Narasi

Generasi Muda Menjaga Bhineka Tunggal Ika

Perbedaan pilihan politik jelang dan mungkin akan terus berlanjut setelah Pilpres 17 April 2019 nanti, membawa pada situasi yang mengkhawatirkan, yaitu konflik horisontal. Jika ini tidak segera diantisipasi oleh kesadaran diri masing-masing individu, bahwa perbedaan itu hal yang wajar, sunnatullah, apalagi sekadar berbeda pilihan politik, sejatinya tidak menganggu keharmonisan hubungan sosial yang telah menyejarah, terjalin sekian lama.

Di sinilah dibutuhkan peran dan kontribusi semua pihak, terutama kalangan muda, generasi milenial yang sangat mendominasi dalam setiap perbincangan di publik. Generasi muda, dalam konteks ini diharapkan menjadi pelopor atau meminjam istilah khazanah politik Islam disebut “khalifah” untuk mengkampanyekan nilai-nilai kebaikan, memproduksi dan menyebarkan konten-konten positif pentingnya persatuan di tengah perbedaan berdasarkan prinsip kebangsaan ideologi Pancasila.

Dalam pemahaman agama Islam dikenal ungkapan, al-ruju’ ila kitabilla wa sunnati rasulillah (kembali pada al-Qur’an dan sunnah/hadis), maksudnya adalah ketika menghadapi perselisihan pendapat mengenai perkara agama dan sulit didamaikan, maka perlu kembali pada otoritas al-Qur’an dan hadis. Jargon ini, menurut saya, bisa juga digunakan untuk kemaslahatan bersama mengatasi perselisihan politik elektoral yang dikhawatirkan akan berujung pada perpecahan, menjadi al-ruju’ ila Pancasila, Bhineka Tunggal Ika (kembali pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika).

Internalisasi Bhineka Tunggal Ika

Pertama-tama, perlu dimengerti apa beda makna “Ika” (Bhineka Tunggal Ika) dengan “Esa” (sila I Pancasila) yang artinya sama-sama “satu”? Mengapa tidak Bhineka Tunggal Esa, atau Ketuhanan Yang Maha Ika? Upaya memahami perbedaan kedua konsep ini tentu tidak sekadar berhenti pada aspek kognisi semata, tetapi lebih dari itu, sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa, bahwa diharapkan terjadi internalisasi di lubuk hati semua elemen bangsa.

Baca juga : Khalifah Milenial: Mengawal Ideologi Pancasila dengan Ukhuwwah Wathoniyyah

Kata Esa (Sansekerta/Pali) bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah; berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata ini (this, Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah atau nominal adalah “Ika”. Jadi, jika yang dimaksud dalam sila I Pancasila adalah jumlah Tuhan yang satu, maka seharusnya “Ika”, bukan “Esa”.

Itulah sebabnya, penjabaran dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut tertuang dalam UUD 1945, misalnya tentang kebebasan beragama yang diatur dalam pasal 28E mengatakan sangat gamblang, bahwa “(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal ayat (2) juga berbunyi senada: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Keharmonisan dan perdamaian dalam nuansa perbedaan dengan demikian tidak hanya diakui sebagai fitrah/niscaya (sunnatullah), tetapi juga diakomodir oleh konstitusi kita. Menjaga Bhineka Tunggah Ika, dengan demikian adalah amanah konstitusi yang wajib dijalankan, atau dalam istilah agama disebut sebagai jihad (berjuang, berusaha sungguh-sungguh). Saya menyebutnya sebagai “jihad konstitusi”.

Lalu mengapa masih mempermaslahkan perbedaan (etnis, agama, bahasa), sebagaimana yang akhir-akhir ditampakkan oleh sebagian kalangan? Mengapa pula masih mempertentangkan antara ajara agama (baca, Islam) dengan Pancasila, padahal keduanya dapat berjalan seiring?

Perbedaan atau kebhinekaan tidak dapat dihindari, tetapi harus dijalani dan saling menghormati satu sama lain. Dalam setiap perbedaan itu, akan ada positif (kelebihan) dan negatifnya (kekurangan) masing-masing, dan oleh karena itulah, jika terjadi kesadaran saling menghormati akan terjadi saling melengkapi, sehingga yang tampak adalah keunikan, kedamaian, kebahagiaan, dan kerukunan. Inilah cita-cita ideal dari semua perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dalam bingkai NKRI, Bhineka Tunggal Ika.

Kebhinekaan adalah hal niscaya. Dan oleh sebab itu, kita wajib mensyukuri dengan cara mengelolanya secara baik, toleran, dan saling menghormati, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Semoga.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

15 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

15 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

15 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago