Sebuah hadis pernah meriwayatkan sebuah āṡār dari Umar bin Khattab. Kurang lebih āṡār tersebut berbunyi seperti di bawah ini,
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ.
“Dari Tamim Ad Dari radliallahu ‘anhu ia berkata: “Orang-orang berlomba-lomba mempertinggi bangunan pada zaman Umar, lalu Umar berkata: ‘Wahai masyarakat Arab ingatlah tanah, ingatlah tanah, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada (gunanya) kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Barangsiapa yang dihormati kaumnya karena ilmu, hal demikian membawa kebaikan untuk kehidupan dirinya dan masyarakatnya, dan barangsiapa yang dihormati oleh kaumnya bukan karena ilmu, maka ia hancur (begitu juga dengan) kaumnya’.” (HR. Al-Darimi: 253).
Pasca runtuhnya khilafah Islam, āṡār Umar bin Khattab ini sering muncul sebagai bahan propaganda tentang keharusan adanya Daulah Islamiyyah baru. Dengan menggarisbawahi “tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah, dan tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan”, para pengusung ‘khilafah’ kerap mengunakannya sebagai dalil pijakan tentang formalisasi syari’ah dan pendirian negara Islam.
Jika ditelusuri dalam kerangka metodologi kritik hadis, āṡār Umar bin Khattab di atas hanya melewati satu jalur periwayatan, yaitu melalui jalur Ad-Dari. Āṡār tersebut berasal dari Yazid bin Harun dari Baqiyyah dari Sufyan bin Rustam dari Abdurrahman bin Maisarah dan dari rawi yang mendengar langsung dari Umar, yaitu Tamim Ad-Dari. Hanya dari jalur inilah yang membuat kita tahu dan mengerti bahwa Umar bin Khattab pernah mengeluarkan pernyataan itu.
Kelompok tektualis biasanya mencuplik dalil ‘lā Islāma illā bi jamā‘atin’. Selanjutnya, mereka membangun opini bahwa bila tidak ada jamaah, maka Islam menjadi tidak sah. Narasi tersebut kemudian diolah kembali dan dimonopoli sebagai landasan politik-ideologis ‘khilafah’.
Padahal, jika ditelusuri dari perspektif keseluruhannya, tampak sekali bahwa āṡār Umar bin Khattab tidak bermaksud untuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan tetapi lebih pada jaring pengaman sosial. Umar melakukan tindakan seperti ini berkaitan dengan adanya fenomena kecemburuan sosial dalam proyek pembuatan rumah-rumah ketika Umar menjadi khalifah.
Pada masa Umar bin Khattab, orang-orang bermegah-megah dan sombong dalam membangun rumah. Umar melihat bahwa sebagian besar kaum Muslim sedang terjangkit penyakit hedonisme (tamak harta) dan berlomba-lomba meninggikan bangunan. Hal itu memicu gaya hidup yg individualistik. Perilaku ini terjadi lantaran saat itu Umat Islam baru saja menaklukkan dua dinasti besar (Romawi dan Persia), sehingga banyak di antara mereka yg menjadi orang kaya baru sehingga berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan.
Umar bin Khattab menasehati mereka bahwa itu semua akan kembali menjadi tanah. Oleh karena itu dalam āṡārnya, Umar memanggil mereka dengan ‘uraib’ yang berarti ‘arab kecil’, sebutan mengecilkan dari kata “Arab”, atau yang disebut sebagai isim tasgīr,
يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ
“Wahai bangsa Arab kecil!”
Umar bin Khattab tidak menyebut dengan sebutan yang wajar;
يَا مَعْشَرَ الْعرَبِ
“Wahai bangsa Arab.”
Penggunaan isim tasgīr ini dimaksudkan untuk menyadarkan bahwa mereka semua memiliki derajat yang sama satu sama yang lain dan merupakan hamba yang sangat kecil di hadapan Allah.
Pemahaman komprehensif ini tidak populer di kalangan kelompok Islam konservatif. Karena terjebak pada pemahaman tekstual-literalis, oknum pengusung khilafah menafsirkan ‘imārah’, dalam kutipan tersebut, sebagai sebuah pemerintahan yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. Padahal yang dimaksud Umar adalah pemerintah atau kepala pemerintahan yg terang-terangan diakui legitimasinya oleh masyarakat luas untuk mewujudkan keadilan di kalangan umat dan menghapuskan kesenjangan sosial yang terjadai di kalangan bangsa Arab saat itu.
Āṡār Umar bin Khattab tersebut walaupun secara sanad lemahkarena hanya melewati satu jalur, tapi jika tetap ingin digunakan sebagai dalil, maka fokus penekanannya adalah pada perintah untuk mendengar dan ta’at kepada ulil amri. Bukan justru memahami bahwa Islamnya seseorang menjadi tidak sah jika tidak punya amirdalam sistem khilafah.
Nilai-nilai lain yang bisa dipetik dari pernyataan Umar di atas adalah bahwa tugas pemimpin adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, menghapus diskriminasi, mewujudkan keadilan dan kesetaraan, dan tegas. Substansi ini yang seringkali hilang akibat pemahaman konservatif beberapa kelompok Islam. Mereka terjebak pada redaksi teks, lalu lalai melihat pesan moral utama yang dimaksud oleh Umar.
Kesalahan dalam memahami hadis dan āṡār sahabat Nabi bisa berakibat sangat fatal. Seorang Muslim bisa tiba-tiba menjadi hakim bagi keimanan sesama saudara Islamnya. Mereka bisa nekat mengutuk dan mengafirkan sesama saudaranya akibat pemahaman dalil yang tidak komprehensif. Alih-alih bersatu, mereka justru menjadi penyebab perpecahan di dalam tubuh Islam itu sendiri.
This post was last modified on 27 November 2023 2:36 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…