Categories: Narasi

Menggeser paradigma mayoritas-minoritas, Merajut solidaritas kemanusiaan

Konflik antar umat beragama kembali memanas di India. Pasalnya, pengesahan Amandemen Undang-Undang Kewarganegaraan India (CAB) pada Desember 2019 lalu dinilai diskriminatif terhadap umat muslim India. UU tersebut memberikan status kewarganegaraan secara mudah kepada para imigran penganut agama Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsis dan Kristen yang berasal dari negara Pakistan, Afghanistan dan Bangladesh. Namun, status ini tidak diberikan kepada para imigran muslim dari tiga negara tersebut.

Secara substantif, UU tersebut tampak tidak konstitusional karena menentukan status kewarganegaraan berdasarkan ikatan primordial. Di sisi lain, UU kewarganegaraan India menggunakan paradigma hukum rimba yakni mayoritas lebih berkuasa untuk menentukan yang minoritas. Akibatnya, produk undang-undang tersebut terkesan mendelegitimasi identitas kewarganegaraan muslim India sehingga menuai protes dan berujung pada konflik keagamaan antara Hindu dan Islam.

Konflik Hindu-Muslim di India bukanlah perkara baru. Kasus genosida tersebut merupakan kelanjutan dari dendam masa lalu. Menurut Marc Gaborieau (historia.id) penyebab konflik keagamaan tersebut disebabkan penyebaran Islam ke wilayah Anak Benua India melalui jalur militer bukan dengan perdamaian. Selanjutnya, deklarasi kemerdekaan Pakistan dari India pada 1947 dan suburnya Islamofobia di India semakin memantik bara konflik antara umat Hindu dan Islam.

Jika diamati secara seksama, kasus genosida umat muslim di India tidak lepas dari pertarungan politik identitas keagamaan. Misalnya, orang-orang Hindu di India selalu memandang umat Islam sebagai “pendatang baru” yang sudah menodai tanah suci India—tanah lahir agama Hindu. Di sisi lain, umat Hindu India seringkali mengecap umat muslim India sebagai umat terlaknat lantaran mengonsumsi sapi. Dalam keyakinan umat Hindu, sapi merupakan hewan suci yang tidak patut dijadikan komoditi ataupun konsumsi.

Menurut Amartya Sen, penegasan sebuah identitas dibatasi oleh pandangan dari pihak lain, terlepas bagaimana sebenarnya pandangan dari pemilik identitas tersebut (Alif.id, 28/02/2020). Kata “suci” dalam persoalan sapi di atas menjadi ruang pertarungan politik identitas. Setiap agama selalu memiliki ruang atau aspek yang disucikan. Apabila sesuatu (yang dianggap) suci itu dinodai, secara spontan akan memicu kebencian dan kemarahan pada kelompok agama tertentu.

Baca Juga : Solidaritas Tanpa Batas, Cerdas, Dan Tidak Beringas

Persoalan amandemen UU kewarganegaraan India dapat dinilai sebagai pertarungan identitas antara pihak mayoritas dan minoritas. Secara demografis, umat Hindu menempati posisi mayoritas dengan jumlah 80 persen, sedangkan populasi umat Islam mencapai 200 juta orang, 14 persen dari jumlah total penduduk India. Posisi minoritas umat muslim membuatnya rentan terpinggirkan secara konstitusional dan terbatas ruang geraknya.

Refleksi Kesetaraan

Kasus genosida yang menimpa umat muslim India dapat menjadi pelajaran bagi umat Islam Indonesia. Sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia seharusnya dapat menjalin relasi sosial yang harmonis. Dalam konteks kebhinnekaan, seluruh warga Indonesia dituntut hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai keberagaman antar umat beragama.

Sayangnya realita sosial-keagamaan Indonesia turut dibangun atas dasar paradigma “mayoritas-minoritas”. Misalnya, dalam kasus Ahmadiyah dan Syi’ah yang tergolong kelompok minoritas. Keduanya selalu mendapatkan perlakukan yang tidak adil. Persoalan ini baru dalam internal agama Islam sendiri, belum lagi persinggungan politik identintas dengan kelompok agama yang lain seperti Kristen, Konghucu, Agama Sipil (Penganut Aliran Kepercayaan) dan sebagainya.

Sebagai negara demokrasi dan negara hukum, pemerintah Indonesia harus membumikan kembali prinsip kesetaraan yang memandang semua warga negara sederajat di mata hukum. Namun, seringkali produk legislasi kita cenderung memihak dan menguntungkan kepentingan kelompok mayoritas. Misalnya, pemberlakukan UU Penodaan Agama yang rawan dipolitisasi oleh kepentingan kelompok mayoritas.

Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa-bernegara perlu diinternalisasi kembali dalam konteks kehidupan beragama. Nilai-nilai universal yang terkandung di dalam Pancasila menjadi titik temu bagi semua agama yang hidup dalam payung besar Negara Indonesia. Membela kepentingan bangsa (nasionalisme) harus diprioritaskan daripada kepentingan sektarian.

Secara historis, Indonesia ini dibangun oleh simpul kebangsaan yang kolektif, bukan simpul sektarian yang primordial-parsial. Fakta historis tersebut menegaskan bahwa kelompok mayoritas tidak pantas memaksakan kepentingannya. Umat Islam Indonesia harus memerangi hawa nafsu politik yang ada pada dirinya. Jika tidak, tesis yang diungkapkan oleh Kepala BPIP bahwa “agama (yang dipolitisasi) menjadi musuh terbesar Pancasila” menjadi benar.

Ukhuwah Islamiah

Dalam QS. Al-Baqarah: 30 ditegaskan bawah manusia dipercaya oleh Tuhan sebagai mandatarisnya (khalifah) di muka bumi ini. Tugas utama dari seorang khalifah adalah menegakkan keadilan dan perdamaian di muka bumi. Artinya, tindakan pembunuhan/genosida, radikalisme, dan terorisme merupakan perilaku yang tidak patut dilakukan oleh seorang khalifah.

Terlebih lagi, umat Islam terpilih sebagai umat terbaik mendapat mandat untuk melakukan amar ma’ruf/humanisasi, nahi munkar/liberasi dari segala bentuk penindasan, dan al-iman billah/transendensi (Kuntowijoyo, 2007: 88). Seorang muslim sejati seharusnya mampu membumikan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dalam konteks yang lebih luas, demi merajut solidaritas kemanusiaan

Selama ini, ukhuwah islamiah selalu dimaknai secara reduktif yakni persaudaraan sesama muslim (ikhwan al-muslimiin). Pemaknaan demikian telah mereduksi ajaran Islam yang bersifat universal. Menurut Quraisy Shihab, “islamiah” berposisi sebagai sifat (na’at) dari kata “ukhuwah”. Artinya, persaudaraan islami ini mencakup solidaritas kemanusiaan solidaritas sesama makhluk, solidaritas kebangsaan dan solidaritas semasa muslim. Dari kasus genosida muslim di India, terbukti bahwa paradigma mayoritas-minoritas dalam kehidupan beragama kelak akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakkan persatuan bangsa. Secara paradigmatik, kelima sila Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur agama (Islam), yang jika diingkari akan menjerumuskan kita ke dalam praktik kekufuran. Oleh karena itu, kita sebagai umat beragama hendaknya mengejawatahkan secara konkrit nilai-nilai Pancasila demi terwujudnya solidaritas keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

This post was last modified on 13 Maret 2020 2:09 PM

Rahmat Hidayat

Aktivis Pengembangan Bahasa Asing di Yogyakarta & Mapres UIN Sunan Kalijaga 2018

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago