. Salah satunya adalah ke mana perginya semangat penghargaan terhadap keberagaman kita selama ini? Keberagaman yang telah ada sejak lama seolah diletakkan pada posisi ancaman terhadap identitas yang diyakini benar oleh mereka. Untuk konteks negara kita, tak bisa dipungkiri bahwa kemunculan identitas yang kuat meletakkan anggapan demikian adalah identitas agama. Dan khusus untuk elemen tersebut, kelompok-kelompok yang kerap hadir di banyak media mau pun ruang nyata adalah kelompok-kelompok yang kerap menampilkan wajah Islam yang marah dan seolah tidak dapat berdamai dengan keberagaman yang telah lama ada. Setidaknya cerminan itulah yang direpresentasikan, khususnya sejak orde reformasi berhasil melengserkan rezim kekuasaan Presiden Soeharto.
Kehadiran kelompok-kelompok partikelir berlabelkan agama ini ternyata disinyalir banyak memiliki irisan atau bahkan berkelindan langsung dengan beberapa persoalan politik di negara ini. Dalam konteks bangsa ini yang masih terus berbenah dalam sistem demokrasi dan arus globalisasi, kekuatan semacam ini potensial digunakan untuk menjadi salah satu mesin pendorong popularitas pihak-pihak tertentu untuk memperoleh panggung politik. Kencangnya pemahaman populisme kanan yang dimainkan di banyak segi kehidupan, membuat banyak pihak akhirnya terseret arus. Lemparan sejumlah isu hoax atau pun isu yang diplintir sedemikian rupa, telah berhasil menjadi magnet kuat bagi fikiran masyarakat untuk berempati terhadap identitas agamanya yang seolah “terniaya”. Bila sudah demikian, tentu tidak hanya permainan moderasi fikiran khalayak lagi yang dilakukan untuk sekedar mendapatkan empati melainkan untuk melakukan sebuah aksi.
Masyarakat kita perlahan menjadi masyarakat yang over sensitive dalam konteks yang negatif terhadap kondisi yang ada. Ini tentunya tidak baik, sebab banyak dari masyarakat yang akhirnya lebih mengedepankan marah ketika ada suatu hal yang berbeda dalam pemahamannya. Banyak yang mengibaratkan masyarakat kita hari ini kondisinya seperti sebatang kayu korek api yang gampang sekali memantikkan api bila tergesek pada kertas pemantiknya. Bayangan bahwa kita dulu pernah memiliki Presiden yang menghargai keberagaman, mendadak lenyap. Bayangan bahwa kita memiliki guru bangsa, Yaitu Gus Dur, yang kerap mengajarkan ajaran agama yang penuh kedamaian dengan cara mendorongkan upaya bercanda dengan agama, mendadak tak berbekas.
Seorang Amartya Sen, akademisi India yang terkenal juga sebagai seorang ekonom, dalam bukunya yang berjudul Identitas dan kekerasan, menemukan bahwa adanya pemahaman identitas yang soliter (tunggal) yang kerap dipakai masyarakat. Pemahaman ini tidak hanya dipakai melihat dirinya sendiri melainkan juga melihat pihak lain. Di sinilah persoalan itu menjadi sulit dicairkan. Sebab semuanya spontan terbagi menjadi dua, yaitu mayoritas dan minoritas, kawan dan lawan, atau dalam konteks yang paling mengerikan terjadi di bangsa ini adalah penyematan, kafir dan non-kafir. Bila sudah demikian, hembusan isu populisme apa pun akan dapat membakar kekeringan pemikiran yang ada dan dapat menghanguskan tidak hanya orang tersebut namun juga semua peradaban bangsa ini.
Menyadari akan persoalan tersebut, tentunya baik bila kita mencoba akur dengan kenyataan yang sebenarnya sering kita abaikan sejak dalam pemikiran. Kita sebenarnya berkewajiban untuk dapat melakukan rembuk dalam pemikiran terkait identitas yang sejatinya kompleks dalam diri manusia. Seorang Muslim bisa saja dikenali sebagai seorang yang memiliki pemikiran sosialis seperti sosok Haji Misbach. Atau bahkan seorang Kyai besar juga bisa saja dikenali dengan identitasnya yang lain karena memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat Tionghoa seperti sosok Gus Dur.
Manusia hadir bukan dengan identitas tunggal, kesejatian manusia adalah kompleksnya identitas yang ada pada dirinya. Jelas menggiatkan hal ini tidaklah mudah, karena setiap individu akan berhadapan dengan ego pemikiran yang telah tertanam sebelumnya. Selain itu atmosfir di masyarakat yang belakangan tercipta, membuat agenda rembuk pemikiran ini memerlukan keseriusan dan keuletan dalam menjalaninya. Mari jadikan tahun politik ini sebagai tahun rembuk pemikiran, agar kisah tragedi kemanusiaan yang telah menjadi sejarah jangan sampai berulang.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…