Narasi

Jogja, Medsos Dan Relasi Agama

Kasus penusukan terhadap seorang Romo di Jogjakarta pada tanggal 11 Pebruari 2018 kemaren telah mencederai kedamaian dan kerukunan antar umat beragama. Lebih-lebih, umat Islam tentu makin tercabik atas aksi itu. Bagaimana tidak, pelaku penusukan tersebut sebelum melakukan aksinya, konon, menginginkan untuk menikah dengan bidadari. Indikasinya, dia termakan oleh doktrin Islam radikal. Karena ketergiuran terhadap kenikmatan surga ini, khususnya dengan janji mendapatkan bidadari bagi yang mau melakukan jihad, hanya dikampanyekan oleh kelompok Islam radikal saja.

Walau pelaku sudah dilumpuhkan oleh aparat kepolisian namun bukan berarti radikaslime telah tumbang. Sebaliknya, dengan penusukan seorang Romo ini kelompok radikal ingin memberikan isyarat bahwa ideologi yang diusungnya terus tumbuh dan bersemi. Jaringan mereka memang telah diputus dengan tegasnya aparat dan upaya-upaya penanggulangan terorisme oleh pemerintah namun penyebaran paham radikal melalui medis sosial tidak kalah menghawatirkannya. Beberapa penganut Islam radikal justru mendapatkan ideologinya tidak secara langsung dari orang radikal tapi justru dari media sosial.

Melalui media sosial, kaum radikal menyebarkan kehawatiran-kehawatiran bagi masyarakat. Salah satu kampanye yang seringkali disebar adalah soal keterancaman umat Islam di negara Timur Tengah hingga Asia termasuk Indonesia. Dimana pengancam keberlangsungan hidup umat Islam itu adalah umat agama lain. Kampanye ini jelas salah dan bermasalah. Salahnya, Indonesia adalah negara yang dihuni tidak satu agama. Antara satu penganut dengan penganut yang lain saling membahu memerdekakan dan membangun Indonesia. Tidak ada ancaman dan saling mengancam antara satu dengan yang lain.

Bermasalahnya, Islam sebagai agama pemersatu agama-agama menjadi tercederai. Islam menjadi agama tertuduh sebagai dalang di balik perpecahan warga negara. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Islam justru melarang bercerai berai sebeda apapun pendapat orang perorang. Perbedaan suku dan bangsa-bangsa dijadikan dasar untuk saling memahami dan mengenali. Begitu juga perbedaan agama. Ada banyak ayat al Qur’an yang melarang untuk mencederai orang lain berbasis SARA. Ayat yang menjelaskan tentang relasi agama-agama yang menarik dan terrhubung dengan kasus Jogja ini adalah QS: 2; 147.

Arti secara harfiyah dari ayat tersebut adalah, “Dan setiap umat memiliki kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah menuju kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah mengumpulkan kalian semuanya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Al Thabari menafsiri ayat ini bahwa setiap orang yang beragama termasuk di dalamnya adalah Yahudi dan Nashrani memiliki kiblat tersendiri yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Megitu juga umat Islam. Maka hendaklah setiap umat menghadap kepada kiblat masing-masing. Karena kelak Allah akan menyatukan semua perbedaan itu.

Lebih spesifik al Thabari mengatakan “likulli qawmin minkum ja’alna thariqan ilal haqq yaummuhu wasabilan wa dhihan ya’malu bihi.” Setiap kaum di antara kalian diciptakan oleh Allah sebuah jalan yang akan membimbingnya menuju kebenaran, jalan yang terang benderang dimana setiap umat akan melewati jalan tersebut. Apa pun, demikian Thabari, yang menjadi perbedaan di antara kalian baik dari aspek agama maupun syariatnya kelak akan dikumpulkan semuanya oleh Allah kelak di hari kiamat. “fainnallaha ta’ala ya’ty bikum wa biman khalafa qablakum qa dinikum wa syari’atikum jamian yawmal qiyamah”.

Pendapat al Thabari ini diperkuat oleh Ibn Katsir. Menurut Ibn Katsir, ayat ini berbicara secara jelas tentang hubungan antara umat Islam dengan agama lain khususnya Yahudi dan Nashrani. Ayat ini hendak mengatakan bahwa Allah memang tidak menghendaki kesamaan umat dimana ada dalam satu agama melainkan perbedaan-perbedaan yang justru dijadikan dasar untuk bersatu. Ibn Katsir berpendapat demikian sambil mengutip salah satu ayat QS: 5;48 dimana dalam ayat terseebut Allah menyatakan bahwa setiap umat memiliki manhaj dan syariat masing-masing. Dan jika Allah menghendaki niscaya Allah menjadikannya umat yang tunggal.

Selebihnya, baik QS:2; 148 maupun QS:5;48 sama-sama memberikan perintah agar berbagai perbedaan agama itu dijadikan titik pacu untuk saling berlomba berbuat kebaikan (fastabiqul khairat). Oleh karena itu, masyarakat harus tahu bahwa upaya untuk mengoyak keharmonisan antar agama merupakan tindakan yang bertentangan dengan al Qur’an. Selanjutnya, propoganda Islam radikal melalui media sosial harus diganti dengan ajaran-ajaran Qur’ani yang lebih membangun kehidupan yang damai. Dan, melalui penjelasan di atas kiranya penganut agama lain mengerti bahwa ajaran Islam tidak memiliki persoalan dengan perbedaan agama-agama. Kaum radikallah yang membelokkannya atas nama Islam. Wallahu a’lam.

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago