Hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Yatsrib bukanlah kejadian impulsif yang direncakan dan dilakukan dalam semalam. Melainkan sudah direncanakan sejak jauh hari. Relasi antara Rasulullah dan Yatsrib sendiri terjadi manakala ada sejumlah orang yang berasal dari kota tersebut menyatakan masuk Islam dan berbaiat langsung di depan Nabi Muhammad Saw. Ini artinya patut dipahami bahwa hijrah Rasulullah ke Yatsrib merupakan bagian dari skenario dakwah Islam.
Maka, ketika Rasulullah sampai ke Yatrib, ia pun melakukan langkah-langkah strategis yang tidak hanya menjadi fondasi dakwah Islam, namun juga fondasi peradaban umat Islam sampai hari ini. Langkah pertama, Rasulullah menghapuskan fanatisme kesukuan yang saat itu memang menjadi problem akut masyarakat Arab yang sebagian besar tinggal berkoloni di padang pasir.
Fanatisme kesukuan (Al ashabiyah) ini dipandang Rasulullah sebagai salah satu penyebab timbulnya perpecahan, konflik, dan peperangan di antara masyarakat Arab. Cara Rasulullah menghapus sentimen fanatisme kesukuan ini sungguh unik. Yakni mempersaudarakan beberapa orang dari suku yang berbeda.
Antara lain Jakfar bin Abi Thalib dipersaudarakan dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah dengan Zaid bin Haritsah, Umar bin Khatab dengan Itban bin Malik dan sejumlah nama lainnya. Dalam konteks masyarakat Arab kala itu, “dipersaudarakan” artinya diikat dengan tali kekeluargaan yang sangat dihargai dan tidak boleh dikhianati. Langkah mempersaudarakan tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok ini yang kelak menjadi fondasi berdirinya negara-kota Madinah.
Awal Kemunculan Konsep Ummah di Madinah
Langkah kedua, Rasulullah membangun masjid (Nabawi) yang digunakan bukan sekadar sebagai sarana peribadatan melainkan juga ruang berkumpul dan berdiskusi untuk menyelesaikan persoalan. Masjid di zaman Rasulullah memiliki peran ganda sebagai simbol spiritual sekaligus ruang sosial. Di masjid segala persoalan keagamaan dan kehidupan dibahas dan dicarikan solusi bersama.
Langkah Rasulullah ini menyimbolkan bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan harus ada ruang publik yang terbuka dan menjamin kesetaraan pendapat di dalamnya.
Terakhir namun paling penting adalah langkah Rasulullah mengajak seluruh kelompok di Madinah untuk membangun konsensus bersama untuk saling menghormati, menghargai, dan menjaga satu sama lain. Konsensus itu lantas disebut sebagai Piagam Madinah.
Deklarasi Piagam Madinah menjadi satu-sarunya konstitusi tertulis pertama yang di dalamnya mengandung prinsip kesetaraan dan hak asasi manusia. Menariknya, deklarasi ini muncul jauh sebelum peradaban dunia barat mengenal isu-isu tentang demokrasi atau hak asasi manusia.
Ketiga langkah Rasulullah (menghapus fanatisme ashabiyah, membangun masjid dan menyusun Piagam Madinah) itu memuncak pada lahirnya konsep ummah. Konsep ummah merupakan gagasan atau ajaran Islam untuk mengakui kesetaraan seluruh umat manusia tanpa ada diskriminasi kesukuan atau rasial.
Munculnya konsep ummah ini penting karena menandai berakhirnya budaya fanatisme kesukuan yang memang kental di masyarakat Arab kala itu. Fanatisme kesukuan telah melatari munculnya perang antar-suku dan membuat masyarakat Arab berkubang dengan kejahiliyyahan (ketidakberadaban).
Jika dikontekstualisasikan di era sekarang, strategi Rasulullah pasca hijrah tersebut sejalan dengan gagasan ihwal masyarakat Madani atau civil society. Yakni masyarakat dengan karakter terbuka, diskursif, dan mengadaptasi ruang publik yang setara dan demokratis. Pesan hijrah inilah yang idealnya direaktualisasikan dalam kehidupan umat Islam, khususnya Indonesia.
Hijrah Rasulullah dan Inspirasi Membangun Masyarakat Madani
Kondisi Indonesia saat ini bisa dibilang mirip dengan situasi sosial di Yatsrib dan masyarakat Arab di zaman Rasulullah. Masyarakat plural yang terdiri atas beragam suku dan kerap menampakkan fanatisme identitasnya. Fanatisme identitas itu juga yang membuat bangsa Indonesia kerap terpecah-belah dan berkonflik.
Memperingati tahun baru Hijriah yang merujuk pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw idealnya tidak hanya dilakukan secara simbolik. Jauh lebih penting dari itu adalah mengelaborasi kembali konsep hijrah kenabian yang lekat dengan gagasan masyarakat madani Atawa civil society.
Yakni bagaimana membangun persaudaraan dan persatuan berbasis konsep ummah yang mengakui kesetaraan hak manusia dan mengeliminasi fanatisme identitas. Konsep ummah itu relevan kiranya diterapkan dalam konteks Indonesia yang plural dan menganut sistem negara bangsa demokratik.
Dalam konteks NKRI yang berbasis Pancasila dan UUD 1945, konsep ummah kiranya merujuk pada seluruh warganegara dan penduduk Indonesia tanpa memandang suku, ras, etnis, warna kulit, budaya, bahasa, dan agama. Ummah adalah seluruh kesatuan masyarakat yang hidup di atas wilayah NKRI dan memiliki komitmen untuk saling menghargai dan melindungi.
This post was last modified on 21 Juli 2023 1:06 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…